Ijtihad Pada Sahabat



BAB I
PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG

Ketika kita mempelajari ushul fiqih dan kita membahas ijtihad sahabat, timbul/muncul dalam benak kita bagaimana ijtihadnnya sahabat ?,  karena nabi Muhammad telah wafat, wahyu sudah tidak turun dan ushul fiqh  sendiri baru dibukukan pada masa imam Syafi’I .
Pada zaman sahabat ilmu usul fiqih memang belum ditulis, tetapi kaidah-kaidah/atau teori-teorinya telah dirumuskan dalam pemikiran para ahlinya sebagai pegangan setiap kali melakukan istinbath hukum tentang peristiwa yang muncul pada masa beliau-beliau lantaran belum tertulis maka belum dapat dipelajari sebagai objek ilmiyah,
Selain dari itu semua, mungkin banyak orang yang kurang tahu peran sahabat dalam tasyri’ islam oleh karena itu pemakalah akan menulis makalah yang berjudul ” Ijtihad Sahabat “ yang di dalamnya akad diuraikan tentang berbagai hal yang berhubungan dengan sahabat dan ijtihadNya.

B.  RUMUSAN MASALAH
1.      Peran sahabat.
2.      Motif-motif untuk berijtihad.
3.      Teori-teori ijtihad sahabat
4.      Faktor pemicu perbedaan teori penetapan hokum.
5.      Mufti-mufti pada periode shaba.
6.      Penyebab ikhtilaf di kalangan sahabat.
7.      Pengaruh hukum.



BAB II
IJTIHAD SAHABAT

A.  PERAN SAHABAT
Periode sahabat dimulai sejak tahun 11. setelah wafatnya Rosulluloh dan berakhir pada akhir abad pertama hijriah [1]. Fiqh shahabi memperoleh kedudukan yang  sangat  penting  dalam khazanah  pemikiran Islam. 
Pertama,  sahabat –sebagaimana didefinisikan ahli hadits adalah orang yang berjumpa  dengan Rasulullah  saw  dan  meninggal dunia sebagai orang Islam[2]. tidak beda jauh dari ahli hadis ulama’ ahli Ushul mendefinisikan sahabat ialah semua orang yang bertemu dengan rosullullah, iman kepada beliau, dan bergaul dengan beliau dalam waktu yang lama[3]
Kedua,  zaman  sahabat adalah zaman segera setelah berakhirnya masa tasyri'. Inilah embrio ilmu fiqh yang pertama. Bila  pada zaman  tasyri'  orang  memverifikasi  pemahaman  agamanya atau mengakhiri perbedaan pendapat dengan merujuk pada  Rasulullah, pada  zaman sahabat rujukan itu adalah diri sendiri. . Sementara itu, perluasan kekuasaan  Islam  dan  interaksi  antara  Islam dengan  peradaban-peradaban  lain  menimbulkan masalah-masalah baru.  Dan  para   sahabat   merespon   situasi   ini   dengan mengembangkan  fiqh  (pemahaman)  mereka.  Ketika menceritakan ijtihad pada zaman sahabat, Abu Zahrah menulis[4]. Di antara sahabat ada yang berijtihad dalam batas-batas al-Kitab dan al-Sunnah, dan tidak melewatinya; ada pula yang berijtihad dengan ra'yu bila tidak ada nash, dan bentuk ra'yu-nya bermacam-macam; ada yang berijtihad dengan qiyas seperti Abdullah bin Mas'ud; dan ada yang berijtihad dengan metode mashlahat, bila tidak ada nash. Dengan demikian, zaman sahabat juga melahirkan prinsip-prinsip umum  dalam  mengambil  keputusan hukum (istinbath; al-hukm.); yang nanti diformulasikan dalam kaidah-kaidah ushul fiqh.

Ketiga,  ijtihad  para  sahabat  menjadi  rujukan  yang  harus diamalkan,   perilaku  mereka  menjadi  sunnah  yang  diikuti. Al-Syathibi[5] menulis, "Sunnah sahabat  r.a.  adalah  sunnah yang   harus   diamalkan   dan   dijadikan   rujukan."   Dalam perkembangan ilmu fiqh, madzhab sahabat sebagai  ucapan  dan perilaku  yang  keluar  dari  para  sahabat akhirnya menjadi salah satu sumber hukum  Islam  di  samping  istihsan,  qiyas, mashalih  mursalah dan sebagainya. Madzhab sahabat pun menjadi hujjah. Tentang hal  ini,  ulama  berbeda  pendapat.  Sebagian menganggapnya  sebagai  hujjah  mutlak; sebagian lagi sebagai hujjah bila bertentangan dengan qiyas; sebagian lainnya  hanya menganggap  hujjah  pada  pendapat  Abu  Bakar  dan Umar saja, berdasarkan hadits ("berpeganglah pada  dua  orang  sesudahku, yakni   Abu   Bakar   dan  Umar");  dan  sebagian  yang  lain, berpendapat bahwa yang  menjadi  hujjah  hanyalah  kesepakatan khulafa' al-Rasyidin[6].

keempat,  ini yang terpenting, ahl al-Sunnah sepakat menetapkan bahwa seluruh  sahabat  adalah  baik  (al-shahabiy kulluhum  'udul).  Mereka  tak  boleh dikritik, dipersalahkan, atau dinilai sebagaimana perawi hadits lain[7].

B. MOTIF-MOTIF UNTUK BERIJTIHAD
Pada masa sahabat tidak setiap orang mampu mengembalikan persoalan-persoalan pada materi undang-undang serta memahami hukum–hukum yang ditunjuk oleh nash. Hal ini dipengaruhi oleh tiga aspek[8]:
1.      Adanya kaum yang masih “awam”,yang memahami nash melalui perantara orang yang lebih pandai.
2.      Materi undang-undang belum tersebar merata dikalangan umat islam, Al-Qur’an masih dalam lembaran-lembaran yang dikumpulkan di ruman Rosulullah dan para sahabat, sedangkan Al-Sunnah sama sekali belum dibukukan.
3.      Undang-undang hanya mensyariatkan tentang hukum bagi kejadian yang terjadi ketika di tasyri’kannya hokum itu. tidak mensyariatkan bagi hukum-hukum yang kemungkinan terjadinya setelan zaman Rosululloh.
Dengan adanya tiga sebab diatas para pemuka sahabat berpendapat bahwa diatas pundak merekalah kwajiban tasyri’ wajib ditegakkan. Kewajiban yang dimaksud ialah memberi penjelasan kepada umat islam tentang hal-hal yang memerlukan penjelasan dan penafsiran baik dari nas-nas Al-Qur’an maupun Al-Hadits dan menyebar luaskan dikalangan umat islam serta memberi fatwa kepada orang-orang  dalam peristiwa-peristiwa hukuk dan urusan-urusan yang tidak ada nashnya[9].

C. TEORI-TEORI IJTIHAD SAHABAT
1.Teori Istislah
            Ialah mendahulukan kepentingan publik di atas kepentingan individu, sebagaimana yang telah dilakukan oleh khulafa’ al- rasyidin:
a)  Khalifah Abu Bakar as-Shidiq tentang:
-pengumpulan suhuf-suhuf al-Qur’an yang tercecer ditangan sahabat’
-penunjukan Umar bin Khattab sebagai penggantinya di akhir hayat beliau.
b) Khalifah Umar ibn Khattab tantang :
            -tidak menyerahkan zakat kepada para muallaf dengan alasan yang maslahat adalah memberikan kepada seluruh umat bukan memberikan kepada mereka yang hanya untuk membujuk mereka agar tidak mengganggu stabilitas umat islam
            -tidak memberikan harta rampasan perang kepada para tentara yang berjasa, melainkan ditahan untuk lahan pertanian kaum muslimin dan penyediaan dana bagi petugas Negara didaerah
       c) Khalifah utsman tentang:
adzan jum’ah dua kali lantaran kemaslahatan jama’ah yang jumlahnya bertambah banyak dan berada dalam lingkungan pemukiman yang menyebar berjauhan.
2. teori syaddudz dzara’ah
            Ialah mencegah agar seseorang tidak bertindak ceroboh yang berakibat rusaknya suatu barang , seperti yang pernah dilakukan oleh sahabat Ali ibn Abi Tholib tentang keharusan penjahit dan tukang besi mengganti kerusakan barang orang lain yang dikerjakannya demi kemaslahatan pemilik barang[10].
3.qiyas
            a) Khalifah Abu Bakar as-Shidiq
- Dibaiatnya beliau sebagai khalifah karean di qiyaskan dangan menjadi imamnya beliau atas tunjukan Nabi SAW.
                - Pengkiasan kakek dengan ayah dalam hal pemberian bagian harta warisan.
            b) Khalifah Umar ibn Khattab
                - beliau pernah memerintah Abu Musa al-Ash’ary untuk melakukan qiyas
            c) Khalifah Ali ibn Abi Thalib
- pengqiasan beliau tentang hukuman had para peminum minuman keras atas had qadzaf (tuduhan zina)dengan akibat dari minuman keras itu sendiri.

D. FAKTOR PEMICU PERBEDAAN TEORI PENETAPAN HUKUM
  1. Perbedaan para sahabat dalam memahami al-Qur’an dan al-Hadits
a.       Teori bahasa seperti kata aba’i(آبَائِي) dalam Surat Yusuf : 38.
وَاتَّبَعْتُ مِلَّةَ آبَائِي إِبْرَاهِيمَ
Dalam memahami ayat tersebut sahabat berbeda pendapat.
-          Sahabat Abu Bakar As-Shidiq berpendapat lafadz aba’i dalam bahasa berarti ayahku, nabi Ibrahim adalah kakeknya, jadi yang dimaksud dengan kata aba’i tidak hanya ayah tetapi masuk pula kakek, sehingga kakek bisa juga menghijab para saudara dari warisan sebagaimana ayah menghijab para saudara.
-          Sahabat Umar Bin Khattab berpendapat kata aba’i arti hakikatnya adalah ayah, sedangkan kakek adalah arti majas, oleh karena itu kakek tidak bisa menghijab para saudara. Dasarnya adalah teori bahasa, yaitu arti dari suatu bahasa adalah hakikat, yaitu penggunaan arti majasi harus ada korenahnya.
b.      Teori Kompromitas atau jam’iy seperti dua ayat sebagai berikut :
-         Surat Al-Baqarah : 234 tentang ketentuan iddah wafat selama 4 bulan sepuluh hari.
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
-         Surat At-Thalaq : 4 tentang ketentuan iddah hamil itu adalah melahirkan.
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Dalam menanggapi dua ayat di atas para sahabat berbeda dalam  memahaminya.
-         Sahabat Umar Bin Khattab menggunakan teori bahasa yaitu Tahsisul ‘Am, yaitu Surat Al-Baqarah : 234 mengandung arti ‘am, baik hamil atau tidak dan Khas (ditinggal mati). Surat At-Thalaq : 4 mengandung arti ‘am baik cerai mati atau cerai talaq dan Khas dalam keadaan hamil. Oleh karena itu keumuman surat Al-Baqarah ditahsis Surat At-Thalaq, sehingga artinya istri yang ditinggal mati suami dalam keadaan hamil atau keadaan tidak hamil. Sebaliknya keumuman surat At-Thalaq ditahsis oleh kekhususan surat Al-Baqarah sehingga artinya adalah istri hamil yang ditinggal mati suaminya.
-         Sahabat Ali Bin Abi Thalib menggunakan teori jam’iy artinya kedua ayat tersebut harus digabungkan atau dikompromikan sehingga iddah wanita yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil beriddah dengan waktu terlama dari keduanya.
  1. Pebedaan dalam penerimaan hadits dengan menggunakan teori tarjih terhadap riwayat yang kuat
a.       Sahabat Abu Bakar Ash-Shidiq baru akan menerima hadits setelah periwayatnya sudah mendatangkan saksi yang dapat membenarkan riwayatnya.
b.      Sahabat Umar Bin Khattab hanya mau menerima hadits setelah menuntut periwayatnya untuk mau mengatakan bahwa ia benar-benar mendengar dari Rosulullah SAW.
c.        Sahabat Ali mau menerima hadits setelah periwayatnya mau bersumpah bahwa ia benar-benar mendengar dari Rosulullah SAW.
Dilakukan Ijtihad dalam penerimaan hadits seperti itu mereka menggunakan teori mendahulukan dalil yang kedudukannya tinggi dan kuat dari yang kedudukan rendah dan lemah.
  1. Perbedaan dalam menggunakan ijtihad bi al-ro’yi
Seperti kasus seorang laki-laki menikahi seorang wanita yang dalam keadaan iddah dari suami pertama lalu diceraikan karena pernikahannya dianggap tidak sah.
Dalam menanggapi kasus ini para sahabat berbeda pendapat diantaranya :
a.       Sahabat Umar Bin Khattab. Teori yang digunakan adalah qias, beliau mengatakan bahwa laki-laki tersebut haram mengulangi nikahnya kembali. Hal ini diqiaskan dengan terhalangnya hak waris bagi ahli waris yang membunuh pewarisnya. Ilatnya adalah tergesa-gesa melakukan sesuatu sebelum sampai saatnya.
b.      Sahabat Ali Bin Abi Thalib menggunakan teori istishab baro’ah al ‘asliyah yaitu berpegang pada keadaan asal yang dekat dengan mengatakan bahwa laki-laki tersebut boleh menikahi kembali wanita itu setelah deceraikan dan setelah habis masa iddah dengan suami pertamanya, sebab asalnya wanita tersebut telah dicerai dan telah berlangsung masa iddah.

E. MUFTI-MUFTI PADA PERIODE SHABAT
Diantara para mufti pada zaman sahabat diMadinah yang terkenal ialah
 empat khulafa’ur rosyidin, Zaid bin Tsabit,Ubay bin Ka’ab, Abdullah ibnu Umar dan Aisyah. Di Makkah Abdullah ibn Abbas. Di Kufah Ali ibn Abi Tholib dan Abdullah bin Mas’ud. Di Basrah Mu’adz bin Jabal Dan Ubadah ibn Al-Shamit dan di Mesir  ialah Abdullah ibn Amir Ibn Al-Ash[11].
Para mufti diawal periode sahabat mayoritas berada di Madinah kemudian setelah islam berkembang luas  mereka bertebaran di berbagai kota,karena itu undang-undang  di awal periode ini berdasarkan ijtihad bersama , sesudah itu berdasarkan  ijtihad perorangan.

F. PENYEBAB IKHTILAF DI KALANGAN SAHABAT
            Menurut abdul wahab khallaf sebab-sebab perbedaan itu ada tiga :
1.Kebannyakan nash-nash hokum dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak qot’i dalalah  melainkan dhonni dalalah yaitu menunjukkan banyak makna.
2. As-Sunnah belum dibukukan dan belum ada kesepakatan untuk menghimpunnya dalam satu koleksi,guna disebarkan dikalangan umat islam sebagai pedoman hidup.
3. Lingkungan tempat tinggal para pemuka sahabat berbeda-beda,kemaslahatan dan kebutuhan yang mereka aturpun bertingkat-tingkat pula.karena itu berbda pula pandangan mereka dalam menetapkan kemaslahatan serta mencari legitimasi hokum (tashri’)

G. PENGARUH HUKUM
Pengaruh hukum yang ditinggalkan sahabat ada tiga hal:
1. Pensyarahan perundang-undangan  dalam nash-nash hokum Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2. Bermacam-macamnya ijtihad sahabat pada kejadian-kejadian yang tidak ada nashnya.
3. Mulai timbul berbagai perpecahan dalam berbagaifaksi politik karena masalah kekhalifahan dan khalifah dan juga perpecahan dalam masalah agama yang membahayakan perundang-undangan Islam.hal ini mulai terjadi setelah Utsman bin Affan wafat dan Ali bin Abi Tholib dibaiat kemudian ditentang oleh Muawiyah bin Abi Sofyandan tejadi peperangan antara dua golongan tersebut setelah itu umat islam terpecah menjadi tiga golongan yaitu : khawarij, syi’ah danahlussunnah wal jama’ah.























BAB III
KESIMPULAN

            Dengan mempelajari hal-hal diatas diharapkan kita dapat mengerti bagimana peran-peran sahabat dalam tasyri islam dan mengerti masalah-masalah yang berhubungan dengan ijtihad mereka, sepeninggal Rosulullah SAW secara lebih mendalam dan semoga dengan uraian yang sedikit diatas, kita lebih mantab dalam member apresiasi kepada para sahabat atas jasa-jas besar mereka dalam perkembangan islam dan menghilangkan anggapan-anggapan negatif yang tentang sebagian dari mereka ,karena bagaimanapun mereka adalah orang-orang yang sempurna setelah Rosullah yang tidak patut bagi kita untuk menilai mereka.


















DAFTAR PUSTAKA
Al- Hasyimiy Drs. Muhamad Ma’sum Zainy, MA,Ilmu Ushul Fiqh,Darul Haikmah, Jombang 2008
Al-Qur’an, Departemen Agama,Tahun 2002
Http/media.isnet.org/islam/paramadina/konteks/sejarahfiqh01.html
Kholaf Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqih Wa Kholashotu Tarikhi At-Tasyri’,Dar Al-Fikri Al-Aroby 1996
Prof.dr.T.M.Hasbi Asa Shiddieqy,pengantar ilmu ushul, cetakan ke-8,PT Bulan     Bintang,Jakarta 1967
Zuhaily Wahbah,Ushul Fiqh,Klliyah Da’wah Al-Islamiyah Tanpa Tahun





[1]    Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Dar Al Fikr Al Aroby, hal :230
[2] Ibn Hajar mendefinisikan sahahat sebagai "orang yang berjumpa dengan Nabi saw., beriman kepadanya dan meninggal dalam Islam. Mereka yang termasuk jumpa ini orang yang lama bergaul dengan Nabi atau yang sebentar, yang berperang besertanya atau tidak, yang melihatnya tetapi tidak menghadiri majelisnya, atau yang tidak melihatnya seperti orang buta", al-Ishahah fi Tamyiz al-Shahabah, 1:10

[3]  Wahbah zuhaily,Ushul Fiqh, Kulliyah Da’wahal-Islamiyah, hal :99
[4] Abu Zahrah, Tarikh al-Madhahib al-Islamiyah, Beirut, Dar al-Fikr, hal. 250.

[5] .Abu Ishaq al-Syatiby, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari'at, Mathba'ah al-Maktabah al-Tijariyah, tanpa
tahun, tanpa kota, 4:74. Al-Syatibi mengutip ayat-ayat al-Qur'an dan hadits-hadits untuk menunjang pendapatnya
[6] al-Ghazali, al-Mustasyfa, Mesir: Mustafa Muhammad, tanpa tahun, 1:135. Pada halaman yang sama,
[7] Abu Zar'ah menulis, "Siapa yang mengkritik salah seorang di antara sahabat Rasulullah saw,
ketahuilah bahwa dia itu zindiq (atheis)." Lihat Al-Ishabah 1:10.
   Ibn Hajar berkata, "Sepakat semua Ahl Sunnah bahwa sahabat seluruhnya 'udul, tak ada yang menentang hal inikecuali orang-orang bid'ah yang menyirnpang" Al-Ishabah 1:9.Al-Syatibi, "Al-'Itisham. Saya kutip lagi dari Abu Zahrah. Tarikh al-Madzahib, hal. 255.

[8] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Dar Al Fikr Al Aroby, hal:230
[9] Ibid. hal:231
 [10]  Wahbah zuhaily,Ushul al Fiqh al-Islamy.juz : 2 hal: 764
[11] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Dar Al Fikr Al Aroby, hal:231

Comments

Popular posts from this blog

Khutbah Jumat Bahasa Bugis

Khutbah Bahasa Bugis

Khutbah Idul Adha Versi Bahasa Bugis