HARGA MINYAK DUNIA TURUN, PERLUKAH HARGA BBM DITURUNKAN?
Oleh : ASNIDAR
Kontroversial
kenaikan BBM di bulan Mei 2008 sudah berlalu. Aksi demonstrasi para mahasiswa
dan elemen masyarakat pada saat itu terus berlangsung menuntut pemerintah tidak
menaikkan harga BBM. Demonstrasi yang berlangsung ricuh di Senayan dan kampus
UKI masih meninggalkan kesan derita bagi para demonstran dan aparat. Kenaikan
BBM dan demonstrasi ini terjadi karena kenaikan harga minyak dunia dari US $
60-an hingga melampaui US $ 120 per barel.
Kenaikan
harga BBM diikuti dengan meroketnya harga kebutuhan pokok, naiknya harga
makanan dan ongkos angkutan umum. Disamping itu, dampak kenaikan BBM telah
mematikan sumber pencaharian masyakarat kecil yang sangat bergantung pada BBM.
Secara umum, kenaikan BBM merupakan keputusan yang berdampak negatif kepada
masyarakat.
Masih
tingginya ketergantungan akan BBM sebagai sumber energi utama menjadi
permasalahan mendasar. Meskipun Indonesia memiliki minyak bumi sendiri, namun
kesalahan kebijakan pemerintah Orde Baru untuk memberikan korporasi asing untuk
mengeksploitasi telah menyebabkan pemerintah harus membeli minyak kepada
perusahaan asing yang mengambil minyak dari perut bumi kita sendiri. Pemerintah
saat inipun masih bersikap stagnan dalam kasus ini, sehingga ketika harga
minyak naik, pemerintah menaikkan harga BBM dengan alasan klasik mengurangi
“subsidi”. Sesungguhnya jika negara bisa mengolah kekayaan alam
dengan baik, tidak perlu ada istilah “subsidi”. Hasil penjualan minyak ke masyarakat
dapat digunakan untuk mengimpor minyak (karena net importir country), dan
sisanya digunakan untuk meningkat ekonomi kerakyatan.
Harga
minyak mentah dari US$ 140 per barel (Juli 2008) turun menjadi US$ 70 per
barel. Turunnya minyak mentah berarti harga BBM pasti turun. Sehingga anggaran
yang digunakan pemerintah untuk “mensubsidi” minyak akan berkurang. Inilah
menjadi alasan sebagian masyarakat mendesak pemerintah untuk menurunkan harga
BBM.
Masyarakat
berharap jika BBM diturunkan, maka akan diikuti penuruan harga-harga kebutuhan
pokok. Perlu disadari bahwa yang dibutuh masyarakat adalah dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan layak.
Tepat
pukul 00.00 WIB di awal tahun baru 2015, harga BBM “diturunkan” dari Rp 8.500
menjadi Rp 7.600.
Bagi
orang yang Berfikir, tentu paham bahwa ini hanya seolah-olah turun. Sebab mulai
tanggal 18 November 2014 lalu, harga premium naik dari Rp 6.500 menjadi Ro
8.500 perliter. Artinya, yang terjadi saat ini adalah harga BBM naik Rp 1.100
perliter.
Ini
sungguh pencitraan yang sangat sempurna! Sebab secara psikologis, masyarakat
akan senang. “Alhamdulillah, harga BBM turun!” Padahal turunnya itu ditetapkan
setelah sebelumnya dinaikkan. Bahkan angka penurunannya lebih tinggi dari angka
sebelum dinaikkan. Sungguh trik yang cerdas!!!
Harga
BBM boleh turun. Tapi harga barang-barang sudah terlanjur naik. Tarif kereta
api juga naik. Harga gas juga naik. Tarif TransJakarta juga naik. Artinya,
biaya hidup sudah pasti naik. Sedangkan penghasilan kebanyakan rakyat masih
segitu-gitu aja. Artinya, penurunan harga BBM kali ini tak begitu berpengaruh.
Jadi,
apa sebenarnya motif di balik naik turunnya harga BBM di era presiden ketujuh
yang baru menjabat selama dua bulan ini?
Sebaiknya
pemerintah tidak menurunkan harga BBM, karena:
·
Tren harga minyak yang masih fluaktuatif
Jika minyak
naik lagi, akan terjadi polemik kenaikan BBM lagi. Sedabgkan kurs rupiah anjlok
terhadap dolar, sehingga perbedaan masih relatif kecil.
·
Kecilnya dampak penurunan BBM secara
langsung ke masyarakat umum
Meskipun BBM
yang murah untuk jangka panjang merupakan kebijakan pro-rakyat, namun untuk
saat ini, jika terjadi penurunan harga BBM, harga komoditas dapat dipastikan
tetap tinggi (karena berbagai faktor). Sehingga hanya akan menguntungkan
sebagian pihak, namun masyarakat umum hanya memperoleh keuntungan yang kecil.
·
Anggaran pemerintah yang masih sangat
dipengaruhi oleh BBM
Perubahan
harga minyak, kurs dollar mempengaruhi harga BBM.
·
Melakukan program ekonomi jangka panjang
Kelebihan
dana karena berkurangnya “subsidi” dapat digunakan untuk mengatasi krisis
finansial dan melaksanakan program ekonomi kerakyatan. Bukan dengan program BLT
yang bersifat instan.
Jika, harga
minyak dunia bertahan stabil di posisi 60-90 dolar per barel selama lebih dari
2 bulan dan kurs rupiah menguat dibawah level 9500, sudah seharusnya pemerintah
menurunkan harga BBM demi kesejahateraan rakyat. Penurunan BBM ini haruslah
memiliki dampak yang besar, dalam artian pemerintah semestinya menurunkan solar
ke level Rp 4500 dan premium ke level Rp 5000. Jika tidak, penerunan BBM tidak
akan berdampak besar terhadap ekonomi masyarakat kecil.
Hal utama
saat ini adalah pemerintah melaksanakan kebijakan membangun ekonomi kerakyatan
dengan mendukung usaha-usaha rakyat yang padat karya. Jika masyarakat memiliki
usaha dan pendapatan, maka secara otomatis daya beli masyarakat meningkat.
Gunakan anggaran untuk menumbuhkan pertanian, perkebunan, produk olahan maupun
perikanan.
Selama
fondasi ekonomi masyarakat rendah (penghasilan kecil ataupun penggaraun),
walaupun harga BBM turun, mereke tetap saja tidak mampu membeli. Sedangkan,
jika mereka berpenghasilan (bekerja atau memiliki usaha), mereka akan tetap
mampu membeli barang kebutuhan.
proses belajar menulis :)
ReplyDelete