KEMISKINAN
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejak
awal kemerdekaan, pemerintah Indonesia telah mempunyai perhatian besar dalam
menciptakan masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana termuat dalam alinea
ke-empat Undang-Undang Dasar 1945. Program-program pembangunan yang
dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya
pengentasan kemiskinan, tetapi dalam kenyataannya kemiskinan tidak pernah
berkurang secara signifikan, orang miskin bertambah miskin dan yang kaya
semakin kaya.
Semangat
untuk mengentaskan kemiskinan cenderung muncul dari hawa nafsu yang banyak
dipengaruhi oleh berbagai kepentingan, mulai dari kepentingan pribadi atau
individu yang memegang kekuasaan hingga kepentingan asing. Alhasil, sampai
sekarang dan mungkin sampai hari kiamat, kemiskinan tersebut akan terus
meningkat dan muncul dengan berbagai varian penyebabnya.
Kalau
kita perhatikan data kemiskinan di Indonesia, berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (BPS), presentase penduduk miskin di Indonesia tahun 1996 masih
sangat tinggi, yaitu sebesar 17,5 persen atau 34,5 juta orang. Dan pada tahun
2003 masih tetap tinggi sebesar 17,4 persen, dengan jumlah penduduk yang lebih
besar, yaitu 37,4 juta orang. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan banyak
ekonom yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tin ggi dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat dan pada akhirnya mengurangi penduduk
miskin.[1]
Dari
data-data di atas sangat mengerikan bagi umat Islam, karena sebagian besar yang
termasuk kategori miskin adalah masyarakat muslim. Hal ini sangatlah aneh
karena banyak orang Islam yang miskin, padahal mayoritas pemimpin kita muslim.
B.
Rumusan Masalah
Dari
latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Apakah defenisi miskin?
2.
Apakah factor-faktor penyebab kemiskinan?
3.
Bagaimanakah kebijakan pemerintah dalam mengentaskan kemiskanan?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini ialah untuk memahami:
1.
Defenisi miskin.
2.
Faktor-faktor penyebab kemiskinan.
3.
Kebijakan pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Defenisi Miskin
Kemiskinan
adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar
seperti makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan.
Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar,
ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan
masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan
komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan
yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan,dan lain-lain.[2]
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kata "miskin" diartikan sebagai tidak berharta benda; serba kekurangan
(berpenghasilan rendah). Sedangkan fakir diartikan sebagai orang
yang sangat berkekurangan; atau sangat miskin.
Dari bahasa aslinya
(Arab) kata miskin terambil dari kata sakana
yang berarti diam atau tenang, sedang faqir dari kata faqr
yang pada mulanya berarti tulang punggung. Faqir adalah
orang yang patah tulang punggungnya, dalam arti bahwa beban
yang dipikulnya sedemikian berat sehingga "mematahkan" tulang
punggungnya.[3]
Jadi,
dapat disimpulkan bahwa miskin adalah suatu keadaan berada dalam ketidak
mampuan baik secara materi, mental, maupun fisik.
B.
Faktor Penyebab Kemiskinan
Memperhatikan akar kata
"miskin" yang disebut di atas sebagai berarti diam
atau tidak bergerak diperoleh kesan bahwa faktor utama penyebab kemiskinan
adalah sikap berdiam diri, enggan, atau tidak
dapat bergerak dan berusaha. Keengganan berusaha adalah
penganiayaan terhadap diri
sendiri, sedang ketidakmampuan
berusaha antara lain disebabkan
oleh penganiyaan manusia 1ain.
Ketidakmampuan berusaha yang disebabkan oleh orang lain
diistilahkan pula dengan kemiskinan struktural. Kesan ini lebih jelas lagi bila
diperhatikan bahwa jaminan rezeki yang dijanjikan Tuhan, ditujukan kepada
makhluk yang dinamainya dabbah, yang arti
harfiahnya adalah yang bergerak.[4]
Setiap orang memiliki
potensi untuk maju dan merubah keadaannya. Seseorang tidak mungkin bisa berubah
kecuali kalau dia sendiri merubah dirinya. Allah akan memberi rezeki pada
setiap orang yang berusaha untuk mendapatkannya rezeki-Nya.
Mungkin pernah terlintas
dibenak kita sebagai umat Islam bahwa kemiskinan yang dialami seseorang
disebabkan karena keturunan dan mungkin tidak bisa berubah. Pikiran tersebut
adalah pikiran yang salah. Karena manusia bisa saja merubah nasibnya kalau dia
memiliki keinginan untuk mengubahnya.
Kemiskinan yang melanda dunia Islam dalam perspektif
Qur’ani telah diidentifikasikan oleh Ul-Haq (1996) yang dikutip pada artikel ”Perspektif
Ekonomi Islam Dalam Mengentaskan Kemiskinan Rakyat Aceh”,sebagai berikut:[5]
1)
Kemiskinan yang dialami masyarakat Islam adalah disebabkan oleh
ketidaktaatan terhadap ajaran Ilahi. Ini misalnya terjadi akibat ada segolongan
manusia yang memakan harta anak yatim (Q.S. al-Maun: 1-7) dan membiarkan
anak-anak yatim yang belum akil baligh untuk mengurus hartanya (Q.S.
an-Nisa': 6).
2) Kemiskinan
terjadi bukan karena kekurangan atau kelangkaan SDA, tetapi disebabkan tangan
manusia sendiri. Firman Allah SWT; dan apa saja yang menimpa kamu maka adalah
disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri… (Q.S. as-Syura: 30).
3) Kemiskinan itu terjadi akibat tidak bertanggungjawabnya orang kaya (bahasa
Aceh: ureung kaya) terhadap ureung gasien. Allah berfirman; dan
yang mengumpulkan harta kekayaan lalu menyimpannya (dengan tidak membayar
zakatnya) (Q.S. al-Ma'arij: 18); dan Kamu telah dilalaikan (daripada
mengerjakan amal bakti) oleh perbuatan berlumba-lumba untuk mendapat dengan
sebanyak-banyaknya (harta benda, anak-pinak, pangkat dan pengaruh) (Q.S.
at-Takatsur: 1).
4) Kemiskinan itu
disebabkan oleh praktek diskriminasi alokasi hasil eksplorasi SDA oleh
segolongan manusia terhadap golongan yang lain (Q.S. Ali Imran: 180; at-Taubah:
34; al-Anfal: 8 & 40, dan al-Hadid: 7).
5) Kemiskinan itu
terjadi akibat daripada sikap manusia yang malas bekerja. Manusia selalu rugi
(Q.S. al-'Ashr: 1-3) tanpa mau bekerja (Q.S. al-Jum'ah: 10) dan meminta-minta
adalah pekerja terkutuk (Q.S. al-Haqq: 34).
6) Kemiskinan itu
terjadi akibat terkonsentrasinya kekuasaan politik dan ekonomi pada golongan
tertentu. Ini dapat dilihat dari kisah Fir'aun dengan kaum Israil di Mesir dan
cerita perbedaan kesejahteraan yang eksis antara warga Mekkah dan kaum Quraisy
pada zamam Rasulullah SAW. Inilah sebabnya zakat diwajibkan agar harta itu
tidak terkonsentrasi pada golongan tertentu saja. Demikian pula, institusi syura
(musyawarah) seharusnya dapat dioptimalkan dalam menyelesaikan permasalahan
umat sehingga konsentrasi kekuasaan politik oleh golongan elit tereliminir.
7) Kemiskinan itu
terjadi akibat pengeksploitasian dan penindasan baik dalam aspek sosial,
politik dan ekonomi oleh golongan tertentu atas golongan lainya. Ini dapat
dilihat dari sistem perbudakan (slavery) dan praktek riba dalam sistim
pinjam-meminjam yang berlaku pada zaman Rasulullah SAW. Realitas ini telah
mendorong Karl Marx menulis bahwa, orang-orang kaya senantiasa mengeksploitasi
buruh dan modalnya untuk memperkaya diri sendiri tanpa pernah terpikirkan untuk
mengentaskan kemiskinan yang mendera kaum lemah.
8) Kemiskinan itu
terjadi akibat malapetaka dan perang. Kondisi ini seperti dikisahkan al-Qur'an
tentang kemiskinan yang dialami para korban perang yang telah diusir dari
kampung halamannya (Q.S. al-Hasyr: 8-9).
C. Kebijakan dalam
Mengentaskan Kemiskinan
Seperti
yang dipahami selama ini, persoalan kemiskinan telah sedemikian peliknya untuk
diurai dan dipecahkan. Hal ini disebabkan oleh multispektrum tentang definisi
kemiskinan, sehingga definisi dan pengukurannya tidak mudah utuk diselesaikan
dalam satu pegertian. Secara konseptual perdebataan yang muncul selama ini
dihadapkan dua sisi yang saling bertabrakan, yaitu mmendudukan kemiskinan dalam
aspek ekonomi semata atau memposisikan kemiskinan sebagai isu sosial. Jika
kemiskinan dianggap sebagai masalah ekonomi saja, maka kemiskinan biasanya
disederhanakan dalam bentuk berapa pendapatan perkapita atau jumlah asupan
makaanan bergizi/ kalori per individu, namun jika kemiskinan dianggap sebagai
isu sosial maka memandang kemiskinan merupakan keterbatasan individu untuk
terlibat dalam partisipasi pembangunan, baik akibat dari ketidakmampuaan ketrampilan,
pendidikan atau akses untuk mendapatkan penghasilan sehingga individu tersebut
tidak mampu mencapai kesejahteraan.[6]
Al-Qur'an
menyebutkan masalah kemiskinan adalah merupakan suatu pertanda bahwa kemiskinan
itu merupakan problema kehidupan yang sangat kompleks. Oleh karena itu,
usaha-usaha untuk memberantasnya haruslah mengadopsi pendekatan-pendekatan
makro (komprehensif) dan holistic yang tidak saja menuntut partisipasi
dan peran aktif golongan miskin, tetapi juga melibatkan peran aktif pemerintah
dan masyarakat pada umumnya.[7]
Dalam
berbagai aspek kehidupan, Rasulullah merupakan teladan (uswatul hasanah)
bagi umat Islam.beliau mengajarkan berbagai pengelolaan kehidupan, meliputi
manusia, alam, harta, dan lain-lain.
Kebijakan
dalam pengentasan kemiskinan dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu:
1.
Kebijakan Umum
Secara
umum, memberantas kemiskinan, pemerintahan hendaknya membuat kebijakan
ekonominya yang bersifat pragmatis, implementatif, dan berorientasikan untuk
mengangkat harkat dan martabat ekonomi masyarakat Aceh kelas menengah ke bawah.
Pembangunan haruslah dikonsentrasikan untuk membiayai prasarana dan sarana yang
manfaatnya langsung dapat dirasakan oleh masyarakat miskin, seperti fasilitas
pendidikan, kesehatan, telekomunikasi, irigasi dan transportasi sehingga, pada
gilirannya, akan mampu meningkatkan produktivitas kerja mereka. Pemerintahan
juga harus menyediakan latihan-latihan dan pendidikan yang berwawasan kerja
secara gratis, khususnya bagi masyarakat yang tidak mampu, bertujuan untuk
“mengangkat” bakat terpendam dan potensi mereka sehingga secara aktif dapat
memberi kontribusi terhadap pembangunan di masa-masa mendatang. Pemerintahan
juga harus membantu menyediakan modal kerja (working capital) bagi kaum
dhu'afa dengan sistim pinjaman meminjam bagi hasil (non-riba).
Selanjutnya,
dana pembangunan hendaklah tidak bersumber dari pinjaman atau hutang yang
mengharuskan pemerintah untuk membayar bunga (riba). Selain itu, pemerintah harus
bersikap jujur, adil, transparan, dan bertanggung jawab sehingga memudahkan
mengorganisir masyarakat berkerja untuk menyukseskan pembangunan. Kerjasama
atas landasan amar ma’ruf wa nahi munkar diyakini mendapat dukungan
orang-orang yang mengaku dirinya beriman kepada Allah SWT. Hal ini seperti
disebutkan Allah SWT dalam ayat berikut; ... dan hendaklah kamu
tolong-menolong untuk membuat kebajikan dan bertaqwa, dan janganlah kamu
tolong-menolong dalam melakukan dosa (maksiat) dan kejahatan. Dan bertaqwalah
kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Berat azab siksaNya (bagi sesiapa
yang melanggar perintah-Nya) (Q.S. al-Maidah: 2).[8]
2.
Kebijakan Khusus
Secara
lebih khusus, strategi Islami untuk memberantas kemiskinan rakyat yang
melibatkan peran aktif individu, masyarakat, dan pemerintah dapat disebut
seperti berikut ini:[9]
1)
Pembangunan ekonomi harus diprioritaskan untuk mengangkat harkat
dan martabat golongan miskin. Pembangunan harus mampu membuka peluang kerja
bagi golongan tidak mampu dan sistem rekruitmen (penyeleksian pegawai negeri
sipil – PNS) haruslah mengedepankan nilai-nilai akhlaqul karimah, tidak
bersifat pilih kasih dan bebas dari praktek-praktek Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN).
2)
Pemerintah harus memastikan ketersediaan semua barang dan jasa
kebutuhan pokok di pasar mencukupi dan bebas dari praktek monopoli. Pemerintah
harus mengontrol semua harga barang dan jasa kebutuhan pokok dijual dengan
harga yang patut sehingga mampu dibeli oleh masyarakat golongan miskin.
3)
Pemerintah harus menyediakan subsidi untuk golongan miskin terutama
subsidi modal usaha dan subsidi terhadap barang-barang kebutuhan primer.
Kebijakan ekonomi pemerintah yang menjual semua barang kebutuhan pokok dengan
harga yang murah patut dijadikan program berkelanjutan dalam usaha membantu
masyarakat miskin memenuhi kebutuhan pokok mereka.
4)
Pemerintah harus menyediakan bantuan/pinjaman modal kepada si
miskin melalui lembaga-lembaga keuangan Syari’ah. Hubungan dan nilai-nilai
kasih sayang masyarakat golongan kaya terhadap masyarakat miskin perlu dipupuk
lebih subur.
5)
Dalam melakukan kebijakan fiskal, Pemerintah selalu bertindak
secara rasional. Penerimaan negara dari sumber-sumber pajak harus dipungut
secara progressive tax (semakin banyak seseorang memiliki harta/kekayaan
yang diharuskan membayar pajak, maka semakin tinggi tingkat pajak yang
dikenakan). Juga mereka yang telah membayar zakat harus dibebaskan/dikurangi
dari keharusan membayar pajak (tax exemption/ deduction). Karena cara
ini akan membantu merapatkan gap antara si kaya dengan si miskin.
Pembiayaan pembangunan negara harus dilakukan secara selektif, hemat cermat,
dan berdasarkan skala prioritas. Birokrasi pemerintah harus simpel, transparan
dan tidak berbelit-belit.
6)
Dalam setiap kebijakan moneter, Pemerintah harus mengukuhkan sistem
perekonomian negara yang stabil dengan tingkat inflasi yang rendah dan sistem
perbankan yang Islami. Sistim pinjam-meminjam harus bebas bunga dengan sistem
bagi hasil (profit-loss sharing).
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Miskin
adalah suatu keadaan berada dalam ketidak mampuan baik secara materi, mental,
maupun fisik. Kemiskinan merupakan problem yang sangat ironis bagi umat Islam,
sebagai mayoritas umat Islam dan tergolong dalam kategori miskin. Dalam ajaran
Islam Allah menganjurkan umatnya untuk memiliki harta hal ini untuk melengkapi
ibadah-ibadahnya, seperti, Zakat, Haji, sedekah dan lain-lain.
Kemiskinan
ini disebabkan dari factor internal dari individu itu sendiri seperti rasa
malas, pengetahuan kurang (bodah). Begitupun factor eksternal yang ikut
mempengaruhi seperti kurangnya kebijakan pemerintah dalam pengentasan
kemiskinan.
Dalam
mengentaskan kemiskinan pemerintah harus mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang
pro-rakyat. Selain itu, sebagai umat Islam harus kembali kepada system
perekonomian yang telah diaturkan dan disunnahkan Allah swt.
B.
Saran
Dalam
mengentaskan kemiskinan dibutuhkan kerja sama antara individu dan pemerintah
yang sinergis. Sebagai umat Islam sepatutnya saling membahu meringankan beban
sesame saudara Muslim.
Selain
itu, penulis sadari betul penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
kritik dan saran yang membangun penulis menerima secara lapang dada.
DAFTAR
PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Kemiskinan diakses pada tanggal 1 Juni 2013
Khalil,
Jafril, Ph.D, 2010. Jihad Ekonomi Islam. Jakarta: Gramata Publising
Shihab, M. Quraish Shihab, Dr. M.A. Wawasan Al-Qur’an tentang
Miskin. Dikutip dari www.media.isnet.org pada tanggal 1 Juni 2013
Shabri, Abd. Majid, 2008. Perspektif Ekonomi Islam Dalam
Mengentaskan Kemiskinan Rakyat Aceh. Jakarta: RadjaGrafindo
[1] Jafril Khalil, Ph.D, Jihad Ekonomi Islam. (Jakarta: Gramata
Publising, 2010), hlm.2-3
[3] Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Wawasan Al-Qur’an tentang Miskin. Dikutip
dari www.media.isnet.org pada
tanggal 1 Juni 2013
[4] Ibid,
[5]Shabri Abd. Majid, Perspektif Ekonomi Islam
Dalam Mengentaskan Kemiskinan Rakyat Aceh, (Jakarta: RadjaGrafindo, 2008), hlm.5-8
[6] Jafril, Op.Cit, hlm. 35
[7] Ibid,
[8] Shabri, Op.Cit, hlm. 9-10
[9] Ibid, hlm. 10-12
Comments
Post a Comment