Kajian Tentang Lafal Amar & Nahiy
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara garis besar, metode istinbath
dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu kebahasaan, segi maqasid (tujuan)
syari’ah, dan segi penyelesaian beberapa dalil yang bertentangan.
Objek utama yang akan dibahas dalam ushul
fiqh adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Untuk memahami teks-teks dua
sumber yang berbahasa Arab tersebut, para ulama telah menyusun semacam
“semantik” yang akan digunakan dalam praktik penalaran fiqih. Bahasa Arab
menyampaikan suatu pesan dengan berbagai cara dan dalam berbagai tingkat
kejelasannya. Para ahli telah membuat beberapa kategori lafal atau redaksi,
diantaranya yang sangat penting adalah masalah amar, nahi dan takhyir.
Ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an
dalam menyampaikan ajaran Allah dan begitu juga sunnah Rasulullah ada yang
berbentuk amar (perintah), nahi (larangan), dan takhyir (memberikan pilihan).
Dari tiga kategori ayat-ayat hukum itulah berbentuk hukum-hukum, seperti wajib,
sunnah, haram, makruh, dan mubah.
B. Rumusan
Masalah
Dari latar belakang di atas maka
dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apakah
pengertian Amar, Nahiy, dan Tahyir?
2. Bagaimanakah
kaidah-kaidah dalam Amar dan Nahiy?
C. Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini
yaitu untuk mengetahui:
1. Pengertian Amar,
Nahiy, dan Tahyir.
2. Kaidah-kaidah
dalam amar dan Nahiy.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Amar
(Perintah)
1. Pengertian
Amar
Menurut mayoritas ulama Usul Fiqh,
amar adalah:
اللفظ الدا ل على طلب الفعل على جهة
الا ستعلاء
“Suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu
dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah
tingkatannya”.
Ada juga yang mengatakan bahwa amar
adalah perintah atau tuntutan perbuatan dari orang yang lebih tinggi
tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya, seperti dari atasan
kepada bawahan (thalab al-fi’limin ‘ala ila al-adna.
Perintah untuk melakukan suatu
perbuatan, seperti dikemukakan oleh Khudari Bik dalam bukunya Tarikh
al-Tasyri’, disampaikan dalam berbagai gaya atau redaksi antara lain :
1)
Perintah tegas dengan menggunakan kata amara dan yang
seakar dengannya. Misalnya dalam surat an-Nahl : 90
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى
وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”
2)
Perintah dalam bentuk pemberitaan bahwa perbuatan itu
diwajibkan atas seseorang dengan memakai kata kutiba. Misalnya dalam surat
al-Baqarah : 178
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى
الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأنْثَى بِالأنْثَى فَمَنْ عُفِيَ
لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ
بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ
ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka
dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang
siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar
(diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu
adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang
melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih”
3)
Perintah dengan memakai redaksi pemberitaan (jumlah
khabariyah), namun yang dimaksud adalah perintah. Misalnya surat al-Baqarah :
228
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ وَلا
يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ
كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ
بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي
عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ
حَكِيمٌ
“Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang
diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika
mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana”
4)
Perintah dengan memakai kata kerja perintah secara
langsung. Misalnya surat al-Baqarah : 238
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ
قَانِتِينَ
“Peliharalah segala salat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena
Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk”
5)
Perintah dengan menggunakan kata kerja mudhari’ yang
disertai oleh lam al-amr. Misalnya surat al-Hajj : 29
ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا
بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
“Kemudian
hendaklah mereka menghilangkan
kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan
nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan tawaf sekeliling rumah yang
tua itu (Baitullah)”
6)
Perintah dengan menggunakan kata faradha. Misalnya
surat al-Ahzab : 50
قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِي
أَزْوَاجِهِمْ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ لِكَيْلا يَكُونَ عَلَيْكَ حَرَجٌ...
“.....Sesungguhnya
Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri
mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan
bagimu...”
7)
Perintah dalam bentuk penilaian bahwa perbuatan itu
adalah baik. Misalnya surat al-Baqarah : 220
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاحٌ لَهُمْ خَيْرٌ وَإِنْ
تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لأعْنَتَكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan
mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah: "Mengurus urusan
mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu menggauli mereka, maka mereka
adalah saudaramu dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang
mengadakan perbaikan. Dan jika Allah menghendaki, niscaya Dia dapat
mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”
8)
Perintah dalam bentuk menjanjikan kebaikan yang banyak
atas pelakunya. Misalnya surat al-Baqarah : 245
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ
أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Siapakah
yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan
hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya
dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki)
dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan”
a) Hukum-hukum
yang Mungkin ditunjukkan oleh Bentuk Amar
Suatu bentuk
perintah, seperti dikemukakan oleh Muhammad Adib Saleh, Guru besar Ushul Fiqh
Universitas Damaskus, bisa digunakan untuk berbagai pengertian yaitu :
1) Menunjukkan hukum wajib seperti perintah untuk
shalat
2) Untuk menjelaskan bahwa sesuatu itu boleh
dilakukan, seperti surat al-Mukminun : 51
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا
إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah
amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”
3) Sebagai anjuran, seperti dalam
surat al-Baqarah : 282
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ
مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...”
4) Untuk melemahkan, seperti dalam surat al-Baqarah :
23
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا
بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ
كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Dan
jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur'an yang Kami wahyukan kepada
hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur'an itu dan
ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”
5) Sebagai ejekan dan penghinaan,
misalnya firman Allah berkenaan dengan orang yang ditimpa siksa di akhirat
nanti sebagai ejekan atas diri mereka dalam surat al-Dukhan : 49
ذُقْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْكَرِيمُ
“Rasakanlah,
sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia”
c) Kaidah-kaidah yang Berhubungan dengan Amar
Menurut
Muhammad Adib Saleh, ada beberapa kaidah yang berhubungan dengan Amar, yaitu :
Ø Kaidah
pertama, الاصل فى الا مرللوجوب, meskipun suatu perintah bisa menunjukkan berbagai pengertian,
namun pada dasarnya suatu perintah menunjukkan hukum wajib dilaksanakan kecuali
ada indikasi atau dalil yang memalingkannya dari hukum tersebut. Contoh dari
surat an-Nisa’ : 77
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ....
“...dirikanlah
sembahyang dan tunaikanlah zakat!...”
Ø Kaidah
kedua, دلا لةالامرعلى التكراراوالوحدة ,adalah suatu perintah haruskah dilakukan
berulang kali atau cukup dilakukan sekali saja?, menurut jumhur ulama fiqh,
pada dasarnya suatu perintah tidak menunjukkan harus berulang kali dilakukan
kecuali ada dalil itu. Contohnya dalam surat al-Baqarah : 196
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ
"Dan sempurnakanlah ibadah haji dan `umrah karena Allah...”
Ø Kaidah
ketiga, دلا لةالامرعلى الفوراوالتراخى, adalah suatu perintah haruskah dilakukan
segera mungkin atau bisa ditunda-tunda? Pada dasarnya suatu perintah tidak
menghendaki untuk segera dilakukan selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan
untuk itu, karena yang dimaksud oleh suatu perintah hanyalah terwujudnya
perbuatan yang diperintahkan. Misalnya dalam surat al-Baqarah : 148
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
“...Maka
berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan...”
B. Nahiy (Larangan)
a) Pengertian
Nahiy
Menurut
bahasa, nahiy artinya larangan atau meninggalkan sesuatu. Adapun menurut
istilah, nahiy ialah tuntutan meninggalkan perbuatan dari yang lebih tinggi
derajatnya pada yang lebih rendah[4].
Sedangkan Mayoritas ulama ushul fiqh mendefinisikan
nahiy[5]
:
طلب الكف عن
الفعل على جهة الا ستعلا ء بالصيغةالدال عليه
“Larangan
melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada
pihak yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal
itu”.
Dalam
melarang suatu perbuatan, seperti disebutkan oleh Muhammad Khudari Bik, Allah
juga memakai berbagai ragam gaya bahasa, diantaranya :
1) Larangan secara tegas dengan memakai kata naha atau
yang seakar dengannya yang secara bahasa berarti melarang. Seperti dalam surat
an-Nahl : 90
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran”
2. Larangan dengan menjelaskan bahwa
suatu perbuatan diharamkan. Seperti dalam surat al-A’raf : 33
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ
مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ
تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى
اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ
“Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik
yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak
manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan
sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan)
mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui”
3. Larangan dengan menegaskan bahwa
perbuatan itu tidak halal dilakukan. Seperti dalam surat an-Nisa : 19
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ
كَرْهًا وَلا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلا أَنْ
يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ
كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ
خَيْرًا كَثِيرًا
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita
dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak
mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya,
terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah
dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka
bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak”
4. Larangan dengan menggunakan kata kerja mudhari’
yang disertai huruf lam yang menunjukkan larangan. Seperti dalam surat
al-An’am : 152
وَلا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ
أَشُدَّهُ
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang
lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa...”
5. Larangan dengan memakai kata
perintah namun bermakna tuntutan untuk meninggalkan. Seperti dalam surat
al-An’am : 120
وَذَرُوا ظَاهِرَ الإثْمِ وَبَاطِنَهُ إِنَّ الَّذِينَ يَكْسِبُونَ الإثْمَ
سَيُجْزَوْنَ بِمَا كَانُوا يَقْتَرِفُونَ
“Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi. Sesungguhnya
orang-orang yang mengerjakan dosa, kelak akan diberi pembalasan (pada hari
kiamat), disebabkan apa yang mereka telah kerjakan”
6. Larangan dengan cara mengancam pelakunya dengan siksaan
pedih. Seperti dalam surat at-Taubah : 34
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلا يُنْفِقُونَهَا فِي
سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“...Dan
orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan
Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa
yang pedih”
7. Larangan dengan mensifati perbuatan itu dengan
keburukan. Seperti dalam surat al-Imran : 180
وَلا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
هُوَ خَيْرًا لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Sekali-kali
janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka
dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya
kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan
dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan
(yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”
8. Larangan dengan cara meniadakan wujud perbuatan itu
sendiri. Seperti dalam surat al-Baqarah : 193.
فَإِنِ انْتَهَوْا فَلا عُدْوَانَ إِلا عَلَى الظَّالِمِينَ
“...Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan
(lagi), kecuali terhadap orang-orang yang lalim”
b) Beberapa Kemungkinan Hukum yang
Ditunjukkan Bentuk Nahiy
Adib Saleh
mengemukakan ada beberapa kemungkinan hokum yang ditunjukkan bentuk nahiy yaitu
:
1. Untuk menunjukkan hukum haram, seperti dalam surat
al-Baqarah : 221
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ
مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى
يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ
أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ
وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ
يَتَذَكَّرُونَ
“Dan
janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran”
2. Sebagai anjuran untuk
meninggalkan, seperti dalam surat al-Maidah : 101
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ
لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ
لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal
yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu
menanyakan di waktu Al Qur'an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu.
Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyantun”
3. Penghinaan, seperti dalam surat al-Tahrim : 7
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ كَفَرُوا لا تَعْتَذِرُوا الْيَوْمَ إِنَّمَا
تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Hai
orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini. Sesungguhnya
kamu hanya diberi balasan menurut apa yang kamu kerjakan”
4. Untuk menyatakan permohonan, seperti dalam surat
al-Baqarah : 286
رَبَّنَا وَلا تُحَمِّلْنَا مَا لا طَاقَةَ لَنَا بِهِ
“...Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak
sanggup kami memikulnya...”
c) Kaidah-kaidah yang Berhubungan
dengan Nahiy
Muhammad
Adib Shalih mengemukakan kaidah-kaidah yang berhubungan dengan nahiy, yaitu :
Ø Kaidah
pertama, فى النهي للتحربمالاصل ,pada dasarnya
suatu larangan menunjukkan hukum haram melakukan perbuatan yang dilarang itu
kecuali ada indikasi yang menunjukkan hukum lain. Contohnya dalam surat
al-An’am : 151
وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ
“dan
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan
dengan sesuatu (sebab) yang benar”
Ø Kaidah
kedua, صل فى النهى بطلق الفسا د مطلقاالا
,suatu larangan menunjukkan fasad (rusak) perbuatan yang dilarang itu
jika dikerjakan. Contoh larangan itu ialah larangan berzina, larangan menjual
bangkai, dan dalam masalah ibadah seperti larangan shalat dalam keadaan
berhadas, baik kecil maupun besar. Larangan-larangan dalam hal-hal tersebut
menunjukkan batalnya perbuatan-perbuatan itu bilamana tetap dilakukan.
Ø Kaidah
ketiga, عن
الشى ء امربضدهالنهى ,suatu larangan terhadap suatu perbuatan
berarti perintah terhadap kebalikannya, seperti dalam surat al-Luqman : 18
وَلا تَمْشِ فِي الأرْضِ مَرَحًا
“...dan
janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh...”
Larangan tersebut mengajarkan agar berjalan di
permukaan bumi dengan rendah hati dan sopan.
C. Takhyir
(Memberi Pilihan)
Menurut Abd. Al-Karim Zaidan, bahwa
yang dimaksud dengan takhyir adalah[6] :
ماخير الشارع المكلف بين فعله وتركه
Bahwa syari’ (Allah dan RasulNya)
memberi pilihan kepada hambanya antara melakukan atau tidak melakukan suatu
perbuatan.
Hukum yang ditunjukkan oleh ayat
atau hadis dalam bentuk takhyir itu adalah halal atau mubah (boleh dilakukan),
dalam arti tidak berpahala jika dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan.
Untuk memberikan hak pilih antara
melakukan atau tidak melakukan dalam al-Qur’an terdapat berbagai cara, antara
lain seperti disebutkan Khudari Bik adalah :
a)
Menyatakan bahwa suatu perbuatan halal dilakukan,
misalnya dalam surat al-Baqarah : 187
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ
“Dihalalkan bagi
kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu...”
b)
Pembolehan dengan menafikan dosa dari suatu perbuatan,
misalnya dalam surat al-Baqarah : 173
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ
غَفُورٌ رَحِيمٌ
“...Tetapi
barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
c)
Pembolehan dengan menafikan kesalahan dari melakukan
suatu perbuatan. Contohnya dalam surat al-Baqarah : 235
وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ
أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ
“Dan tidak ada
dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu
menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu...”
Ayat tersebut membolehkan meminang wanita yang dalam iddah wafat, tetapi
dengan sindiran bukan terus terang.
BAB III
PENUTUP
1.
amar adalah perintah atau tuntutan perbuatan dari
orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah
tingkatannya, seperti dari atasan kepada bawahan (thalab al-fi’limin ‘ala ila
al-adna)
2.
Menurut bahasa, nahiy artinya larangan atau
meninggalkan sesuatu. Adapun menurut istilah, nahiy ialah tuntutan meninggalkan
perbuatan dari yang lebih tinggi derajatnya pada yang lebih rendah
3.
Takhyir adalah Bahwa syari’ (Allah dan RasulNya)
memberi pilihan kepada hambanya antara melakukan atau tidak melakukan suatu
perbuatan
DAFTAR PUSTAKA
Beni Ahmad
Saebani dan Januri, 2009, Fiqih Ushul Fiqh, Bandung : Pustaka Setia
Fikih Madrasah Aliyah XII, Berdasarkan Standar isi 2008, Madura
Utara : Armico
Satria Effendi dan M. Zein, 2009, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana
Comments
Post a Comment