Itegrasi zakat dalam sistem fiskal
INTEGRASI ZAKAT DALAM SISTEM FISKAL NASIONAL
Oleh :
A.Ikram
Kebijakan fiskal diartikan sebagai tindakan yang diambil
oleh pemeritah dalam bidang anggaran belanja negara dengan maksud untuk
mempengaruhi jalannya perekonomian. Kebijakan fiskal merupakan salah satu dari
piranti kebijakan ekonomi makro. Munculnya pemikiran tentang kebijakan fiskal
dilatar belakangi oleh adanya kesadaran terhadap pengaruh pengeluaran dan
penerimaan pemerintah guna memperbaiki kestabilan perekonomian.
Pada Instrumen kebijakan fiskal, mekanisme zakat
memastikan aktivitas ekonomi dapat berjalan pada tingkat yang minimal, yaitu
pada tingkat pemenuhan kebutuhan primer, sedangkan infak-sedekah dan instrumen
sejenis lainnya mendorong permintaan agregat, karena fungsinya yang membantu
umat untuk mencapai taraf hidup diatas tingkat minimum.
Dalam sistem ekonomi Islam, dominasi kebijakan fiskal
pemerintah di sektor riil ekonomi begitu jelas terlihat. Hal ini juga tergambar
bagaimana instrumen fiskal islam begitu mendominasi pembahasan ekonomi para
pakar ekonomi klasik. Apabila pilar utama dan pertama Al-Quran dengan
perekonomian Islam menyebutkan mekanisme Fiskal zakat menjadi syarat dalam
perekonomian riil.[1]
Secara garis besar, fungsi negara dalam mengelola sektor
ekonomi dan publik terbagi atas tiga fungsi, yakni :[2]
1.
Fungsi alokasi Negara
Pada hakikatnya, dalam konsep Islam, fungsi ini harus dapat dijalankan oleh
tiga elemen utama dalam perekonomian, yakni pasar, negara-negara, dan
organisasi negara. Ketiganya saling berinteraksi didalam suatu negara
perekonomian, dan mendorong terjadinya transfer antar-elemen sehingga tercipta
keadilan dan keseimbangan perekonomian.
Agenda utama yang ingi dicapai dari fungsi alokasi yang dijalankan oleh
negara adalah untuk memastikan bahwa seluruh sumber daya yang ada di dalam
kekuasaan suatu negara dapat dimanfaatkan secara efisien dan optimal. Ujung
dari pelaksanaan fungsi alokasi ini adalah terciptanya tingkat produksi barang
dan jasa yang optimal sehingga masyarakat secara rata-rata dapat hidup di atas
kebutuhan dasar minimum atau lebih.
2.
Fungsi Distribusi
Peran negara di dalam mengelola sektor publik, tidak hanya sampai dengan
pelaksanaan fungsi alokasi saja. Namun negara juga memiliki peranan untuk
menjamin bahwa setiap anggota masyarakat bisa menikmati kesejahteraan yang
adil. Ada beberapa pilar yang harus terpenuhi oleh negara untuk menjalankan
fungsi distribusi, yaitu: (1) supremasi atas kepentingan sosial dibanding
kepentingan pribadi, (2) penentuan standar publik mengenai kebutuhan dasar
minimun, (3) melarang adanya konsentrasi kekayaan dan eksplotasi, (4) kebijakan
yang mengutamakan sektor riil dan melarang penggunaan suku bunga.
Apabila negara menjalankan keempat pilar kebijakan tersebut maka akan lebih
mudah untuk merelisasikan proses distribusi yang adil tanpa harus mengahadapi
distorsi pasar. Tujuan pemerintah menjalankan funngsi distribusi adalah untuk
menghapus terjadinya konsentrasi kekayaan dan eksploitasi oleh segelintir atau
segolongan masyarakat saja.
3.
Fungsi stabilitasi
Target dari stabilisas sosial adalah terciptanya interaksi sosial
kemasyarakatan yang dinamis dan harmonis, sehingga setiap individu dapat
menikmati kehidupan sosial yang kuat secara spiritual, sejahtera, dan adil.
Target dari stabilitas ekonomi adalah untuk terciptanya kesejahteraan yang
tinggi dengan pemanfaatan sumber daya penuh, sehingga pertumbuhan ekonomi dapat
berlangsung.
Sebenarnya, stabilitas merupakan sebuah kondisi yang diupayakan tetap ada
sehingga kedua fungsi pemerintah sebelumnya tetap dapat dijalankan, fungsi
alokasi dan distribusi. Stabilitas merupakan jaminan supaya seluruh sumber daya
ekonomi dapat dialokasikan dan distribusikan secara adil.
Secara mendasar peranan pemerintah dalam
perekonomian memiliki dasar rasionalitas yang kokoh. Paling tidak ada tiga
argumentasi yang dapat dijadikan landasan. Pertama,
dalam konsepsi Islam pemerintahan merupakan derivasi dari konsep kekhalifahan.
Pemerintah adalah pemegang amanah Allah SWT untuk menjalankan tugas kolektif
dalam mewujudkan kesejahteraan (al adl wal ihsan) serta tata kehidupan yang
baik (hayyah thayyibah) bagi seluruh warga negara. Hal ini memiliki landasan
yang kuat baik secara ekpslisit dan implisit dalam Al-Qur’an QS. An-Nur : 25
dan QS. Al-Hijj : 41) dan hadist juga fakta historis pemerintahan Rasulullah
SAW dan Khulafaur Rasyidin.
Kedua, konsekuensi
adanya kewajiban-kewajiban kolektif (fard al-kifayah). Kewajiban kolektif
mengacu pada segala public interest, seperti industri untuk memenuhi kebutuhan
dasar dan kebutuhan pokok mencakup transportasi, pendidikan, pelayanan medis, dan lain-lain. Peran
pemerintah menjadi penting karna kemungkian masyarakat dapat gagal menyediakan
infrastruktur tersebut karna kekurangan informasi, pelanggaran moral, dan
kekurangan sumber daya serta kesulitan teknis.
Ketiga, adanya
kegagalan pasar dalam merealisasikan kesejahteraan baik dikarnaka oleh
ketidaksempurnaan mekanisme kerja pasar maupun tidak berjalannya mekanisme
kerja pasar secara efisien. Hal ini sangat potensial terjadi karena, pasar
lebih didorong diantaranya oleh motif profit sehingga aktivitas yang bersifat
public atau nirlaba tidak bisa dikerjakan oleh pasar. Selain itu, sistem harga
dengan hukum supply dan demand di pasar tidak dapat menyelesaikan dengan baik
penyediaan barang pubik, eksternalitas, keadilan, pemerataan, distribusi
pendapatan dan kekayaan, pertanahan, dan
lain-lain. Selain itu pasar juga
dalam kenyataannya tidak dapat bekerja secara sempurna dan menghasilkan harga
yang adil.
Dalam konsepsi Islam, negara yang ideal perlu
berorientasi pada: pertama, meningkatkan tingkat spiritualitas masyarakat dan
meminimalisasi kerusakan moral dan korupsi. Kedua, memenuhi kewajibannya untuk
kesejahteraan ekonomi dalam batas-batas sumber daya yang tersedia. Dan ketiga,
menjamin keadilan distributif dan memberantas praktik eksploitasi.
Kesejahteraan individu dalam masyarakat dapat terealisasi bila terdapat iklim
yang mendukung bagi pelaksanaan nilai-nilai spiritual dan moralitas secara
keseluruhan untuk individu maupun masyarakat serta eksisnya pemenuhan kebutuhan
pokok meterial manusia dengan cukup.
Peran negara dalam meningkatkan tingkat spiritualitas masyarakat dan
meminimalisasi kerusakan moral sangat penting. Disisi lain, tingkat spiritual
dan moralitas menjadi modal dasar bagi pembangunan sebuah bangsa. Implementasi
nilai dan moralitas dalam masyarakat dan pasar akan lebih efektif jika disertai
intervensi pemerintah. Hal ini mengingat bahwa mekanisme kerja pasar tidak
otomatis built in system dengan moralitas. Selalu ada potensi deviasi antara
norma dan prilaku agen ekonomi, karena naluri dasar manusia memiliki kebebasan
untuk taat dan tidak taat.
Untuk menjaga nilai spiritual, maka sebuah negara
harus mengupayakan pencapaiannya melalui tiga arah. Pertama, menciptakan
suasana yang kondusif bagi tegaknya rumah tangga yang memungkinkan
berlangsungnya pendidikan bagi generasi baru. Kedua, berusaha
menciptakan sistem pendidikan yang dijiwai semangat agama. Ketiga, menegakkan
nilai-nilai dan norma agama berupa penegakan hukum. Dan keempat, terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan pokok manusia seperti pelatihan dan pendidikan, tersedianya
lapangan kerja, pakaian yang cukup, serta fasilitas transportasi. Dan ketika
kekuatan-kekuatan pasar tidak menguntungkan maka negara bisa berperan dengan
kebijakan yang terbaik.[3]
Dengan demikian peran negara dalam meningkatkan
moralitas dalam perekonomian sangat penting yang secara operasional mencakup
beberapa hal mendasar. Pertama, memastikan dan menjaga implementasi nilai dan
moral secara keseluruhan dalam perekonomian. Kedua, memastikan dan menjaga agar
pasar hanya memperjualbelikan barang dan jasa yang membawa maslahah dalam
perekonomian. Barang dan jasa yang membawa kerusakan bagi kemanusiaan beserta
rantai produksi, distribusi, dan konsumsinya harus dilarang secara tegas.
Ketiga, melembagakan niali-nilai persaingan yang sehat, kejujuran, keterbukaan,
dan keadilan dalam pasar. Dalam konteks ini pemerintah juga harus menjadi
pengawas pasar. Keempat, menjaga pasar agar menyediakan barang dan jasa sesuai
dengan prioritas kebutuhan dengan memperhatikan faktor moralitas dan
kepentingan perekonomian nasional. Barang dan jasa untuk kemewahan dan
kesenangan dapat dibatasi bahkan dilarang jika ada prioritas untuk memenuhi
kebutuhan mendesak terhadap barang primer. Pemerintah bertugas melakukan perencanaan
pasar berbasis perioritas kebutuhan. Pemerintah juga bisa menjadi pelaku
berkaitan dengan penyediaan barang dan jasa hajat hidup masyarakat banyak.
Secara umum negara yang berorientasi kesejahteraan
dan bersesuaian dengan konsepsi Islam memiliki beberapa fungsi utama yang
mencakup, memberantas kemiskinan, menciptakan lapangan kerja dengan tingkat
yang tinggi melalui perencanaan yang rasional, membangun infrastruktur fisik
dan sosial yang diperlukan, meningkatkan stabilitas nilai rill uang, menjaga
hukum dan ketertiban, menegakkan keadilan sosial dan ekonomi mengatur keamanan
masyarakat serta membagi pemerataan pendapatan dan kekayaan. Dan menyelaraskan
hubungan internasional dan pertahanan nasional.[4]
Sesungguhnya kewajiban merealisasikan kesejahteraan
merupakan tugas seluruh agen ekonomi. Didalamnya meliputi pasar, pemeritah, dan
masyarakat. Kerja kketiga agen ekonomi ini penting mengingat senantiasa
terdapat potensi terjadinya kegagalan peran dari salah satu pihak, baik itu
market failure, goverment failure, citizent failure. Kegagalan tersebut akan
menyebabkan kesulitan untuk mencapai solusi optimum dalam perekonomian. Dengan
demikian, tiga agen utama ekonomi ini harus bekerja sama dalam menyelenggarakan
aktivitas ekonomi untuk mencapai kesejahteraan. Dan pemerintah menjadi dirjen
utama untuk mengarahkan gerak ekonomi dalam sebuah negara.
Sebagai dirjen, pemerintah dengan otoritasnya perlu
untuk mengarahkan pasar agar memberikan kontribusi yang optimum bagi
perekonomian. Karena secara ideal, pasar yang benar-benar kompetitif tidak akan
dijumpai dalam kenyataan dan selalu terdapat hal-hal yang menghambat. Dengan
demikian pemerintah harus berperan dalam menjamin mekanisme pasar yang baik.
Peran tersebut mencakup tiga hal penting. Pertama, pemerintah seacar
umum memastiakan dan menjaga agar mekanisme pasar dapat bersaing dengan
sempurna. Pemerintah harus menjamin terciptanya kebebasan masuk dan keluar
pasar, menghilangkan berbagai barriers, membongkar penimbunan sumber day
ekonomi, melarang kartel-karte yang merugikan, dan lain-lain.
Kedua, membuat berbagai
langkah untuk meningkatkan daya saing dan daya beli dari para pelaku pasar yang
lemah. Misalnya memberikan perlindungan dan fasilitas tertentu bagi produsen
kecil dan konsumen miskin, termasuk mendorong patnership antar pelaku pasar
seperti antar produsen besar dan kecil untuk meningkatkan efisiensi dan
pemerataan. Ketiga, mengambil berbagai kebijakan untuk menciptakan harga
yang adil, termasuk diantaranya yang ekstrim melalui monopoli atas barang dan jasayang
menguasai hajat hidup rakyat banyak. Hal ini mengingat monopoli tidak selalu
berdampak buruk bagi masyarakat selama harga yang tercipta adil.
Dalam melaksankan perannya tersebut pemerintah
secara umum memiliki beberapa instrumen kebijakan. Pertama, manajemen
produksi dan ketenagakerjaan disektor publik. Melalui kebijakan ini pemerintah
dapat berpera efektif dalam mengelola kekayaan publik seperti penciptaan
lapangan kerja pada birokrasi pemerintah misalnya rekrutmen pegawai negeri
sipil baik untuk tenaga administrasi birokrasi, tenaga kesehatan dan bahkan
juga guru serta pegawai BUMN. Juga peran produksi dan distribusi seperti yang
telah dimainkan oleh BUMN dan perum yang memiliki pengaruh besar secar
keseluruhan dalam perekonomian. Kedua, instrumen kebijakan yang
berkaitan dengan upaya mendorong kegiatan sektor swasta, seperti: regulasi bagi
sektor swasta, melakukan redistribusi faktor produksi, pengawasan pasar, dan
perlindungan bagi masyarakat yang lemah.
Ketiga, negara
dapat menetapkan pricing policy ketika dibutuhkan. Negara, ketika dibutuhkan
dapat meregulasi harga dengan cara intervensi pasar, penetapan harga, atau
mendorong kebijakan diskriminasi harga bagi kelompok masyarakat, daerah atau
sektor tertentu yang dipandang merupakan kepentingan publik. Hal ini penting
dilakukan ketika pasar tidak bekerja secara sempurna dan harga yang terbentuk
merugikan masyarakat. Keempat, kebijakan moneter dengan target untuk
menentukan jumlah uang beredar dan tingkat inflasi. Kelima, kebijakan
investasi kekayaan dan surplus sektor publik. Dan keenam, kebijakan
fisikal yang meliputi pengelolaan pendapatan dan belanja negara.
Melalui kebijakan fisikal pemerintah mengambil
tindakan memperbesar atau memperkecil jumlah pungutan pajak, memperbesar atau
memperkecil goverment expendituredan atau memperbesar atau memperkecil
goverment transfer yang bertujuan untuk mempengaruhi perekonomian. Sebagai mana
dipahami kebijakan fiskal bagi negara berkembang termasuk Indonesia, sangat digdaya dan
memiliki pengaruh yang besar dalam perekonomian secara keseluruhan. Dengan
kebijakan fiskal, pemerintah dapat mempengaruhi tingkat pendapatan nasional
(GNP), kesempatan kerja, tingkat pengangguran, investasi nasional, distribusi
pendapatan dan sebagainya.
Peran lain yang juga amat penting dari kebijakan
fiskal adalah peran redistribusi dan alokasi anggaran pemerintah dalam upaya
penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Dalam koneksi
ini, kebijakan fiskal dapat dipergunakan untuk mempengaruhi sektor-sektor ekonomi
atau kegiatan ekonomi tertentu, untuk menyeimbangkan pertumbuhan pendapatan
antarsektor ekonomi, antardaerah, atau antargolongan pendapatan. Peran
kebijakan fiskal juga menjadi penting di dalam menanggulangi dampak yang
ditimbulkan oleh bencana alam, wabah penyakit, dan konflik sosial.[5]
POSISI ZAKAT DALAM SISTEM FISKAL
Prinsip Islam tentang kebijakan fiskal dan anggaran
belanja bertujuan untuk mengembangkan masyarakat yang didasarkan atas
distribusi kekayaan berimbang dengan menempatkan nilai-nilai material dan
spiritual pada tingkat yang sama. Kebijakan fiskal dianggap sebagai alat untuk
mengatur dan megawasi perilaku manusia yang dapat dipengaruhi melalui insentif
atau meniadakan insentif yang disediakan dengan meningkatkan pemasukan kepada
pemerintah.
Dalam hal kebijakan fiskal, zakat memainkan peranan
penting dan signifikan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan, bahkan
berpengaruh nyata pada tingkah laku konsumsi. Zakat berpengaruh pula terhadap
pilihan konsumen dalam hal mengalokasikan pendapatannya untuk tabungan atau
investasi dan konsumsi. Pengaruh pengaruh baik dari zakat pada aspek sosial
ekonomi memberikan dampak terciptanya keamanan masyarakat dan menghilangkan
pertentangan kelas karena ketajamannya perbedaan pendapatan.
Zakat adalah sistem sosial, karena ia berfungsi
menyelamatkan masyarakat dari kelemahan baik karena bawaan ataupun karena
keadaan. Zakat dapat menanggulangi berbagai bencana dan kecelakaan, memberikan
santunan kemanusiaan, orang yang berada menolong yang tidak punya, yang kuat
membantu yang lemah, orang miskin dan ibn sabil, memperkecil perbedaan antara
si kaya dan si miskin. Secara filosofis sosial, zakat dikaitkan dengan prinsip
“keadilan sosial” dan dilihat dari segi kebijaksanaan dan strategi pembangunan
yang berhubungan dengan distribusi pendapatan masyarakat, pemerataan kegiatan
pembangunan, atau pementasan kemiskinan.[6]
Zakat juga merupakan sebagai sumber penerimaan alternatif
yang potensial dalam sistem fiskal Nasional. Zakat dapat dimasukkan sebagai
sumber pendapatan negeri-negeri muslim yang paling mungkin dan dapat
dikembangkan dalam era modern. Zakat bagi Indonesia juga memiliki nilai yang
signifikan jika dibandingkan dengan beberapa alokasi pengeluaran negara.
Jika dibandingkan dengan potensi zakat yang terdapat di
Indonesia pada tahun 2013 yakni sekitar Rp 217 triliun[7]
dengan dibandingkan dengan belanja negara pada APBN tahun 2013 yakni Rp 1.678
triliun. Sehingga Zakat juga memiliki justifikasi yang kuat untuk
diintegrasikan dalam sistem fiskal nasional. Hal ini didasari kenyataan bahwa
secara sosiologis dan demografis Indonesia adalah negeri muslim terbesar. Dan
pada saat yang sama secara filosifis, zakat memiliki legitimasi yang kuat
ketika diintegrasikan dalam sistem fiskal. Hal ini didukung kenyataan bahwa topik
dalam pembiayaan publik islam yang paling banyak diskusikan adalah mengenai
zakat.
RELASI
KONDISIONAL ZAKAT DAN NEGARA
Dalam teori ketatanegaraan Islam, pengelolaan zakat
adalah diserahkan kepada Wallyul Amri dimana dalam konteks ini yaitu
pemerintah. Hal ini merupakan kesimpulan para fukaha atas firman Allah “khudz
min amwalihim” (ambillah zakat dan harta mereka) yang terdapat dalam Al-Qur’an
surat At-Taubah ayat 103.
Menyatakan bahwa amil itu adalah orang-orang yang
ditugaskan atau yang diutus oleh imam atau pemerintah untuk mengambil,
menuliskan, menghitung dan mencatatkan zakat yang diambilnya dar para muzaki
untuk kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya. Karena itu, Rasulullah
SAW pernah mempekerjakan seorang pemuda dari suku Asad, yang bernama Ibnu
Lutaibah, untuk mengurus urusan zakat Bani Sulaim. Pernah pula mengutus Ali bin
Abi Thalib ke Yaman untuk menjadi amil zakat. Muaz bin Jabal pernah diutus
Rasulullah SAW pergi ke Yaman, disamping bertugas sebagai da’i, juga mempunyai
tugas khusus menjadi amil zakat.
Demikian pula yang dilakukan oleh para Khulafaur
Rasyidin sesudahnya, mereka selalu mempunyai petugas khusus yang mengatur
masalah zakat, baik pengambilan maupun pendistriusiannya. Diambilnya zakat dari
muzakki melalui amil zakat untuk kemudian disalurkan kepada mustahik,
menunjukkan kewajiban zakat itu bukanlah semata-mata bersifat amal
karitatif(kedermawanan), tetapi juga merupakan suatu kewajiban yang juga
bersifat otoritatif (ijbari).
Maka diantara pemahaman para fukaha ialah wajibnya
pemerintahan melakukan pungutan zakat dan kemudian menyalurkannya sesuai dengan
penerima asnaf yang telah ditentukan. Dengan demikian pemerintah wajib
melembagakannya dalam struktur kepemerintahannya mulai tingkat pusat sampai ke
pelosok-pelosok daerah sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW
dan Khulafaur Rasyidin.
Argumen tersebut juga didukung bahwasannya zakat
merupakan kewajiban berkaitan dengan harta dan bersifat sosial. Para fukaha
telah bersepakat, idealnya mereka yang tidak mau menunaikan zakat karena kikir
maka harus dihukum atau secara paksa. Apabila mereka memilki kekuatan untuk
melawan maka diperangi sampai takhluk dan mau melaksanakannya. Apabila
mereka secara terang-terangan mengingkari akan wajibnya zakat (sedang mereka
bukan baru masuk Islam) maka dihukumi dengan murtad dan keluar dari Islam.
Zakat bukanlah pemberian atau sedekah
yang diberikan dengan kerelaan hati dari seorang kaya kepada fakir miskin,
tetapi merupakan hak yang pasti bagi fakir miskin dan kewajiban atas para
muzakki tempat negara (daulah) berwenang utuk memungutnya melalui para pegawai
zakat yang ditunjuk oleh pemerintah.
Berkaitan dengan zakat, secara khusus pemerintah
hanya menndapatkan amanah untuk
mengelolah sesuai dengan peruntukannya. Zakat berbeda dengan pajak yang
dibebankan oleh negara. Negara
tidak boleh mengelola zakat sebagaimana pendapatan atau penerimaan pajak, yang
penentuan prioritas belanjanya diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah. Negara
hanya diberikan amanah untuk memungut kemudian menyalurkannya dengan segera
kepada delapan ashnaf yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an meski teknisnya
kemudian pemerintah bisa membuat peraturan operasional turunannya.
Dari perjalanan sejarah Islam, zakat sebagai
institusi politik mengalami pasang surut. Hampir semua penguasa kekhalifahan
menjalankan fungsi dan tugas amilin yaitu menghimpun dan mendistribusikan zakat
dengan tingkatan yang berbeda-beda dalam penerapannya. Pada periode tertentu
masyarakat lebih suka membayarkan zakat secara langsung kepada para mustahik
yang disebutkan dalam Al-Qur’an dari pada membayarkannya melalui pemerintah.
Namun zakat tidak pernah keluar dari karakter ritual sepanjang sejarah.
Menurut Abu Ubaid, periode khalifah Ali bin Abi
Thalib, menandai awal mula keengganan orang membayar zakat kepada pemerintah.
Hal ini diantaranya disebabkan oleh persoalan politik yang terjadi pada waktu
itu. Dan sebagian sahabat kemudian juga memberikan pendapat bolehnya zakat
disalurkan kpeda yang berhak secara langsung tanpa melalui perantara.
Dengan demikian pola pengelolaan zakat yag beragam
diberbagai negara muslim saat ini tidak diragukan lagi merupakan bagian yang
tidak dapat dipisahkan dari dinamika sejarah pengelolaan zakat. Saat ini model
pengelolaan zakat beragam sesuai dengan kondisi masing-masing negara muslim.
Secara umum model pengelolaan zakat tersebut terdiri dari dua model. Pertama,
pengelolaan yang dipayungi oleh undang-undang dan hal ini juga mencakup dua
model yaitu pengelolaan murni oleh pemerintah dan kedua dikelola oleh lembaga-lembaga
yang mendapat legalitas dari pemerintah. Dan kedua, adalah pengeloalaan yang
alami tanpa ada payung perundang-undangan, yang diperankan oleh lembaga charity
maupun orgasnisasi kemasyarakatan Islam.
Beragamnya model pengelolaan zakat tersebut menunjukkan
bahwa pada masa kontemporer, relasi zakat dan negara bersifat kondisional.
Meski perhatian dan dukungan pemerintah rendah, zakat akan tetap eksis meski
mungkin belum berperan secara maksimum dalam perekonomian. Berbeda dengan pajak
yang implementasinya sangat tergantung pada keberadaan negara. Sedangkan zakat
tidak bergantung pada negara meski untuk berjalan ideal membutuhkan peran
negara. Hal ini terjadi karena zakat merupakan badan yang mengikat pada setiap
muslim yang memiliki harta yang cukup meski negar tidak mewajibkannya. Zakat
selalu ada pada semua zaman sepanjang ada muslim yang berkecukupan.[8]
Dengan demikian jelas bahwa relasi zakat dan negara
bersifat kondisional, tergantung derajat komitmen dan kesungguhan pemerintah
sendiri untuk menjalankannya secara baik. Karenanya agar zakat bisa berperan
efektif maka dibutuhkan birokrasi pemerintah yang bersih dan memiliki komitmen
yang tinggi untuk merealisasikan kesejahteraan rakyat. Prinsip utamanya apakah
model pengelolaan zakat harus murni oleh pemerintah atau dikelola oleh lembaga
yang mendapat kebaikan bagi perekonomian. Selain itu juga bergantung pada
komitemen dan kesungguhan dan juga kepercayaan dari masyarakat.
SISTEM
WAJIB ZAKAT OLEH NEGARA
Reformasi memberikan
dampak kebebasan untuk menyampaikan aspirasi dalam konteks hidup berbangsa dan
bernegara. Kebebasan beragama merupakan amanat konstitusi. Dalam UUD 45 Pasal
29 ayat 2. Keharusan dan terlibatnya kekuasaan negara dengan agama terlihat
dari lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 menggantikan UU No 38 tahun
1999 yang sebelumnya telah menjadi payung hukum pengelolaan zakat.
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat resmi di undangkan dan masuk dalam Lembaran Negera Republik
Indonesia bernomor 115 setelah ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pada tanggal
25 November 2011. Lahirnya UU Nomor 23 tahun 2011 menggantikan UU No 38 tahun
1999 yang sebelumnya telah menjadi payung hukum pengelolaan zakat. Struktur
dari Undang-Undang Pengelolaan Zakat ini terdiri dari 11 Bab dengan 47 Pasal.
Tak lupa di dalamnya juga mencantumkan ketentuan pidana dan ketentuan
peralihan.
Secara eksplisit tujuan dari Undang-Undang
Pengelolaan Zakat adalah untuk mendongkrak dayaguna dan hasilguna pengelolaan
zakat, infak dan shadaqah di Indonesia. Karena itu pengelolaan zakat harus
dilembagakan (formalisasi) sesuai dengan syariat Islam. Dan harus memenuhi
asas-asas amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi, dan
akuntabilias sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efesiensi pelayanan.[9]
Pengelolaan zakat oleh pemerintah atau lembaga pengelola
zakat yang memiliki kekuatan hukum formal, akan memiliki lebih banyak
keunggulan. Pertama, untuk menjamin kepastian dan
disiplin pembayar zakat.
Kedua, untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahik zakat apabila
berhadapan langsung untuk menerima zakat dari para mushakki. Ketiga, untuk
mencapai efisien dan efektivitas, serta sasaran yang tepat dalam penggunaan
harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat. Keempat, untuk
memperlihatkan syiar Islam dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan yang
Islami. Sebaliknya, jika zakat diserahkan langsung dari muzakki kepada
mustahik, meskipun secara hukum syariah adalah sah, akan tetapi di samping akan
terabaikannya hal-hal tersebut di atas, juga hikmah dan fungsi zakat, terutama
yang berkaitan dengn kesejahteraan umat, akan sulit diwujudkan.
Dalam konteks kekinian indonesia, ada beberapa
permasalahan yang menyulitkan integrasi zakat dalam sistem fiskal negara. Hal
ini disebabkan oleh beragam faktor. Pertama, sudah lamanya zakat berpisah dari
sistem fiskal negara dan menjadi
urusan masing-masing pribadi muslim. Kedua, adanya penolakan yang berasal dari
kelompok yang pobiah
dengan masuknya institusi-institusi keagamaan kedalam sistem kenegaraan atau
menolak turut campurnya negara dalam urusan keagamaan spiritualitas warganya.
Ketiga, anggapan bahwa indonesia bukanlah negara agama, sehingga di anggap
tidak dapat dan tidak perlu mengadopsi institusi-institusi dan instrumen agama
seperti islam dalam ketatanegaraan.
Dalam landasan hukum negara Republik indonesia yang berkaitan dengan
prinsip negara dalam mengaplikasikan pendekatan kesejahteraan sosial yang
sebenarnya sudah membuka ruang untuk masuknya instrumen zakat. Dalam amandemen
keempat UUD 1994 pasal 23 menyebutkan bahwa pajak dan pungutan lain yng
bersifat memaksa untuk keperluan negara di atur dengan undang-undang. Dalam
pasal 34 menyebutkan pula bahwa fakir dan miskin di pelihara oleh negara.
Kemudian, negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat
indonesia dan berupaya memberdayakan masyarakat lemah berdasarkan pasal 34 ayat
2 UUD 1945.
Ada beberapa alasan mengapa negara perlu mengintegrasi zakat dalam sistem fiskal, yaitu:[10] Pertama,
zakat bukanlah bentuk kedermawanan sebagaimana infaq, wakaf, dan hibah. Zakat
hukumnya wajib sementara charity hukumnya sunnah. Pemungutan zakat dapat
dipaksakan berdasarkan konsepsi awal hadirnya zakat. Lembaga yang mempunyai
otoritas untuk melakukan pemaksaan seperti itu dalam sistem demokrasi adalah
negara lewat perangkat pemerintahan, seperti halnya pengumpulan pajak. Apabila
telah menjadi kesepakatan publik, pemerintah dan legislatif maka sistem wajib
zakat bagi warga negara muslim dapat ditetapkan.
Kedua,
realisasi zakat yang dapat dikumpulkan dari potensi yang dimiliki masyarakat
akan sangat besar. Menurut beberapa hasil penelitian mengungkapkan jumlah
potensi zakat umat Islam Indonesia cukup besar. Pada kenyataannya, dana zakat
yang berhasil dihimpun BAZ pemerintah serta LAZ swasta masih jauh dari potensi
yang sebenarnya. Realisasi yang sangat besar dari potensi itu sangat besar dari
potensi itu akan dapat dicapai ketika ditetapkan sistem tersebut dan dengan
didukung oleh infrastruktur dan kesadaran masyarakat yang baik.
Ketiga,
zakat mempunyai potensi untuk turut membantu pencapaian sasaran pembangunan
nasional dan lokal. Dana zakat yang sangat besar sebenarnya cukup berpotensi
untuk meningkatakan taraf hidup masyarakat jika disalurkan secara terprogram dan
terintegrasi dalam rencana pembangunan
nasional dan regional. Karena dalam periode tertentu, pemerintah pusat dan
daerah membuat rencana pembangunan diberbagai bidang sekaligus perencanaan
anggarannya. Potensi zakat yang cukup besar dan sasaran distribusi zakat yang
jelas seharusnya dapat sejalan dengan rencana pembangunan nasional dan daerah
tersebut.
Keempat,
agar dana zakat dapat disalurkan secara tepat, efisien dan efektif sehingga
mencapai tujuan zakat itu sendiri seperti meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Pengumpulan dan pendistribusian zakat yang terpisah-pisah, baik disalurkan
sendiri maupun melalui berbagai charity membuat misi zakat agak tersendat.
Harus diakui bahwa berbagai lembaga charity telah berbuat banyak dalam
pengumpulan dan pendistribusian dana zakat dan telah banyak hasil yang
diberikan. Namun, hasil itu dapat ditingkatkan kalau sistem wajib zakat
diterapkan, serta pengumpulan dan pengelolaannya didukung oeh negara melalui
perangkat-perangkatnya.
Kelima,
memberikan kontrol kepada pemerintah. Salah satu penyakit yang masih
menggerogoti keuangan Indonesia dan negara-negara muslim lainnya adalah korupsi
atau penyalahgunaan keuangan negara. Padahal, sebagian besar pengelola negara
ini adalah beragama Islam. Penyalahgunaan ini antara lain disebabkan oleh
lemahnya iman menghadapi godaan untuk korupsi. Masuknya dana zakat ke dalam
pembendaharaan negara diharapkan akan menyadarkan mereka bahwa di antara uang
yang dikorupsi itu terdapat dana zakat yang tidak sepantasnya dikorupsi juga.
PENGALAMAN
BEBERAPA NEGARA
Negara-negara terdekat dari Indonesia yang memiliki umat
Muslim mayoritas, yaitu Malaysia dan Brunei Darussalam memiliki pengelolaan
pengeluaran zakat yang lebih baik dibanding Indonesia.[11]
Berikut ini beberapa negara dalam penerapan pengelolaan zakatnya:
Saudi Arabia
Penerapan zakat di Saudi Arabia yang didasarkan pada perundang-undangan
negara dimulai sejak tahun 1951 M. Sebelum itu, penunaian zakat di
Saudi Arabia tidak diatur oleh perundang-undangan. Penerapan
pengelolaan zakat oleh pemerintah Saudi berdasarkan pada keputusan Raja (Royal Court) No. 17/2/28/8634
tertanggal 29/6/1370 H/7/4/1951., yang berbunyi: “zakat syar‘iy yang
sesuai dengan ketentuan syari>ah Isla>miyah diwajibkan
kepada individu dan perusahaan yang memiliki kewarganegaraan Saudi.”
Sebelumnya, terbit keputusan Raja terkait pengenaan pajak
pendapatan bagi warga non Saudi. Dengan terbitnya keputusan
tersebut, warga non Saudi tidak lagi diwajibkan mengeluarkan zakat,
melainkan hanya diwajibkan membayar pajak pendapatan.
Sementara warga Saudi hanya dikenai kewajiban membayar zakat
tanpa pajak.
Kewenangan menghimpun zakat di Saudi Arabia mulai
kebijakan sampai urusan teknis berada di bawah kendali Departemen Keuangan yang
kemudian membentuk bagian khusus yang diberinama Mas}lahah az-Zaka>h
wa ad-Dakhl (Kantor Pelayanan Zakat dan Pajak Pendapatan). Sedangkan
kewenangan penyaluran zakat berada dalam
kendali Departemen Sosial dan Pekerjaan di bawah Dirjen Jaminan Sosial (D{ama>n
‘Ijtima>‘i).
Penghimpunan zakat di Saudi Arabia diterapkan pada semua
jenis kekayaan. Zakat ternak dikelola oleh komisi bersama antara Departemen
Keuangan dan Departemen Dalam Negeri yang disebut al-‘Awa>mil yaitu
komisi khusus yang bertugas melakukan pemungutan zakat ternak ke
pelosok-pelosok daerah, kemudian mendrop semua hasilnya ke Departemen Keuangan.
Komisi khusus Al-‘Awa>mil ini juga mengumpulkan zakat
pertanian, zakat perdagangan, zakat simpanan uang, dan zakat pendapatan. Yang
termasuk kategori zakat pendapatan seperti pendapatan dokter, kontraktor,
pengacara, accounting, dan para pegawai, termasuk juga seniman,
penghasilan hotel, biro travel. Zakat pendapatan dari masing-masing profesi
tersebut akan dipotong dari tabungan mereka setelah mencapai nisab. Cara
penghitungannya berdasarkan pada laporan keuangan masing-masing.[12]
Pakistan
Negara Pakistan didirikan pada tahun 1950. Namun, undang-undang
tentang pengelolaan zakat yang disebut dengan UU zakat dan Usyr baru
diterbitkan secara resmi pada tahun 1979. Undang-undang ini dianggap
belum sempurna sehingga pada tahun 1980 Undang-undang zakat
mulai disempurnakan. Pengelolaan zakat di Pakistan bersifat sentralistik yang disebut
dengan Central Zakat Fund (CZF). CZF dipimpin secara kolektif oleh enam belas
anggota, salah satunya adalah Hakim Agung Pakistan, delapan orang tidak
resmi dengan tiga diantaranya dari golongan ulama, dan tujuh sisanya resmi salah satunya
ketua Zakat Fund, empat Menteri Keuangan Negara Bagian Federal dan unsur
kementrian urusan agama. Hirarki pengelolaan zakat di Pakistan
puncaknya berada di CZF, empat Provincial Zakat Fund (negara
bagian), 81 Lokal Zakat Fund, sampai ke tingkat Unit Pengumpulan
yang berada di daerah.
Zakat diwajibkan kepada setiap muslim warga negara Pakistan
yang hartanya telah mencapai nisab. Zakat langsung dipotong dari harta muzakki
pada item-item tertentu seperti: pemotongan langsung dari account
tabungan dan deposito, sertifikat deposito, sertifikat
investasi, obligasi pemerintah, saham perusahaan dan polis asuransi.
Sedangkan harta lainnya diserahkan kepada muzakki untuk
menunaikannya, seperti zakat uang cash, zakat emas dan
perak, zakat perdagangan, zakat industri, dan sebagainya.
Penyaluran zakat di Pakistan didistribusikan ke delapan asnaf
dengan memperhatikan skala prioritas sebagaimana tertuang dalam naskah
Undang-undang: “prioritas utama diberikan kepada fakir miskin
terutama para janda, orang cacat baik dengan cara langsung atau
tidak langsung seperti melalui pendidikan resmi sekolah,
pendidikan keterampilan, rumah sakit, klinik, dan lainnya.”[13]
Malaysia
Di Malaysia, setiap negeri mempunyai Majlis Agama Islam
yang telah diberi kuasa oleh Pemerintah untuk mengurusi masalah Islam, termasuk
urusan wakaf dan zakat. Majlis Agama Islam terdapat di 13 negeri (yaitu
Selangor, Johor, Perak, Terengganu, Pilau Pinang, Kelantan,
Pahang, Negeri Sembilan, Kedah, Melaka, Serawak, Sabah, dan
Perlis) dan di 1 Wilayah Persekutuan (yaitu, Kuala Lumpur,
Labuan, dan Putrajaya) yang dikoordinasikan oleh Kantor Perdana
Menteri yang membawahi direktorat Kemajuan Islam dan
memainkan peranan utamanya untuk nasional, serta mewakili
Malaysia untuk tingkat internasional dalam urusan agama.
Di bawah Majlis Agama Islam terdapat organisasi atau kantor
yang bertanggung jawab untuk zakat dan wakaf. Salah satunya adalah Pusat
Pungutan Zakat (PPZ). PPZ ini pertama kali beroperasi pada 1 Januari 1991.
Manajemen PPZ berada di bawah perusahaan Hartasuci Sdn. Bhd.,
yang bertanggung jawab akan manajemen PPZ di hadapan Majlis
Agama Islam. Antara Hartasuci dan Majlis Agama Islam terdapat ikatan kontrak perjanjian,
yaitu memberi kuasa untuk manajemen PPZ dan sekaligus menjadi amil zakat.
Kontrak tersebut meliputi beberapa hal seperti tugas Hartasuci dan
peraturan-peraturan yang harus diikuti oleh Hartasuci sebagai
pihak yang menjalankan manajemen PPZ dan amil zakat.
Fungsi utama PPZ ialah mencari muzakki baru,
menjaga kontinuitas pembayarannya, memberi penerangan seputar zakat, menghimpun
zakat, mengeluarkan resi zakat kepada pembayar, membuat laporan harian,
bulanan, dan tahunan, membina loketloket baru dan saluran-saluran baru untuk
pembayaran zakat agar lebih memudahkan pembayar zakat, dan menambah aset PPZ
dari lebihan upah amil setelah ditolak semua perbelanjaan.
Pendistribusian zakat di Wilayah Persekutuan sebagai contoh, melalui
program-program bantuan langsung untuk Fakir dan Miskin semisal bantuan makanan,
bantuan keuangan, bantuan medis, sekolah, seragam sekolah, kontrak rumah,
bencana alam, pernikahan dan usaha. Bantuan tidak langsung dapat berbentuk
pemberian manfaat tidak langsung, seperti Institut Kemahiran Baitulmal (IKB)
yang giat melakukan pembinaan, pelayanan pelatihan keterampilan untuk fakir
miskin. Sedangkan Komplek Kebajikan Darus Sa’adah merupakan tempat perlindungan
dan pendidikan bagi mu’allaf, janda, dan fakir miskin. Institut
Profesional Baitulmal (IPB) juga memberikan pendidikan profesional setingkat
perguruan tinggi kepada anak-anak fakir miskin, di samping hotel dan rumah
sakit yang mereka miliki.[14]
Brunei Darussalam
ini berbeda dengan pengelolaan zakat di Brunei
Darussalam. Di negara petro dollar ini, zakat dikelola
secara langsung oleh pemerintah di bawah Majlis Ulama Islam Brunei (MUIB). Lembaga
di bawah MUIB yang melakukan penghimpunan dan pendistribusian zakat adalah Bahagian
Kutipan dan Agihan Zakat (BAKAZ), semacam BAZNAS kalau
di Indonesia. Karena BAKAZ mengelola dana amanah, maka MUIB tidak
sembarangan dalam memilih para pengelola (amil) zakat. Berdasarkan
peraturan Zakat dan Fitrah 1969, mereka dilantik oleh Kebawah
Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan dan Yang
Dipertuan Negara Brunei Darussalam pada setiap 1 Ramadhan di kawasan masing-masing di seluruh
Negara Brunei Darussalam
Setiap tahun, selain menerima surat pelantikan, para amil
itu juga mendapatkan buku petunjuk tentang tugas dan tanggung jawabnya. “Sebuah
buku Garis Panduan Tugas dan Tanggung Jawab Amil telah diterbitkan dengan
tujuan menyeragamkan cara pelaksanaan tugas dan tanggung jawab amil serta
sebagai panduan dan pengarahan untuk para amil berkenaan dengan pelaksanaan
tugasnya agar lebih efisien, profesional dan bertanggung jawab.[15]
Singapura
Walaupun menjadi minoritas di suatu negara, tak
berarti kemampuan zakat menjadi semakin melempem. Geliat zakat di Singapura
menunjukkan peningkatan sebanyak lima persen setiap tahun. Pada 2012, Majlis Ulama Islam Singapura
(MUIS) membukukan zakat meningkat ke angka 25,6 juta dolar singapura. Deputy Director Assets
Development Shamsiah Abdul Karim menceritakan perkembangan zakat di Singapura meskipun mayoritas
pemeluk agama Islam hanya 15 persen dari jumlah populasi, tak menjadikan nilai
zakat stagnan apalagi menurun. Dengan pengelolaan, sosialisasi, manajemen, dan
transparansi, nilai zakat akan terus meningkat ke depannya.
Kejujuran menjadi salah
satu langkah penting agar masyarakat percaya dananya digunakan sesuai amanah.
Dana yang telah tersetor secara lengkap akan dipublikasikan setiap
tahun. Kendala yang dihadapi masyarakat Singapura ialah masih banyak yang
melakukan zakat individu. Namun dengan sosialisasi zakat dilakukan terus
menerus para donator zakat secara individual bisa menyumbangkan lewat (MUIS).[16]
PENUTUP
Dalam hal kebijakan fiskal, zakat memainkan peranan
penting dan signifikan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan, bahkan
berpengaruh nyata pada tingkah laku konsumsi. Zakat berpengaruh pula terhadap
pilihan konsumen dalam hal mengalokasikan pendapatannya untuk tabungan atau
investasi dan konsumsi. Pengaruh pengaruh baik dari zakat pada aspek sosial
ekonomi memberikan dampak terciptanya keamanan masyarakat dan menghilangkan
pertentangan kelas karena ketajamannya perbedaan pendapatan.
Zakat sebagai instrumen fiskal
apabila telah diatur untuk masukan ke dalam APBN sebagai penerimaan negara.
Statusnya sebagai instrumen fiskal terletak pada fungsinya yang dapat mengatur
pengeluaran pemerintah (dari dana zakat) untuk tujuan tujuan produktif yang
telah ditetapkan pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Nuruddin Mhd. Zakat
sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal. Jakarta; PT. RajaGrafindo
Persada. 2006
Faisal. Analisis. “Sejarah
Pengelolaan Zakat Di Dunia Muslim dan Indonesia”. Volume XI. Nomor 2. Desember
2011
Febrianti. “Di Brunei Darussalam Zakat Dikelolah Langsung
Oleh Pemerintah”. Majalah Zakat BAZNAS. Edisi
Mei-Juni 2014
Huda, Nurul, dkk. Keuangan Publik Islam: Pendekatan
Teoritis dan Sejarah. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group. 2012
Ichsan, A.Syalaby. ROL Republik Online. “Geliat Zakat di
Singapura Meningkat”. 29 April 2013. Dikutip dari www.republika.co.id. Diakses pada tanggal 26 Desember 2014
Kurniawan, Puji. Al-Risalah.
“Legislasi Undang-Undang Zakat”. Volume 13 Nomor
1, Mei 2013
Nasution, Mustafa
Edwin dkk. Indonesia
Zakat & Develoment
Report 2009.
Jakarta; PEBS FEUI dan CID. 2009
Zuraya, Nidia. ROL
Republik Online. “Potensi Zakat Rp 217 Triliun Terserap Satu Persen”. 29
April 2013, Dikutip dari www.republika.co.id. Diakses pada tanggal 26 Desember 2014
[1] Nurul Huda,
dkk., Keuangan Publik Islam: Pendekatan Teoritis dan Sejarah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012)
, h 213.
[3] Mustafa Edwin Nasution dkk, Indonesia Zakat & Develoment Report 2009, (Jakarta; PEBS FEUI
dan CID 2009), hal.83-84
[6] Nuruddin
Mhd. Ali, Zakat sebagai Instrumen dalam
Kebijakan Fiskal, (Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h.151-152
[7] Nidia
zuraya, ROL Republik Online, “Potensi
Zakat Rp 217 Triliun Terserap Satu Persen”, 29 April 2013, Dikutip dari www.republika.co.id. Diakses
pada tanggal 26 Desember 2014
[9] Puji Kurniawan, Al-Risalah,
“Legislasi Undang-Undang Zakat”, Volume 13 Nomor 1, Mei 2013, hal. 100
[12] Faisal, Analisis, “Sejarah Pengelolaan Zakat Di
Dunia Muslim dan Indonesia”, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011, h.251
[15] Febrianti,
“Di Brunei Darussalam Zakat Dikelolah Langsung Oleh Pemerintah”, Majalah Zakat BAZNAS, Edisi Mei-Juni
2014, h.26
[16] A.Syalaby Ichsan, ROL Republik Online, “Geliat Zakat di
Singapura Meningkat”, 29 April 2013, Dikutip dari www.republika.co.id. Diakses
pada tanggal 26 Desember 2014
Comments
Post a Comment