Rukun dan Syarat Akad Mudharabah
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Maraknya
perbankan syariah dewasa ini bukan merupakan gejala baru dalam dunia bisnis
syariah. Keadaan ini ditandai dengan semangat tinggi dari berbagai kalangan,
yaitu: ulama, akademis dan praktisi untuk mengembangkan perbankan tersebut dari
sekitar pertengahan abad ke 20. Berdasarkan prinsip dasar produk tersebut,
sesungguhnya bank syariah memiliki core product pembiayaan berupa produk bagi
hasil yang dikembangkan dalam produk pembiayaan nusyawarah dan mudharabah.
Meskipun jenis produk pembiayaan dengan akad jual beli ( ijarah dan ijarah
muntahia bittamlik) juga dapat dioperasionalkan, kenyataannya bank syariah
tingkat dunia maupun di Indonesia produk pembiayaannya masih didominasi oleh
produk pembiayaan dengan akad jual beli (tijarah).
Kita tahu
bahwa Allah menciptakan manusia makhluk yang berinteraksi sosial dan saling
membutuhkan satu sama lainnya. Ada yang memiliki kelebihan harta namun tidak
memiliki waktu dan keahlian dalam mengelola dan mengembangkannya, di sisi lain
ada yang memiliki skill kemampuan namun tidak memiliki modal. Dengan
berkumpulnya dua jenis orang ini diharapkan dapat saling melengkapi dan
mempermudah pengembangan harta dan kemampuan tersebut. Untuk itulah Islam
memperbolehkan syarikat dalam usaha diantaranya Al Mudharabah.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka dapat di
rumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apakah rukun akad Mudharabah?
2. Apakah syarat akad Mudharabah?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk
mengetahui:
1. Rukun akad Mudharabah.
2. Syarat akad Mudharabah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Rukun Akad Mudharabah
Al Mudharabah seperti usaha
pengelolaan usaha lainnya memiliki tiga rukun:
- Adanya dua atau lebih pelaku yaitu investor (pemilik modal) dan pengelola (mudharib).
- Objek transaksi kerja sama yaitu modal, usaha dan keuntungan.
- Pelafalan perjanjian.
Sedangkan imam Al Syarbini dalam Syarh Al Minhaaj
menjelasakan bahwa rukun Mudharabah ada lima, yaitu
Modal, jenis usaha, keuntungan, pelafalan transaksi dan dua pelaku transaksi.17
Ini semua ditinjau dari perinciannya dan semuanya tetap kembali kepada tiga
rukun di atas.
1.
Adanya dua atau lebih
pelaku.
Kedua pelaku kerja sama ini adalah pemilik modal dan
pengelola modal. Disyaratkan pada rukun pertama ini keduanya memiliki
kompetensi beraktifitas (Jaiz Al Tasharruf) dalam
pengertian mereka berdua baligh, berakal, Rasyid dan
tidak dilarang beraktivitas pada hartanya. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa
keduanya harus muslim atau pengelola harus muslim, sebab seorang muslim tidak
ditakutkan melakukan perbuatan riba atau perkara haram. Namun sebagian lainnya
tidak mensyaratkan hal tersebut, sehingga diperbolehkan bekerja sama dengan
orang kafir yang dapat dipercaya dengan syarat harus terbukti adanya pemantauan
terhadap aktivitas pengelolaan modal dari pihak muslim sehingga terlepas dari
praktek riba dan haram.
2.
Objek Transaksi.
Objek transaksi dalam Mudharabah
mencakup modal, jenis usaha dan keuntungan.
a.
Modal
Dalam sistem Mudharabah
ada empat syarat modal yang harus dipenuhi:
1) Modal
harus berupa alat tukar/satuan mata uang (Al Naqd) dasarnya adalah ijma’
atau barang yang ditetapkan nilainya ketika akad menurut pendapat yang rojih.
2) Modal
yang diserahkan harus jelas diketahui.
3) Modal
yang diserahkan harus tertentu.
4) Modal
diserahkan kepada pihak pengelola modal dan pengelola menerimanya langsung dan
dapat beraktivitas dengannya.
Jadi
dalam Mudharabah
disyaratkan modal yang diserahkan harus diketahui dan penyerahan jumlah modal
kepada Mudharib
(pengelola modal) harus berupa alat tukar seperti emas, perak dan satuan mata
uang secara umum. Tidak diperbolehkan berupa barang kecuali bila ditentukan
nilai barang tersebut dengan nilai mata uang ketika akad transaksi, sehingga
nilai barang tersebut yang menjadi modal Mudharabah. Contohnya seorang memiliki sebuah
mobil toyota kijang lalu diserahkan kepada Mudharib (pengelola modal), maka ketika
akad kerja sama tersebut disepakati wajib ditentukan harga mobil tersebut
dengan mata uang, misalnya Rp 80 juta; maka modal Mudharabah tersebut adalah Rp
80 juta.
Kejelasan
jumlah modal ini menjadi syarat karena menentukan pembagian keuntungan. Apabila
modal tersebut berupa barang dan tidak diketahui nilainya ketika akad, bisa
jadi barang tersebut berubah harga dan nilainya seiring berjalannya waktu,
sehingga memiliki konsekuensi ketidakjelasan dalam pembagian keuntungan.
b.
Jenis Usaha
Jenis
usaha di sini disyaratkan beberapa syarat:
1) Jenis
usaha tersebut di bidang perniagaan
2) Tidak
menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang menyulitkannya, seperti
ditentukan jenis yang sukar sekali didapatkan, contohnya harus berdagang
permata merah delima atau mutiara yang sangat jarang sekali adanya.
Asal dari usaha dalam Mudharabah
adalah di bidang perniagaan dan bidang yang terkait dengannya yang tidak dilarang
syariat. Pengelola modal dilarang mengadakan transaksi perdagangan
barang-barang haram seperti daging babi, minuman keras dan sebagainya.
Pembatasan Waktu Penanaman Modal
Diperbolehkan
membatasi waktu usaha dengan penanaman modal menurut pendapat madzhab
Hambaliyyah. Dengan dasar dikiyaskan (dianalogikan) dengan sistem sponsorship
pada satu sisi, dan dengan berbagai kriteria lain yang dibolehkan, pada sisi
yang lainnya.
c. Keuntungan
Setiap
usaha dilakukan untuk mendapatkan keuntungan, demikian juga Mudharabah.
Namun dalam Mudharabah
disyaratkan pada keuntungan tersebut empat syarat:
1) Keuntungan
khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama yaitu pemilik modal (investor) dan
pengelola modal. Seandainya disyaratkan sebagian keuntungan untuk pihak ketiga,
misalnya dengan menyatakan: ‘Mudharabah dengan pembagian 1/3
keuntungan untukmu, 1/3 untukku dan 1/3 lagi untuk istriku atau orang lain,
maka tidak sah kecuali disyaratkan pihak ketiga ikut mengelola modal tersebut,
sehingga menjadi qiraadh bersama dua orang.[29] Seandainya dikatakan:
‘separuh keuntungan untukku dan separuhnya untukmu, namun separuh dari bagianku
untuk istriku’, maka ini sah karena ini akad janji hadiyah kepada istri.
2) Pembagian
keuntungan untuk berdua tidak boleh hanya untuk satu pihak saja. Seandainya
dikatakan: ‘Saya bekerja sama Mudharabah denganmu dengan keuntungan
sepenuhnya untukmu’ maka ini dalam madzhab Syafi’i tidak sah.
3) Keuntungan
harus diketahui secara jelas.
4) Dalam
transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi pemilik modal (investor)
dan pengelola. Sehingga keuntungannya dibagi dengan persentase bersifat merata
seperti setengah, sepertiga atau seperempat. Apa bila ditentuan nilainya,
contohnya dikatakan kita bekerja sama Mudharabah dengan pembagian keuntungan
untukmu satu juta dan sisanya untukku’ maka akadnya tidak sah. Demikian juga
bila tidak jelas persentase-nya seperti sebagian untukmu dan sebagian lainnya
untukku.
Dalam pembagian
keuntungan perlu sekali melihat hal-hal berikut:
a) Keuntungan
berdasarkan kesepakatan dua belah pihak, namun kerugian hanya ditanggung
pemilik modal. Ibnu Qudamah dalam Syarhul Kabir menyatakan:
“Keuntungan sesuai dengan kesepakatan berdua.” Lalu dijelaskan dengan
pernyataan: “Maksudnya dalam seluruh jenis syarikat dan hal itu tidak ada perselisihannya
dalam Al Mudharabah murni.” Ibnul Mundzir menyatakan: “Para ulama
bersepakat bahwa pengelola berhak memberikan syarat atas pemilik modal 1/3
keuntungan atau ½ atau sesuai kesepakatan berdua setelah hal itu diketahui
dengan jelas dalam bentuk persentase.”
b) Pengelola
modal hendaknya menentukan bagiannya dari keuntungan. Apabila keduanya tidak
menentukan hal tersebut maka pengelola mendapatkan gaji yang umum dan seluruh
keuntungan milik pemilik modal (investor). Ibnu Qudamah menyatakan: “Diantara syarat
sah Mudharabah adalah penentuan bagian (bagian) pengelola modal karena
ia berhak mendapatkan keuntungan dengan syarat sehingga tidak ditetapkan
kecuali dengannya. Seandainya dikatakan: Ambil harta ini secara mudharabah dan
tidak disebutkan (ketika akad) bagian pengelola sedikitpun dari keuntungan,
maka keuntungan seluruhnya untuk pemilik modal dan kerugian ditanggung pemilik
modal sedangkan pengelola modal mendapat gaji umumnya. Inilah pendapat Al
Tsauri, Al Syafi’i, Ishaaq, Abu Tsaur dan Ashhab Al Ra’i (Hanafiyah).” Beliaupun
merajihkan pendapat ini.
c) Pengelola
modal tidak berhak menerima keuntungan sebelum menyerahkan kembali modal secara
sempurna. Berarti tidak seorangpun berhak mengambil bagian keuntungan sampai
modal doserahkan kepada pemilik modal, apabila ada kerugian dan keuntungan maka
kerugian ditutupi dari keuntungan tersebut, baik baik kerugian dan
keuntungannya dalam satu kali atau kerugian dalam satu perniagaan dan
keuntungan dari perniagaan yang lainnya atau yang satu dalam satu perjalanan
niaga dan yang lainnya dalam perjalanan lain. Karena mkna keuntungan adalah
kelebihan dari modal dan yang tidak ada kelebihannya maka bukan keuntungan.
Kami tidak tahu ada perselisihan dalam hal ini.
d) Keuntungan
tidak dibagikan selama akad masih berjalan kecuali apabila kedua pihak saling
ridha dan sepakat.[38] Ibnu Qudamah menyatakan: “Keuntungan jika tampak dalam
mudharabah, maka pengelola tidak boleh mengambil sedikitpun darinya tanpa izin
pemilik modal. Kami tidak mengetahui dalam hal ini ada perbedaan diantara para
ulama.
Tidak dapat
melakukannya karena tiga hal:
1) Keuntungan
adalah cadangan modal, karena tidak bisa dipastikan tidak ada kerugian yang
dapat ditutupi dengan keuntungan tersebut.sehingga berakhir hal itu tidak
menjadi keuntungan
2) Pemilik
modal adalah mitrra usaha pengelola sehingga ia tidak memiliki hak membagi
keuntungan tersebut untuk dirinya.
3) Kepemilikannya
tas hal itu tidak tetap, karena mungkin sekali keluar dari tangannya untuk
menutupi kerugian.
Namun apabila pemilik
modal mengizinkan untuk mengambil sebagiannya, maka diperbolehkan; karena hak
tersebut milik mereka berdua.” Hak mendapatkan keuntungan tidak akan diperoleh
salah satu pihak sebelum dilakukan perhitungan akhir terhadap usaha tersebut.
Sesungguhnya hak kepemilikan masing-masing pihak terhadap keuntungan yang
dibagikan adalah hak yang labil dan tidak akan bersikap permanen sebelum
diberakhirkannya perjanjian dan disaring seluruh bentuk usaha bersama yang ada.
Adapun sebelum itu, keuntungan yang dibagikan itupun masih bersifat cadangan
modal yang digunakan menutupi kerugian yang bisa saja terjadi kemudian sebelum
dilakukan perhitungan akhir.
Perhitungan akhir yang
mempermanenkan hak kepemilikan keuntungan, aplikasinya bisa dua macam:
Pertama: perhitungan
akhir terhadap usaha. Yakni dengan cara itu pemilik modal bisa menarik kembali
modalnya dan menyelesaikan ikatan kerjasama antara kedua belah pihak.
Kedua: Finish cleansing
terhadap kalkulasi keuntungan. Yakni dengan cara penguangan aset dan
menghadirkannya lalu menetapkan nilainya secara kalkulatif, di mana apabila
pemilik modal mau dia bisa mengambilnya. Tetapi kalau ia ingin diputar kembali,
berarti harus dilakukan perjanjian usaha baru, bukan meneruskan usaha yang
lalu.
3.
Pelafalan Perjanjian (Shighoh Transaksi).
Shighah adalah ungkapan yang berasal dari
kedua belah pihak pelaku transaksi yang menunjukkan keinginan melakukannya. Shighah
ini terdiri dari ijab qabul. Transaksi Mudharabah atau Syarikat
dianggap sah dengan perkataan dan perbuatan yang menunjukkan maksudnya.
B. Syarat
Dalam Mudharabah
Pengertian syarat dalam
Al Mudharabah
adalah syarat-syarat yang ditetapkan salah satu pihak yang mengadakan kerjasama
berkaitan dengan Mudharabah.
Syarat dalam Al
Mudharabah ini ada dua:
1)
Syarat yang
shahih (dibenarkan) yaitu syarat yang tidak menyelisihi tuntutan akad dan tidak
pula maksudnya serta memiliki maslahat untuk akad tersebut. Contohnya Pemilik
modal mensyaratkan kepada pengelola tidak membawa pergi harta tersebut keluar
negeri atau membawanya keluar negeri atau melakukan perniagaannya khusus
dinegeri tertentu atau jenis tertentu yang gampang didapatkan. Maka
syarat-syarat ini dibenarkan menurut kesepakatan para ulama dan wajib dipenuhi,
karena ada kemaslahatannya dan tidak menyelisihi tuntutan dan maksud akad
perjanjian mudharabah.
2)
Syarat yang
fasad (tidak benar). Syarat ini terbagi tiga:
·
Syarat yang
meniadakan tuntutan konsekuensi akad, seperti mensyaratkan tidak membeli
sesuatu atau tidak menjual sesuatu atau tidak menjual kecuali dengan harga
modal atau dibawah modalnya. Syarat ini disepakati ketidak benarannya, karena
menyelisihi tuntutan dan maksud akad kerja sama yaitu mencari keuntungan.
·
Syarat yang
bukan dari kemaslahatan dan tuntutan akah, seperti mensyaratkan kepada
pengelola untuk memberikan Mudharabah kepadanya dari harta yang
lainnya.
·
Syarat yang
berakibat tidak jelasnya keuntungan seperti mensyaratkan kepada pengelola
bagian keuntungan yang tidak jelas atau mensyaratkan keuntungan satu dari dua
usaha yang dikelola, keuntungan usaha ini untuk pemilik modal dan yang satunya
untuk pengelola atau menentukan nilai satuan uang tertentu sebagai keuntungan.
Syarat ini disepakati kerusakannya karena mengakibatkan keuntungan yang tidak
jelas dari salah satu pihak atau malah tidak dapat keuntungan sama sekali.
Sehingga akadnya batal.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam akad mudharabah
ada beberapa Rukun dan syarat yang harus dipenuhi yaitu:
1.
Rukun:
a. Adanya
dua atau lebih pelaku.
b. Objek
transaksi
c. Pelafalan
perjanjian (Shigoh transaksi)
2.
Syarat:
a. Syarat
shahih
b. Syarat
fasad
B. Saran
Dengan selesainya
makalah ini, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang ikut
andil wawasannya dalam penulisan ini. Tak lupa kami menyadari bahwa dalam
penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik
yang membangun selalu kami tunggu dan kami perhatikan. Semoga Allah SWT
membalas semua jerih payah semua pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini dan semoga
bermanfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR
PUSTAKA
Zulkifli
Sunarto, Panduan Praktis Transaksi
Perbankan Syari’ah. zikrul hakim Rawamangun 2007.
Dimyauddin
Djuwaini,(pengantar fiqh mu’amalah),pustaka
pelajar,Yogyakarta 2010.
Muhamad. Prinsip-prinsip Akuntansi dalam Al-Quran,
UII Press Yogyakarta. 2000
Comments
Post a Comment