KONSEP AKAD DALAM FIQH MUAMALAH
A.Pendahuluan
Sebagai makhluk sosial, manusia
tidak bisa lepas untuk berhubungan dengan orang lain dalam kerangka memenuhi
kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga terkadang secara
pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang
lain. Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi
kebutuhan, harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya
berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam kerangka
memenuhi kebutuhan keduanya, lazim disebut dengan proses untuk berakad atau
melakukan kontrak. Hubungan ini merupakah fitrah yang sudah ditakdirkan oleh
Allah. karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal
arti hak milik. Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal memberikan
aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan dalam setiap
masa.
Begitupun
dalam menjalankan bisnis, satu hal yang sangat penting adalah masalah akad
(perjanjian). Akad sebagai salah satu cara untuk memperoleh harta dalam syariat
Islam yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Akad merupakan cara
yang diridhai Allah dan harus ditegakkan isinya. Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat
1 menyebutkan:
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& Ïqà)ãèø9$$Î/ 4
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”.
Dalam
ayat ini ahli tafsir memberikan penjelasan bahwa Aqad (perjanjian) mencakup:
janji prasetia hamba kepada Allah dan Perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam
pergaulan sesamanya.
B.
Pengertian Akad
Secara literal, akad berasal dari
bahasa arab yaitu عَقَدَ يَعْقِدُ عَقْدًا yang berarti
perjanjian atau persetujuan. Kata ini juga bisa diartikan tali yang mengikat
karena akan adanya ikatan antara orang yang berakad. Dalam kitab fiqih sunnah,
kata akad diartikan dengan hubungan ( الرّبْطُ ) dan kesepakatan ( الاِتِفَاقْ
).[1]
Menurut para ulama fiqh, kata akad didefenisikan sebagai hubungan antara ijab
dan kabul sesuai dengan kehendak syariat yang ditetapkan adanya pengaruh
(akibat) hukum dalam objek perikatan. Rumusan akad mengindikasikan bahwa
perjanjian harus merupakan perjanjian kedua belah pihak untuk mengikatkan diri
tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal yang khusus. Akad ini
diwujudkan Pertama, dalam ijab dan kabul. Kedua, sesuai dengan
kehendak syariat. Ketiga, adanya
akibat hukum pada objek perikatan.[2]
Akad
(ikatan,keputusan, atau penguatan) atau perjanjian atau transaksi dapat
dartikan sebagai kemitraan yang terbingkai dengan nilai-nilai syariah.
Dalam
istilah fiqh, secara umum akad berarti sesuatu yang menjadi tekad seseorang
untuk melaksanakan bik yang muncul dari satu pihak, seperti wakaf, talak,
sumpah, maupun yang muncul dari dua pihak, seperti jual beli, sewa, wakalah,
dan gadai.
Secara
khusus akad berarti kesetaraan antara ijab (pernyataan penawaran/pemindahan
kepemilikan) dan kabul (pernyataan penerimaan kepemilikan) dalam lingkup yang
disyariatkan dan berpengaruh kepada sesuatu.
Menurut
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang dimksud dengan akad adalah kesepakatan
dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan atau
tidak melakukan hukum tertentu.[3]
C. Rukun Akad
Untuk
sahnya suatu akad harus memenuhi hukum akad yang merupakan unsur asasi dari
akad. Rukun akad tersebut adalah:[4]
1.
Aqid (Orang yang Menyelenggarakan
Akad)
Aqid adalah pihak-pihak yang
melakukan transaksi, atau orang yang memiliki hak dan yang akan diberi hak,
seperti dalam hal jual beli mereka adalah penjual dan pembeli. Ulama fiqh
memberikan persyaratan atau kriteria yang harus dipenuhi oleh aqid antara lain
:
a)
Ahliyah
Keduanya memiliki kecakapan dan kepatutan untuk melakukan
transaksi. Biasanya mereka akan memiliki ahliyah jika telah baligh atau
mumayyiz dan berakal. Berakal disini adalah tidak gila sehingga mampu memahami
ucapan orang-orang normal. Sedangkan mumayyiz disini artinya mampu membedakan
antara baik dan buruk; antara yang berbahaya dan tidak berbahaya; dan antara
merugikan dan menguntungkan.
b)
Wilayah
Wilayah bisa diartikan sebagai hak dan kewenangan
seseorang yang mendapatkan legalitas syar'i untuk melakukan transaksi atas
suatu obyek tertentu. Artinya orang tersebut memang merupakan pemilik asli,
wali atau wakil atas suatu obyek transaksi, sehingga ia memiliki hak dan
otoritas untuk mentransaksikannya. Dan yang terpenting, orang yang melakukan
akad harus bebas dari tekanan sehingga mampu mengekspresikan pilihannya secara
bebas.
2.
Ma'qud ‘Alaih (objek transaksi)
Ma'qud ‘Alaih harus memenuhi
beberapa persyaratan sebagai berikut:
·
Obyek transaksi harus ada ketika
akad atau kontrak sedang dilakukan.
·
Obyek transaksi harus berupa mal
mutaqawwim (harta yang diperbolehkan syara' untuk ditransaksikan) dan dimiliki
penuh oleh pemiliknya.
·
Obyek transaksi bisa
diserahterimakan saat terjadinya akad, atau dimungkinkan dikemudian hari.
·
Adanya kejelasan tentang obyek
transaksi.
·
Obyek transaksi harus suci, tidak
terkena najis dan bukan barang najis.
3.
Shighat, yaitu Ijab dan Qobul
Ijab Qobul merupakan ungkapan yang
menunjukkan kerelaan atau kesepakatan dua pihak yang melakukan kontrak atau
akad. Definisi ijab menurut ulama Hanafiyah adalah penetapan perbuatan tertentu
yang menunjukkan keridhaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik yang
menyerahkan maupun menerima, sedangkan qobul adalah orang yang berkata setelah
orang yang mengucapkan ijab, yang menunjukkan keridhaan atas ucapan orang yang
pertama. Menurut ulama selain Hanafiyah, ijab adalah pernyataan yang keluar
dari orang yang menyerahkan benda, baik dikatakan oleh orang pertama atau
kedua, sedangkan Qobul adalah pernyataan dari orang yang menerima.
Dari dua pernyataan definisi diatas
dapat ditarik kesimpulan bahwa akad Ijab Qobul merupakan ungkapan antara kedua
belah pihak yang melakukan transaksi atau kontrak atas suatu hal yang dengan
kesepakatan itu maka akan terjadi pemindahan ha kantar kedua pihak tersebut.
Dalam ijab qobul terdapat beberapa syarat
yang harus dipenuhi , ulama fiqh menuliskannya sebagai berikut :
·
adanya kejelasan maksud antara kedua
belah pihak.
·
Adanya kesesuaian antara ijab dan
qobul
·
Adanya pertemuan antara ijab dan
qobul (berurutan dan menyambung).
·
Adanya satu majlis akad dan adanya
kesepakatan antara kedua belah pihak, tidak menunjukkan penolakan dan
pembatalan dari keduannya.
Ijab Qobul akan dinyatakan batal apabila :
·
penjual menarik kembali ucapannya
sebelum terdapat qobul dari si pembeli.
·
Adanya penolakan ijab dari si
pembeli.
·
Berakhirnya majlis akad. Jika kedua
pihak belum ada kesepakatan, namun keduanya telah pisah dari majlis akad. Ijab
dan qobul dianggap batal.
·
Kedua pihak atau salah satu, hilang
ahliyah -nya sebelum terjadi kesepakatan
·
Rusaknya objek transaksi sebelum terjadinya
qobul atau kesepakatan.
C.
Syarat Akad
Disamping
rukun, syarat juga harus terpenuhi agar akad itu sah. Adapun syarat-syarat itu
adalah:[5]
1. Syarat terjadinya akad
Syarat terjadinya akad adalah segala
sesuatu yang disyaratkan untuk terjadinya akad secara syara'. Syarat ini
terbagi menjadi dua bagian yakni umum dan khusus. Syarat akad yang bersifat
umum adalah syarat–syarat akad yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai
akad. Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam setiap akad adalah:
·
Pelaku akad cakap bertindak (ahli).
·
Yang dujadikan objek akad dapat
menerima hukumnya.
·
Akad itu diperbolehkan
syara'dilakukan oleh orang yang berhak melakukannya walaupun bukan aqid yang
memiliki barang.
·
Akad dapat memberikan faidah
sehingga tidak sah bila rahn dianggap imbangan amanah.
·
Ijab itu berjalan terus, tidak
dicabut sebelum terjadi kabul. Oleh karenanya akad menjadi batal bila ijab
dicabut kembali sebelum adanya kabul.
·
Ijab dan kabul harus bersambung,
sehingga bila orang yang berijab berpisah sebelum adanya qabul, maka akad
menjadi batal.
Sedangkan syarat yang bersifat
khusus adalah syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Syarat
ini juga sering disebut syarat idhafi(tambahan yang harus ada disamping
syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan.
2. Syarat Pelaksanaan akad
Dalam pelaksanaan akad, ada dua
syarat yaitu kepemilikan dan kekuasaan. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki
oleh seseorang sehingga ia bebas beraktivitas dengan apa-apa yang dimilikinya
sesuai dengan aturan syara'. Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam
ber-tasharuf sesuai dengan ketentuan syara'.
3. Syarat Kepastian Akad (luzum)
Dasar dalam akad adalah kepastian.
Seperti contoh dalam jual beli, seperti khiyar syarat, khiyar aib, dan
lain-lain. Jika luzum Nampak maka akad batal atau dikembalikan.
D.
Macam-Macam Akad
Dalam
kitab-kitab fiqh terdapat banyak bentuk akad yang kemudian dapat dikelompokkan
dalam berbagai variasai jenis-jenis akad. Secara garis besar adapun
pengelompokan macam-macam akad, anatara lain:[6]
1.
Akad
menurut tujuannya:
1.1. Akad Tabarru, yaitu akad yang dimaksudkan untuk
menolong dan murni semata-mata karena mengharapkan ridha dan pahala dari Allah
SWT. Atau dalam redaksi lain akad Tabarru (gratuitous countract) adalah
segala macam perjanjian yang menyangkut nonprofit transaction (transaksi
nirlaba). Akad yang termasuk dalam kategori ini adalah: Hibah, Wakaf,
Wasiat, Ibra’, Wakalah, Kafalah, Hawalah, Rahn, dan Qirad.
1.2. Akad Tijari, yaitu akad yang dimaksudkan untuk mencari
dan mendapatkan keuntungan dimana rukun dan syarat telah telah dipenuhi
semuanya. Atau dalam redaksi lain akad Tijari (conpensational
contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut for profit
transaction. Akad yang termasuk dalam kategori ini adalah: Murabahah,
Salam, Istishna’ dan Ijarah Muntahiyah bittamlik serta mudharabah
dan Musyaraqah.
2.
Akad
menurut keabsahannya:
2.1. Akad Sahih (Valid Contract) yaitu akad yang memenuhi
semua rukun dan syaratnya. Akibat hukumnya adalah perpindahan barang misalnya
dari penjual kepada pembeli dan perpindahan harga (uang) dari pembeli kepada
penjual.
2.2 Akad Fasid (Voidable Contract) yaitu akad yang semua
rukunnya terpenuhi, namun ada syarat yang tidak terpenuhi. Belum terjadi
perpindahan barang dari penjual kepada pembeli dan perpindahan harga (uang)
dari pembeli kepada penjual. Sebelum adanya usaha untuk melengkapi syarat
tersebut. Dengan kata lain akibat hukumnya adalah Mauquf (terhenti dan
tertahan untuk sementara).
2.3. Akad Bathal (Void Contract) yaitu akad dimana
salah satu rukunnya tidak terpenuhi dan otomatis syaratnya juga tidak dapat
terpenuhi. Akad sepeti ini tidak menimbulkan akibat hukum perpindahan harta
(harta/uang) dan benda kepada kedua belah pihak.
3.
Akad
menurut namanya:
3.1. Akad
bernama (al-u’qud al-musamma)
Yang dimaksud
dengan akad bernama ialah akad yang sudah ditentukan namanya oleh pembuat hukum
dan ditentukan pula ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku terhadapnya dan
tidak berlaku terhadap akad yang lain. Para fukaha berbeda pendapat tentang
jumlah akad bernama. Salah satu contoh menurut al-Kasani (w 587/1190) akad
bernama meliputi sebagai berikut:
· Sewa menyewah (al-ijarah)
· Pemesanan (al-istisnha)
· Jual beli (al-bai’)
· Penanggugan (al-kafalah)
· Pemindaan utang (al-hiwalah)
· Pemberian kuasa (al-wakalah)
· Perdamaian (ash-shulh)
· Persekutuan (asy-syirkah)
· Bagi hasil (al-mudharabah)
· Hibah (al-hibah)
· Gadai (ar-rahn)
· Pengarapan tanah (al-muzaraah)
· Pemeliharaan tanaman (al-mu’amalah/al-musaqah)
· Penitipan (al-wadi’ah)
· Pinjam pakai (al-‘ariyah)
· Pembagian (al-qismah)
· Wasiat-wasiat (al-washaya)
· Perutangan (al-qardh)
3.2. Akad tidak bernama (al-‘uqud gair al-musamma)
Akad tidak bernama adalah akad yang tidak diatur secara khusus
dalam kitab-kitab fiqh dibawah satu nama tertentu. Dalam kata lain, akad tidak
bernama adalah akad yang tidak ditentukan oleh pembuat hukum namanya yang
khusus serta tidak ada pengaturan tersendiri mengenainya. Contoh akad tidak
bernama adalah perjanjian, penerbitan, periklanan, dan sebagainya.
4.
Akad
menurut kedudukannya:
4.1. Akad Pokok (al-‘aqd al-ashli) adalah akad yang berdiri
sendiri yang keberadaannya tidak tergantung kepada suatu hal lain. Seperti:
akad jual beli, sewa-menyewa, penitipan, pinjam pakai, dan seterusnya.
4.2. Akad asesoir (a-‘aqd at-tabi’) adalah akad yang
keberadaannya tidak berdiri sendiri, tetapi tergantung kepada suatu hak yang
menjadi dasar ada dan tidaknya atau sah dan tidak sahnya akad tersebut.
Seperti: penanggungan (al-kafalah) dan akad gadai (ar-rahn).
5.
Akad
dari segi unsur tempo di dalam akad:
5.1. Akad
bertempo (al-‘aqd az-zamani) adalah akad yang di dalamnya unsur waktu
merupakan unsur asasi, dalam arti unsur waktu merupakan bagian dari isi
perjanjian. Seperti: akad sewa-menyewa, akad penitipan, akad simpan pakai, dan
sebagainya.
5.2. akad tidak
bertempo (al-‘aqd al-fauri) adalah akad dimana unsur waktu tidak
merupakan bagian dari isi perjanjian. Akad jual beli, misalnya, dapat terjadi
seketika tanpa perlu unsur tempo sebagai bagian dari akad tersebut.
6.
Akad
dari segi formalitasnya:
6.1. Akad
konsensual (al-‘aqd ar-radha’i)
Akad konsensual
dimaksudkan jenis akad yang untuk terciptanya cukup berdasarkan pada kesepkatan
para pihak tanpa diperlukan formalitas-formalitas tertentu. Yang termasuk akad
konsensual seperti jual beli, sewa-menyewa, dan utang piutang.
6.2. Akad
formalitas (al-‘aqd asy-syakli)
Akad formalitas
adalah akad yang tunduk kepada syarat-syarat formalitas yang ditentukan oleh
pembuat akad, apabila syarat-syarat itu tidak terpenuhi akad tidak sah.
Misalnya adalah akad di luar lapangan hukum harta kekayaan, yaitu akad nikah
dimana diantara formalitas yang disyariatkan adalah kehadiran dan kesaksian dua
orang saksi.
6.3. Akad riil
(al-‘aqd al-‘aini)
Akad riil
adalah akad yang untuk terjadinya diharuskan adanya penyerahan tunai objek
akad, dimana akad tersebut belum terjadi dan belum menimbulkan akibat hukum
apabila belum dilaksanakan. Ada lima macam akad yang termasuk dalam kategori
akad jenis ini, yaitu hibah, pinkam pakai, penitipan, kredit (utang), dan akad
gadai. Dalam kaitan dengan ini terdapat kaidah hukum Islam yang menyatakan ”Tabaru’
(donasi) baru terjadi dengan pelaksanaan riil” (la yatimmu at-tabarru’ illa bi
qabdh)
7.
Dilihat
dari segi dilarang atau tidak dilarangnya oleh syara’:
7.1. Akad masyru’
adalah akad yang dibenarkan oleh syara’ untuk dibuat dan tidak dilarang
untuk menutupnya, seperti akad-akad yang sudah dikenal luas semisal jual beli,
sewa menyewa, mudharabah, dan sebagainya.
7.2. Akad
terlarang adalah akad yang dilarang oleh syara’ untuk dibuat seperti akad jual
beli janin atau akad yang bertentangan dengan ahlak Islam (kesusilaan) dan
ketertiban umum seperti sewa menyewa untuk melakukan kejahatan.
8.
Akad
menurut dari mengikat dan tidak mengikatnya:
8.1. Akad
mengikat (al-‘aqd al-lazim) adalah akad dimana apabila semua rukun dan syaratnya
telah terlaksana maka akad tersebut akan mengikat secara penuh dan
masing-masing pihak tidak dapat membatalkannya tanpa perssetujuan pihak lain.
Akan ini dibedakan lagi menjadi dua macam yaitu: Pertama, akad mengikat
kedua belah pihak seperti akad jual beli, sewa menyewa dan sebagainya. Kedua,
akad mengikat satu pihak, yaitu akad dimana salah satu pihak tidak dapat
membatalkan perjanjian tanpa persetujuan pihak lain, akan tetapi pihak lain
dapat membatalkan tanpa persetujuan pihak pertama seperti akad kafalah (penanggungan)
dan akad gadai (ar-rahn).
8.2. Akad tidak
mengikat adalah akad pada masing-masing pihak dapat membatalkan perjanjian
tanpa persetujuan pihak lain. Akad ini dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) akad
yang memang sifat aslinya tidak mengikat (terbuka untuk di-faskh),
seperti akad Wakalah(pemberi kuasa), syirkah (persekutuan) dan
sebagainya. (2) akad yang tidak mengikat karena didalamnya terdapat khiyar
bagi para pihak.
9.
Akad
menurut dapat dilaksanakan atau tidak dapat dilaksanakan:
9.1. akad Nafiz
adalah akad yang bebas dari setiap faktor yang menyebabkan tidak dapatnya akad
tersebut tersebut.
9.2. akad Mauquf
adalah kebalikan dari akad nafiz, yaitu akad yang tidak dapat secara
langsung dilaksankan akibat hukumnya sekalipun telah dibuat secara sah, tetapi
masih tergantung (mauquf) kepada adanya retifikasi (ijasah) dari pihak
berkepentingan.
10.
Akad
menurut tanggungan:
10.1. ‘aqd
adh-dhaman adalah akad yang mengalihkan tanggungan resiko atas kerusakan
barang kepada pihak penerima pengalihan sebagai konsekuensi dari pelaksanaan
akad tersebut, sehingga kerusakan barang yang telah diterimanya melalui akad
tersebut berada dalam tanggungannya sekalipun sebagai akibat keadaan memaksa.
10.2. ‘aqd
al-‘amanah adalah akad dimana barang yang dialihkan melalui barang tersebut
merupakan amanah dari tangan penerima barang tersebut, sehingga dia tidak
berkewajiban menanggung resiko atas barang tersebut, kecuali kalau ada unsur
kesegajaan dan melawan hukum. Termasuk akad jenis ini adalah akad penitipan,
akad pinjaman, perwakilan (pemberi kuasa).
E. Cacat Akad
Tidak setiap akad (kontrak) mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk terus
dilaksanakan. Namun ada kontrak-kontrak tertentu yang mungkin menerima
pembatalan, hal ini karena disebabkan adanya beberapa cacat yang bisa
menghilangkan keridaan (kerelaan) atau kehendak sebagian pihak. Adapun
faktor-faktor yang merusak ketulusan atau keridaan seseorang adalah sebagai
berikut :[7]
1)
Paksaan / Intimidasi (Ikrah)
Ikrah yakni
memaksa pihak lain secara melanggar hukum untuk melakukan atau tidak melakukan
suatu ucapan atau perbuatan yang tidak disukainya dengan gertakan atau ancaman
sehingga menyebabkan terhalangnya hak seseorang untuk bebas berbuat dan
hilangnya kerelaan.
Suatu kontrak
dianggap dilakukan di bawah intimidasi atau paksaan bila terdapat hal-hal
seperti, yaitu :
·
Pihak yang memaksa mampu melaksanakan ancamannya.
·
Orang yang diintimidasi bersangka berat bahwa ancaman itu akan dilaksanakan
terhadapnya.
·
Ancaman itu ditujukan kepada dirinya atau keluarganya terdekat.
·
Orang yang diancam itu tidak punya kesempatan dan kemampuan untuk
melindungi dirinya.
Kalau salah satu dari hal-hal tersebut tidak ada, maka
intimidasi itu dianggap main-main, sehingga tidak berpengaruh sama sekali
terhadap kontrak yang dilakukan. Menurut Ahmad Azhar Basyir, bila akad
dilaksanakan ada unsur paksaan, mengakibatkan akad yang dilakukan menjadi tidak
sah dan menurut Abdul Manan, bila kontrak atau akad dibuat dengan cara paksa
diianggap cacat hukum dan dapat dimintakan pembatalan kepada pengadilan.
2)
Kekeliruan atau kesalahan (Ghalath)
Kekeliruan yang
dimaksud adalah kekeliruan pada obyek akad atau kontrak. Kekeliruan bisa
terjadi pada dua hal :
·
Pada zat (jenis) obyek, seperti orang membeli cincin emas tetapi ternyata
cincin itu terbuat dari tembaga.
·
Pada sifat obyek kontrak, seperti orang membeli baju warna ungu, tetapi
ternyata warna abu-abu.
Bila kekeliruan pada jenis obyek, akad itu dipandang
batal sejak awal atau batal demi hukum. Bila kekeliruan terjadi pada sifatnya
akad dipandang sah, tetapi pihak yang merasa dirugikan berhak memfasakh atau
bisa mengajukan pembatalan ke pengadilan.
3)
Penyamaran Harga Barang (Ghubn)
Ghubun secara
bahasa artinya pengurangan. Dalam istilah ilmu fiqih, artinya tidak wujudnya
keseimbangan antara obyek akad (barang) dan harganya, seperti lebih tinggi atau
lebih rendah dari harga sesungguhnya.
Di kalangan
ahli fiqh ghubn ada dua macam yakni :
·
Penyamaran ringan. Penyamaran ringan ini tidak berpengaruh pada akad.
·
Penyamaran berat yakni penyamaran harga yang berat, bukan saja mengurangi
keridaan tapi bahkan melenyapkan keridaan. Maka kontrak penyamaran berat ini
adalah batil.
4)
Penipuan (al-Khilabah)
Penipuan yaitu
menyembunyikan cacat pada obyek akad agar tampil tidak seperti yang sebenarnya.
Maka pihak yang merasa tertipu berhak fasakh.
5)
Penyesatan (al-Taqrir)
Menggunakan
rekayasa yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan akad yang
disangkanya menguntungkannya tetapi sebenarnya tidak
menguntungkannya. Taqrir tidak mengakibatkan tidak sahnya akad, tetapi pihak
korban dapat mengajukan fasakh.
F.
Kedudukan Akad
Dalam
fiqh muamalah akad memiliki kedudukan sebagai perbuatan hukum atau tindakan hukum dapat dilihat dari definisi-definisi
akad atau kontrak diantaranya :
Dalam Ensiklopedi hukum Islam dikemukakan bahwa akad adalah pertalian ijab
(pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai
dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikatan. Yang dimaksud
dengan “yang sesuai dengan kehendak syariat” adalah bahwa seluruh
perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak boleh apabila tidak
sejalan dengan kehendak syarak. Sedangkan pencantuman kalimat “berpengaruh pada
obyek perikatan” maksudnya adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari satu
pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak lain (yang menyatakan Kabul).
Selanjutnya definisi akad yang dikutip oleh Symasul Anwar yakni, “Pertemuan
ijab (penawaran) yang datang dari salah satu pihak dengan Qabul (akseptasi)
yang diberikan oleh pihak lain secara sah menurut hukum yang tampak akibatnya
pada obyek akad.”[8]
Definisi di atas menggambarkan bahwa akad dalam hukum Islam merupakan suatu
tindakan hukum yang berdasarkan kehendak murni dan bebas dari paksaan. Hanya
saja akad haruslah merupakan tindakan hukum berdasarkan kehendak dari dua pihak
yang saling bertemu.
Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, menyatakan bahwa tindakan hukum yang
dilakukan manusia terdiri atas dua bentuk yaitu; Tindakan berupa perbuatan dan
tindakan berupa perkataan kemudian tindakan yang berupa perkataan pun terbagi
dua yaitu yang bersifat akad dan yang tidak bersifat akad.
Tindakan berupa perkataan yang bersifat akad terjadi bila dua atau beberapa
pihak mengikatkan diri untuk melakukan suatu perjanjian. Sedangkan tindakan
berupa perkataan yang tidak bersifat akad terbagi dua macam yakni :
a). Yang
mengandung kehendak pemilik untuk menetapkan atau melimpahkan hak,
membatalkannya atau menggugurkannya seperti wakaf, hibah dan talak. Akad
seperti ini tidak memerlukan qabul.
b). Yang tidak
mengandung kehendak pihak yang menetapkan atau yang menggugurkan suatu hak,
tetapi perkataan itu memunculkan tindakan hukum seperti gugatan di pengadilan,
pengakuan di depan sidang.
Berdasarkan pembagian tindakan hukum tersebut di atas maka dapat
dikemukakan bahwa suatu tindakan hukum lebih umum dari akad dan oleh karena itu
setiap akad dikatakan sebagai tindakan hukum dari dua atau beberapa pihak,
tetapi sebaliknya setiap tindakan hukum tidak dapat disebut sebagai akad.
Menurut Taufiq dalam uraiannya sama dengan Az Zarqa tersebut, yakni
Tindakan hukum (tasharruf) adalah semua yang timbul dari seseorang yang berasal
kehendaknya, baik berupa perbuatan, maupun perkataan yang mempunyai akibat
hukum.
Dari definisi tersebut dengan jelas tindakan hukum dapat dibedakan menjadi
dua yakni :[9]
a)
Tindakan hukum yang berupa perbuatan, seperti menguasai barang-barang yang
halal, menggunakan barang bukan miliknya secara melawan hukum, menerima pembayaran
hutang, menerima barang yang dijual dan lain-lain.
b)
Tindakan hukum yang berupa perkataan dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
·
Yang berupa akad yaitu kesepakatan antara dua kehendak, seperti berkongsi
dan jual beli.
·
Yang berupa bukan akad, yaitu yang berupa pemberian informasi tentang
adanya hak seperti gugatan dan pengakuan, dapat dimaksud untuk menimbulkan atau
mengakhirinya, seperti wakaf, talak dan pembebasan kewajiban.
Dari uraian tersebut dimuka bahwa tindakan hukum lebih luas daripada akad
dan perikatan sebab tindakan hukum mencakup perbuatan, mencakup perkataan dan
juga mengikat dan tidak mengikat. Oleh karena akad merupakan bagian dari
tindakan hukum, tindakan yang berupa perkataan tertentu, maka yang lebih khusus
tunduk kepada pengertian umum, tidak sebaliknya. Maka setiap akad adalah
tindakan hukum dan tidak sebaliknya.
Ijab dan qabul, tidak hanya berbentuk ucapan (lisan) tetapi bisa dengan
Kitabah, Isyarah, perbuatan dan ta’athi (beri memberi).
Dari uraian-uraian tersebut di atas maka dapat difahami, bahwa akad sebagi
perbuatan hukum. Setiap akad adalah tindakan hukum, tetapi setiap tindakan
hukum tidak dapat disebut sebagai akad.
G. Berakhirnya
Akad
Berakhirnya akad bisa juga
disebabkan karena fasakh, kematian atau karena tidak adanya izin pihak lain
dalam akad yang mauquf:[10]
a) Berakhirnya
akad karena fasakh
Yang menyebabkan timbulnya fasakhnya akad yakni :
·
Fasakh karena fasadnya akad
Jika suatu akad berlangsung secara fasid maka akad
harus difasakhkan baik oleh pihak yang berakad maupun oleh putusan pengadilan
atau dengan kata lain sebab ia fasakh, karena adanyahal-hal yang tidak
dibenarkan syara’ seperti akad rusak.
·
Fasakh karena khiyar, baik khiyar
rukyat, cacat, syarat atau majlis,yang berhak khiyar, berhak memfasakh bila
menghendakinya,kecuali dengan kerelaan pihak lainnya atau berdasarkan keputusan
pengadilan.
·
Fasakh berdasarkan iqalah. Iqalah
ialah memfasahkan akad berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Atau salah
satu pihak dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena merasa menyesal.
·
Fasakh karena tiada realisasi.
Karena kewajiban yang ditimbulkan oleh adanya akad tidak dipenuhi oleh
pihak-pihak yang bersangkutan. Fasakh ini berlaku pada khiyar naqd (pembayaran)
yakni pembeli tidak melunasi pembayaran, atau jika pihak penjual tidak
menyerahkan barangdalam batas waktu tertentu.
·
Fasakh karena jatuh tempo atau
karena tujuan akad telah terealisir. Jika batas waktu yang ditetapkan dalam
akad telah berakhir atautujuan akad telah terealisir maka akad dengan
sendirinya menjadifasakh (berakhir) seperti sewa menyewa.
b) Berakhirnya
Akad Karena Kematian
Kematian menjadi penyebab berakhirnya sejumlah akad
adalah sebagai berikut;
·
Ijarah. Menurut Fuqaha Hanafiyah
kematian seseorang menyebabkan berakhirnya akad ijarah. Menurut jumhur
fuqahaselain Hanafiah, kematian tidak menyebabkan berakhirnya akad ijarah.
·
Al-Rahn (gadai) dan Kafalah
(penjaminan hutang). Jika pihak penggadai meninggal maka barang gadai
harus dijual untuk melunasi hutangnya. Dalam hal kafalah (penjamin) hutang,
makakematian orang yang berhutang tidak mengakibatkan berakhirnya kafalah, dilakukan
pelunasan hutangnya.
·
Syirkah dan wakalah. Keduanya
tergolong akad yang tidak lazim atas dua pihak. Oleh karena itu, kematian
seorang dari sejumlahorang yang berserikat menyebabkan berakhir syarikah.
Demikian juga berlaku pada wakalah.
c) Berakhirnya
Akad Karena Tidak adanya izin pihak lain.
Akad mauquf berakhir apabila pihak yang mempunyai
wewenangtidak mengijinkannya dan atau meninggal.
H. Penutup
Akad (al-‘Aqd), yang dalam
pengertian bahasa Indonesia disebut kontrak, merupakan konsekuensi logis dari
hubungan sosial dalam kehidupan manusia. Hubungan ini merupakah fitrah yang
sudah ditakdirkan oleh Allah ketika Ia menciptakan makhluk yang bernama
manusia. Karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal
arti hak milik. Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal memberikan
aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan dalam setiap
masa.
Akad memiliki berbagai macam,
tergantung dari ahli fiqh muamalah itu memandang dari sudut pandangnya. Selai
itu, akan memiliki kedudukan yang sangat penting dalam fiqh muamalah dalam
kehidupan sehari-hari umat manusia.
Daftar Pustaka
Ash.Shidiqy , T.M Hasbi. Pengantar Fiqh Muamalah. Jakarta:
Bulan Bintang. 1984
Djamil , Fathurrahman, Hukum Perjanjian Syariah, dalam
Kompilasi Hukum Perikatan oleh Mariam Darus Badrul Zaman. Bandung: PT Cipta
Adiya Bhakti. 2001
Imanike, Nur. Akad dalam Muamalah. dikutip pada situs: http://sukaapaajadeh.blogspot.com.
diakses pada tanggal 24 Oktober 2013
Khoyin, Ahmad. Makalah Akad Fiqh Muamalah. dikutip pada situs: http://fsqcairo.blogspot.com. diakses pada tanggal
24 Oktober 2013
Mardani. Fiqh Ekonomi Syariah,
Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana. 2012
Safwatul, Dofri. Makalah Muamalah
(Pengertian Akad). dikutip pada situs: http://makalahkomplit.blogspot.com. diakses pada tanggal 24 Oktober 2013
[1] T.M Hasbi
Ash.Shidiqy, Pengantar Fiqh Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984),
hlm. 8
[2] Fathurrahman
Djamil, Hukum Perjanjian Syariah, dalam Kompilasi Hukum Perikatan oleh
Mariam Darus Badrul Zaman, (Bandung: PT Cipta Adiya Bhakti, 2001), hlm. 247
[3] Mardani, Fiqh
Ekonomi Syariah, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 72
[4] Ahmad Khoyin, Makalah
Akad Fiqh Muamalah, dikutip pada situs: http://fsqcairo.blogspot.com, diakses pada tanggal 24 Oktober 2013
[5] Ibid
[6] Mardani, Op.Cit,
hlm. 76-86
[7] Dofri
Safwatul, Makalah Muamalah (Pengertian Akad), dikutip pada situs: http://makalahkomplit.blogspot.com, diakses pada
tanggal 24 Oktober 2013
[8] Nur Imanike, Akad
dalam Muamalah, dikutip pada situs: http://sukaapaajadeh.blogspot.com, diakses pada tanggal 24 Oktober
2013
[9] Ibid,
[10] Dofri, Lot.Cit,
Comments
Post a Comment