BUNGA BANK DAN RIBA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dewasa ini perbincangan mengenai
riba di kalangan negeri Islam mencuat kembali. Sehingga upaya-upaya melakukan
usaha yang bertujuan menghindari persoalan riba mulai dilaksanakan. Istilah dan
persepsi riba begitu hidupnya di dunia Islam. Oleh karenanya, terkesan
seolah-olah doktrin riba adalah khas Islam. Orang serig lupa bahwa hukum
larangan riba bukan hanya dikalangan muslim saja tetapi di dunia Kristen pun,
menurut cendikiawan maupun undang-undangnya, riba adalah barang terlarang.
Di sisi lain kita dihadapkan pada
suatu kenyataan bahwa praktik riba yang merambah keberbagai Negara ini sulit
diberantas, sehingga berbagai penguasa terpaksa melakukan pengaturan dan
pembatasan terhadap bisnis pembungaan uang. Perdebatan panjang dikalangan ahli
fiqhi tentang riba belum menemukan titik temu. Sebab mereka memiliki alas an
yang kuat. Akhirnya timbul berbagai pendapat yang bermacam-macam tentang bunga
dan riba.
B.
Rumusan
dan Batasan Masalah
Dari latar belakang di atas penulis
merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apakah
yang dimaksud bunga bank dan riba?
2. Bagaimanakah
hukum bunga bank dan riba?
Dari rumusan masalah di atas, maka
penulis menegaskan bahwa yang dibahas dalam makalah ini ialah pengertin bunga
bank dan riba serta hukum bunga bank dan riba.
C.
Hipotesis
Bungan bank yaitu penambahan jumlah
uang dalam deposito pada bank-bank konvensinal sedangkan riba ialah penambahan
jumlah uang karena ada kesepakatan sebelumnya. Mengeni hukum atas keduanya
yaitu, hukum bunga bank boleh (halal) selama bunganya tidak berlipat ganda
sedangkan hukum riba jelas tidak boleh (haram) karena merupakan bentuk
penambahan karena kesepakatan yang dapat memberatkan orang lain sehingga dapat
mendzaliminya dan jelas diharamkan dalam agama Islam.
D.
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini
ialah untuk mengetahui:
1. Pengertian
bunga bank dan riba,
2. Hukum
bunga bank dan riba.
E. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini
yaitu:
1. Pembaca
dapat memahami pengertian serta hokum bunga bank dan riba.
2. Mampu
mengklasifikasikan yang termasuk riba dalam kehidupan sehari-hari dalam
masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Bunga Bank dan Riba
Secara bahasa, bunga bank merupakan
terjemahan dari kata interest. Secara
istilah sebagaiman diungkapkan dalam suatu kamus dinyatakan, bahwa
“interest
is a charge for a financial loam, usually a percentage of the amount loaned”.
Bunga adalah tanggungan pada pinjaman
uang, yang biasanya dinyatakan dengan prosentase dari uang yang dipinjamkan
atau dikalkulasi untuk penggunan modal. Prosentasi modal yang bersangkutpaut
dengan itu dinamakan suku bunga modal.[1]
Jadi, bunga bank
ialah tambahan uang yang dinyatakan dalam bentuk prosentase dari uang yang
dipinjamkan.
“Riba secara bahasa bemakna ziyadah (tambahan). Secara istilah riba
berarti pengmbilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil”.[2]
Secara umum riba berarti menetapkan atau melebihkan jumlah pinjaman saat
pengambilan berdasarkan prosentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang
dibebankan kepada peminjam.
B.
Hukum
Bunga Bank dan Riba
Islam sebagai agama wahyu telah
memiliki syariat yang baku sebagai pedoman umat dalam menjalankan aktivitas
hidup. Demikian juga dengan persoalan penggunaan dan penyimpanan uang bagi
masyarakat, telah ada aturan-aturan yang jelas. Pemikiran tentang konsep
lembaga keuangan syariah sebenarnya bermula dari pandangan dalam Quran dan
hadits.
Secara nyata aplikasi system bunga pada
perbankan lebih banyak dirasakan mudharatnya daripada manfaatnya, antara lain:
1.
Mengakumulasi dana untuk keuangannya
sendiri.
2.
Bunga adalah konsep biaya yang
digeserkan kepada penanggung berikutnya.
3.
Menyalurkan hanya kepada yang mampu.
4.
Penanggung terakhir adalah masyarakat.
5.
Memandulkan kebijakanaan stabilitas dan
investasi.
6.
Terjadinya kesenjangan yang tidak aka
nada habisnya.[3]
Banyak pendapat dan tanggapan di
kalangan para ulama dan ahli fiqh tentang bunga bank sama dengan riba atau
tidak. Berikut beberapa pendapat dan tanggapan yang menganggap bahwa bunga bank
sama debgan riba. Diantara tanggapan tersebut adalah sebagaiana dikemukakan
oleh para ulama berikut:
“Pendapat yang dikemukakan oleh
Imam Akbar Syekh Mahmud Syaltut adalah pinjaman berbunga dibolehkan bila sangat
dibutuhkan”.[4]
“Pendapat atau fatwa syekh Rasyid Ridla,bahwa beliau membenarkan kaum muslimin
mengambil hasil bunga dari penduduk negeri kafir”[5].
Dari pendapat ulama di atas dapat
diklasifikasikan tentang halal-haramnya atau boleh tidaknya bunga bank, sebagai
berikut:
1. Dalam
keadaan darurat bunga halal hukumnya.
2. Hanya
kredit yang bersifat konsumtif saja yang pengambilan bunganya dilarang, adapun
yang produktif tidak demikian.
3. Buna
diberikan sebagai ganti rugi atas hilangnya kesempatan untuk memperoleh
keuntungan dari pengelolaan dana tersebut.
4. Bunga
dibeikan untuk mengimbangi laju inflasi yang mengakibatkan menyusutnya nilai
uang atau daya beli uang.
5. Bunga
diberikan sebagai imbalan atas pengorbanan tidak/berpantang menggunakan
pendapatan yang diperoleh.[6]
Ulama fiqh sebagaimana dijelaskan
oleh Abu Sura’I Abdul Hadi membagi riba dalam dua macam, yaitu riba fadl dan
riba an-nasi’ah.[7]
Riba fadl adalah riba yang berlaku dalam jual beli yang didefenisikan oleh para
ulama fiqh dengan kelebihan pada salah satu harta jenis yang diperjual belikan
dengan ukuran syarak.
Yang dimaksud syarak adalah timbangan
atau ukuran tertentu. Misalnya, satu kilogram beras dijual dengan satu
seperempat kilogram. Seperempat kilogram tersebut disebut iba fadl. Jul beli
semacam ini hanya berlaku dalam barter.[8]
Riba an-nasiah adalah kelebihan
atas piutang yang diberikan orang yang berutang kepada pemilik modal ketika
waktu yang disepakati jatuh tempo.[9] Apabila
waktu jatuh tempo sudah tiba, ternyata orang yang tidak berutang tidak sanggup
membayar utang dan kelebihannya, maka waktunya bisa diperpanjang dan jumlah ang
bertambah pula.
Akhirnya muncul berbagai pendapat
tentang dua macam jenis riba tersebut di kalangan ulama fiqhi.
Menurut ulama mazhab hanafi dalam salah
satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal, riba fadl ini hanya berlaku dalam
timbangan atau takaran harta yang sejenis, bukn terhadap nilai harta.[10]
Apabila yang
dijadikan ukuran adalah nilai harta, maka kelebihan yang terjadi tidak termasuk
riba fadl.
Sementara Mazhab Maliki dan Syafi’I
berpendirian bahwa :
Ilat
keharaman riba fadl pada emas dan perak adalah keduanya disebabkan keduanya
merupakan harga dari sesuatu, baik emas dan perak itu telah dibentuk.[11]
Oleh karna itu,
apapun bentuk emas dan perak apabila sejenis, tidak boleh diperjual belikan
dengan cara menghargai yang satu lebih banyak dari yang lain.
Pelarangan riba
an-nasiah mempunyai pengertian bahwa penetapan keuntungan positif atas uang
yang harus dikenbalikan dari suatu pinjaman sebagai imbalan karena menanti,
pada dasarnya tidak diizinkan oleh syariah.
Menurut syariah, waktu tunggu selama pembayaran
kembali pinjaman dengan sendirinya memberikan justifikasi atas keuntungan
positif dimaksud.[12]
Larangan riba fadl untuk menyakinkan
adanya keadilan dan menghilangkan semua bentuk eksploitasi melalui tukar
menukar barang yang tidak adil serta menutup semua pintu belakang bagi riba.
Nabi SAW menyamakan riba dengan menipu
dengan menerapkan system ijon secara sia-sia dengan bantuan agen. Hal ini
mengandung arti tambahan uang yang diperoleh dengan cara eksploitasi dan
penipuan seperti tidak lain kecuali riba fadl.[13]
BAB
III
PENUTUP
Simpulan
Persoalan riba
telah ada sejak orang berbicara tentang hubungan perdangan dan keuangan. Riba
adalah tambahan yang dilakukan secara batil, sangat mempengaruhi pelakunya
dalam sisi ekonomi maupun social. Secara ekonomi, riba dapat menimbulkan
inflasi disebabkan karena salah satu dari penentuan harga adalah suku bunga.
Sehingga bunga bank pun merupakan penambahan yang sama dengan riba. Dari sisi
social, riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Karena hanya
mengharap penambahan tanpa ada kerja. Sehingga bunga bank dan riba sama-sama
haram.
DAFTAR PUSTAKA
Husain, Imran. Riba dalam Pandangan Mazhab Hanafi , Jilid
1. Cet.1 ; Yogjakarta :
Graha Ilmu, 2007
Muhamad, Kontroversi tentang Bunga Bank dan Riba,
Jilid I. Cet.3 ; Yogjakarta :
PTAIS, 1997
Muhamad. Riba, Keuangan, dan Bunga Bank, Jilid I.
Cet.3 ; Yogjakarta : Ekonisia,
2004
Karnean
Perwataatmadja, Keistiqomahan dalam
mengelola Bank Syariah.
Yogjakarta:
LPPBS, 1997
[1] Muhamad, Riba, Keuangan, dan Bunga Bank, Jilid I
(Cet.3, Yogjakarta : Ekonisia, 2004), h.28
[2] Ibid, h.30
[3] Karnean
Perwataatmadja, Keistiqomahan dalam
mengelola Bank Syariah, (t.C ; Yogjakarta: LPPBS, 1997), h.22
[4] Muhamad, Kontroversi tentang Bunga Bank dan Riba,
Jilid I (Cet.3 ; Yogjakarta : PTAIS, 1997), h. 60
[5] Ibid
[6] Muhamad
(Kontroversi), Op. cit, h. 65
[7] Muhamad (Riba), Op.
cit, h.33
[10] Imran
Husain, Riba dalam Pandangan Mazhab Hanafi , Jilid 1 (Cet.1 ; Yogjakarta :
Graha Ilmu, 2007), hal.17
[12]Imran, Op. cit, 22
Comments
Post a Comment