Asuransi Syariah Menurut Ulama
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Permasalahan
kontemporer yang selama ini masih menjadi perdebatan dan masih hangat adalah
seputar dunia mu’amalah yaitu asuransi konvensional. Dewasa ini, asuransi sudah
menjadi bagian bahkan sebagian orang menjadi kebutuhan. Akibatnya, banyak para
umat islam yang memilih menggunakan asuransi untuk menjamin barang bahkan hidup
mereka.
Dalam perjalanannya,
para ulama menemukan beberapa indikaasi keharaman dan madharat bagi nasabah
(klien). Oleh karena itu, terjadi pertentangan dikalangan para fuqoha.
Perbedaan ini juga disebabkan karena didalam al-qur’an sendiri tidak dijelaskan
secara eksplisit mengenai hal tersebut, dan dihadist pun tidak ada.
Oleh karena itu, dalam
makalah ini akan dipaparkan dalil para ulama tentang asuransi, kemudian
melakukan analisis dari dalail tersebut untuk memilih dalil yang dianggap kuat.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana pendapat ulama kontemporer mengenai hukum asuransi konvensional?
2. Dalil-dalil apa yang dipergunakan dalam menentukan hukum asuransi
konvensional?
3. Bagaimana mendiskusikan dalil tersebut?
4. Pendapat mana yang lebih kuat dibanding yang lain?
C.
Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pendapat ulama kontemporer mengenai hukum asuransi
konvensional.
2. Untuk mengetahui Dalil-dalil apa yang dipergunakan dalam menentukan hukum
asuransi konvensional.
3. Untuk mengetahui cara mendiskusikan dalil tersebut.
4. Untuk mengetahui dalil yang paling kuat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pandangan Ulama tentang
Asuransi
Jika kita mengamati
perkembangan seputar dunia mu’amalah, tentu banyak disana kasus yang terjadi,
bahkan sebagian besar kasus-kasus tersebut belum pernah ditemui dalam masa
Rasulullah. Akhir-akhir abad ke 19, ulama-ulama kontemporer ramai membincangkan
seputar hukum asuransi konvensional. Dan sampai sekarang masih terjadi
perbedaan pendapat tentang hukum asuransi tersebut. Dalam makalah ini akan
dibahas mengenai hukum asuransi, agar lebih mempermudah dalam memahami,
terlebih dahulu akan diuraikan pengertian dan seputar asuransi.
Asuransi adalah sebuah
akad yang mengharuskan perusahaan asuransi (muammin) untuk memberikan
kepada nasabah/klien-nya (muamman) sejumlah harta sebagai konsekuensi
dari pada akad itu, baik itu berbentuk imbalan, Gaji atau ganti rugi barang
dalam bentuk apapun ketika terjadi bencana maupun kecelakaan atau terbuktinya
sebuah bahaya sebagaimana tertera dalam akad (transaksi), sebagai imbalan uang
(premi) yang dibayarkan secara rutin dan berkala atau secara kontan dari
klien/nasabah tersebut (muamman) kepada perusahaan asuransi (muammin) di saat
hidupnya.
Berdasarkan definisi di
atas dapat dikatakan bahwa asuransi merupakan salah satu cara pembayaran ganti
rugi kepada pihak yang mengalami musibah, yang dananya diambil dari iuran premi
seluruh peserta asuransi. Ada beberapa unsur dalam asuransi, yaitu:
tertanggung, yaitu anda atau badan hukum yang memiliki atau berkepentingan atas
harta benda. Dan penanggung, dalam hal ini Perusahaan Asuransi, merupakan pihak
yang menerima premi asuransi dari tertanggung dan menanggung risiko atas kerugian/musibah
yang menimpa harta benda yang diasuransikan.
Konsep dasar asuransi
yang dibenarkan syariah adalah tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan (al
birri wat taqwa). Konsep tersebut sebagai landasan yang diterapkan dalam
setiap perjanjian transaksi bisnis dalam wujud tolong menolong (akad takafuli)
yang menjadikan semua peserta sebagai keluarga besar yang saling menanggung
satu sama lain di dalam menghadapi resiko, yang kita kenal sebagai sharing
of risk, sebagaimana firman Allah SWT yang memerintahkan kepada kita untuk
taawun (tolong menolong) yang berbentuk al birri wat taqwa (kebaikan dan
ketakwaan) dan melarang taawun dalam bentuk al itsmi wal udwan
(dosa dan permusuhan).
Adapun perbedaan
pendapat yang terjadi dalam kalangan ulama selama ini berkutat bahwa mereka
menemukan adanya beberapa unsur yang dilarang dalam transaksi asuransi,
diantaranya ada yang mengatakan terdapat unsur ghoror (Penipuan),
dan juga adanya unsur perjudian. Maka jika suatu transaksi terdapat unsur
demikian, hukumnya menjadi haram. Dan bahkan ada yang mengatakan bid’ah,
karena tidak ditemukan dalam kehidupan rasulullah.
Terlepas dengan adanya
itu, Asuransi banyak memiliki manfaat yang luas dan kompleks (secara mikro dan
makro). Asuransi adalah sebuah ekosistem perputaran ekonomi yang saling
membutuhkan antar pelaku ekonomi (simbiosis mutualisme). Kenapa?, Karena
disamping asuransi mampu memberikan perlindungan dan jaminan pada nasabah,
asuransi juga menawarkan berbagai manfaat antara lain mendapatkan masukan-masukan
yang berguna untuk meminimalisasi terjadinya risiko. Karena umumnya, perusahaan
asuransi memiliki tim survei yang sudah berpengalaman dengan itu dapat
memberikan rekomendasi untuk memperkecil terjadinya risiko terhadap kepentingan
yang diasuransikan.
Pada kesempatan ini,
akan dikemukakan perbedaan pendapat ulama Kontemporer dalam masalah hukum
asuransi. Selanjutnya dari pendapat tersebut akan dianalisis menggunakan metode
Tarjihi sebagaimana yang biasa dilakukan oleh Yusuf Qhordhawi, dimaksudkan
dalam melakukan analisis ini hanya untuk mengambil dalil terkuat dari kedua
pendapat tersebut. Adapun dalam melakukan analisis ini, penulis lebih
menekankan kepada maslahat yang ditimbulkan dari adanya hukum tersebut. Jadi
didalam prosesnya penulis lebih menekankan kepada maslahat ummat yang nantinya
akan didapat. Selanjutnya untuk lebih jelas akan dilakukan beberapa metode.
Sebagaimana yang akan dipaparkan nantinya.
B. Pandangan Ulama Kontemporer Mengenai Asuransi(أراء
الفقهاء)
Ulama Fiqih dalam
menghadapi masalah kontemporer seperti masalah asuransi terbagi menjadi empat
kelompok besar, diantaranya yaitu:
a. Mengharamkan asuransi secara mutlak, termasuk asuransi jiwa. Yang
berpendapat seperi ini adalah Yusuf al-Qardlawi dan Isa ‘Abduh. Menurut mereka,
bahwa pada asuransi yang ada pada sekarang ini terdapat unsur-unsur yang
diharamkan seperti judi, karena ketergantungan akan mengharapkan sejumlah harta
tertentu seperti halnya dalam judi. Dan juga mengandung ketidak jelasan dan
ketidak pastian (jahalat dan ghoror) dan riba.
b. Membolehkan secara mutlak, tanpa terkecuali. Mereka yang berpendapat
seperti ini adalah Musthofa Ahmad Zarqo dan Muhammad Al-Bahi.
c. Membolehkan asuransi yang bersifat social dan mengharamkan asuransi yang
semata-mata bersifat komersial. Mereka yang berpendapat adalah Muhammad Abu
Zahrah.
d. Golongan keempat, adalah menyatakan bahwa asuransi merupakan kategori syubhat
sebab tidak diketemukan dalil yang secara tegas mengharamkan dan tidak adapula
yang melarangnya.
C.
Dalil-Dalil Yang Dipergunakan Para Ulama Kontemporer (أدلة المذاهب)
Dari beberapa pendapat
diatas, terdapat dalil-dalil yang dipergunakan oleh ulama untuk menguatkan
argument atau pendapatnya. Dalam bab ini akan diuraikan dalil-dalil tersebut.
Untuk lebih jelasnya sebagai berikut.
1. Dalil mengenai pendapat pertama tentang keharaman asuransi, diantaranya
memakai dalil aqli dan naqli. Berikut uraiannya:
a. Secara eksplisit, hukum mengenai asuransi tidak tertuang dalam al-Qur’an
ataupun as-Sunnah. Namun, didalam seorang mukmin dituntut didalam melakukan
sebuah transaksi (perjanjian) tidak mengandung sesuatu yang secara garis besar
telah diharamkan di nash maupun hadits. Selanjutnya, menurut ulama yang
berpengang pada pendapat ini menemukan bahwa asuransi sama dengan judi, karena
tertanggung akan mengharapkan sejumlah harta tertentu seperti halnya dalam
judi. Oleh karena itu, dengan alasan inilah asuransi dilarang. Seperti
yang terdapat dalam surat al-maidah ayat 90 yang berbunyi;
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.
b. Asuransi mengandung ketidak jelasan dan ketidakpastian (jahalat dan ghoror),
karena si tertanggung diwajibkan membayar sejumlah premi yang telah ditentukan,
sedangkan berapa jumlah yang dibayarkan tidak jelas, lebih dari itu belum ada
kepastian apakah jumlah tertentu itu akan diberikan kepada tertanggung atau
tidak. Hal ini sangat tergantung pada kejadian yang telah ditentukan. Mungkin
ia akan seluruhnya, tapi mungkin juga tidak memperoleh sama sekali.
Maka dari sini dapat di ambil kesimpulan bahwa,
didalam asuransi mengandung unsur ketidak jelasan dan ketidakpastian. Yang mana
dalam prinspi mu’amalah hal ini tidak diperbolehkan.
c. Asuransi mengandung unsur riba, karena mungkin tertanggung akan memperoleh
sejumlah uang yang jumlahnya sama besar dari pada premi yang dibayarnya.
Sedangkan dalam islam riba telah nyata dilarang sebagaimana dinyatakan dalam
al-qur’an surat al-baqoroh 275:
orang-orang yang Makan (mengambil) ribatidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ulama Fiqih dalam
menghadapi masalah kontemporer seperti masalah asuransi terbagi menjadi empat
kelompok besar, diantaranya yaitu:
1) Mengharamkan asuransi secara mutlak, termasuk asuransi jiwa. Yang
berpendapat seperi ini adalah Yusuf al-Qardlawi dan Isa ‘Abduh. Menurut mereka,
bahwa pada asuransi yang ada pada sekarang ini terdapat unsur-unsur yang
diharamkan seperti judi, karena ketergantungan akan mengharapkan sejumlah harta
tertentu seperti halnya dalam judi. Dan juga mengandung ketidak jelasan dan ketidak
pastian (jahalat dan ghoror) dan riba.
2) Membolehkan secara mutlak, tanpa terkecuali. Mereka yang berpendapat
seperti ini adalah Musthofa Ahmad Zarqo dan Muhammad Al-Bahi.
3) Membolehkan asuransi yang bersifat social dan mengharamkan asuransi yang
semata-mata bersifat komersial. Mereka yang berpendapat adalah Muhammad Abu
Zahrah.
4) Golongan keempat, adalah menyatakan bahwa asuransi merupakan kategori syubhat
sebab tidak diketemukan dalil yang secara tegas mengharamkan dan tidak adapula
yang melarangnya.
B.
Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan dan kami
sampaikan, semoga bermanfaat bagi kita semua. Apabila ada penulisan atau
kata-kata yang kurang berkenan bahkan jauh dari kesempurnaan kami mohon
maaf. Kritik dan saran yang membangun senantiasa kami harapkan untuk
kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Terima kasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Soemitra, Andri, Bank & Lembaga Keuangan Syariah,
(Jakarta: Prenada Media , 2012).
Suhendi, Hendi , Fiqih Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2011).
Comments
Post a Comment