PERBUATAN TUHAN DAN PERBUATAN MANUSIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Persoalan kalam lain yang menjadi
bahan perdebatan di antra aliran-aliran kalam adalah masalah perbuatan Tuhan
dan perbuatan manusia. Masalah ini muncul sebagai buntut dari perdebatan ulama
kalam mengenai iman. Ketika sibuk menyoroti siapa yang masih di anggap beriman
dan siapa yang kafir di antara pelaku tahkim, para ulama kalam kemudian mencari
jawaban atas pertanyaan siap sebnarnya yang mengeluarkan perbuatan manusia
apakah Allah sendiri, atau manusia sendiri ? atau kerjasama antara keduanya.
Masalah ini kemudian memunculkan aliran kalam fatalis (predestination) yang
di wakili oleh Qadariyah dan free will yang di wakili Qadariyah dan Mu’tazilah,
sedangkan aliran asy’ariyah dan Maturidiyah mengambil sikap pertengahan.
Persoalan ini kemudian meluas lagi dengan mempermasalahkan apakah Tuhan
memiliki kewajiban-kewajiban tertentu atau tidak? Apakah perbuatan Tuhan itu
tidak terbatas pada hal-hal yang baik-baik saja, tetapi juga mencakup kepada
hal-hal yang buruk?
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah pendapat aliran-aliran mengenai perbuatan
Tuhan dan manusia?
2.
Bagimanakah perbandingan pendapat antar aliran
mengenai permaslahan perbuatan Tuhan dan manusia.
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini agar kita dapat
memahami :
1.
Pendapat beberapa aliran mengenai perbuatan Tuhan dan
manusia
2.
Perbandingan perbuatan Tuhan dan manusia menurut
beberapa aliran
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perbuatan Tuhan
Semua aliran dalam pemkiran kalam
berpandangan bahwa Tuhan melakukan perbuatan. Perbuatan di sini di pandang
sebagai konsekuensi logis dari dzat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya.
1. Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah sebagai
aliran kalam yang bercorak rasional, pendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya
terbatas pada hal-hal yang di katakan baik. Namun, ini tidak berarti bahwa
Tuhan tidak mampu melakukan perbutan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan
buruk karena ia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu. Di dalam
Al-Qur’an pun jelas dikatakan bahwa Tuhan tidaklah berbuat zalim.1
Ayat Al-Qur’an yang di jadikan dalil oleh Mu’tazilah untuk medukung
pendapatnya di atas adalah surat Al-anbiya ayat 23 dan Surat Ar-Rum ayat 8
Qadi abd Al-jabar seorang tokoh Mu’tazilah
mengatakan bahwa ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya berbuat yang
baik dan maha suci dari perbuatan buruk. Dengan demikian, Tuhan tidak perlu
ditanya. Ia menambahkan bahwa seseorang yang di kenal baik, apabila secara
nyata berbuat baik, tidak perlu di tanya mengapa ia melakukan perbuatan itu,
adapun ayat ke dua, menurut Al-Jabbar, mengandung petunjuk bahwa Tuhan tidak
pernah dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Andaikata Tuhan
melakukan perbuatan buruk, pernyatan bahwa ia menciptakan langit dan bumi serta
segala isinya dengan hak, tentu tidak benar atau merupakan berita bohong.
Dasar pemikiran tersebut serta
konsep tentang ke’adilan Tuhan yang berjalan sejajar dengan faham adanya
batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak Tuhan, mendorong kelompok Mu’tazilah
berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban terhadpa manusia. Kewajiban-kewajiban
itu dapat di simpulkan dalam suatu hal, yaitu kewajiban tersebut baik bagi
manusia. Paham kewajiban Tuhan berbuat bak, bukan yang terbaik (ash-shalah
waal-ashshla) mengonsekuensikan aliran Mu’tazilah memuculkan faham
kewajiban Allah berikut ini:
a.
Kewajiban tidak memberikan beban dari luar kemampuan
manusia.
Memberikan beban di luar kemampuan
manusia (taklifma la yutaq) adalah bertentangan dengan paham berbuat baik dan
terbaik. Hal ini bertentangan dengna paham mereka tentang keadilan Tuhan. Tuhan
akan bersifat tidak adil kalau ia memberi beban yang terlalu berat kepada
manusia.2
b.
Kewajiban Mengirimkan Rasul
Bagi aliran Mu’tazilah,
dengan kepercayaan bahwa akal dapat mengetahui hal-hal gaib, pengiriman Rasul
tidaklah begitu penting. Namun, mereka memasukkan pengiriman rasul kepada umat
manusia menjadi salah satu kewajiban Tuhan. Argumentasi mereka adalah kondisi
akal yang tidak dapat mengetahui setiap apa yang harus diketahui manusia
tentang Tuhan dan alam gaib. Oleh karena itu, Tuhan berkewajiban berbuat baik
dan terbaik bagi manusia dengan mengirimkan rasul. Tanpa rasul, manusia tidak
akan memperoleh hidup baik dan terbaik di dunia dan di akhriat nanti
c.
Kewajiban Menempati Janji (al-Wa’d)
dan ancaman (al-Wa’d)
Janji dan ancaman merupakan salah
satu dari lima dasar kepercayaan aliran Mu’tazilah. Hal ini erat
hubungannya dengan dasar keduanya, yaitu keadilan. Tuhan akan bersifat tidak
adil jika tidak menepati janji untuk memberi pahalah kepada orang yang berbuat
baik, dan menjalankan ancaman bagi orang yang berbuat jahat. Selanjutnya
ke’adaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan ancaman berbentangan dengan
maslahat dan kepentingan manusia. Oleh karena itu, menepati janji dan
menjalankan ancaman wajib bagi Tuhan.
2.
Aliran Asy’ariyah
Menurut aliran asy’ariyah, paham
kewajiban Tuhan berbuat baik dan terbaik bagi manusia ash-shalah wa al-ashlah),
sebagaimana dikatakan aliran Mu’tazilah, tidak dapat di terima karena bertentangan
dengan paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, hal ini di tegaskan
al-ghazali ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak berkewajiban berbuat baik dan
terbaik bagi manusia. Dengan demkian, aliran asy’ariyah tidak menerima paham
Tuhan mempunyai kewajiban. Tuhan dapat berbuat sekehendak hatinya terhadap
makhluk sebagaimana di katakan al-ghazali, perbuatan-perbuatan Tuhan bersifat
tidak wajib (ja’iz) dan tidak satupun darinya yang mempunyai sifat wajib.
Karena percaya kepada kekuasaan
mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa Tuhan tak mempunyai kewajiban apa-apa,
aliran asy’ariyah menerima paham pemberian beban diluar kemampuan manusia. Al-
Asya’ari sendiri, dengan tegas mengatakan dalam al-luma, bahwa Tuhan dapat
mengatakan beban yang tak dapat di pikul pada manusia. Al-ghazali pun
mengatakan hal itu dalam al-iqtisad.
Walaupun pengiriman rasul mempunyai
arti penting dalam teologi, aliran asy’ariyah menolaknya sebagai kewajiban
Tuhan. Hal itu bertentangan dengan keyakinan mereka bahwa Tuhan tidak mempunyai
kewajiban apa-apa terhadap manusia. Paham ini dapat membawa akibat yang tidak
baik, sekiranya Tuhan tidak mengutus rasul kepada umat manusia, hidup manusia
akan mengalami kekacauan. Tanpa wahyu, manusia tidak dapat membedakan perbuatan
baik dari perbuatan buruk. Ia akan berbuat apa saja yang di ketahuinya. Namun,
sesuai degan paham asy’ariyah tetang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, hal
ini tak menjadi permasalahan bagi teologi mereka. Tuhan berbuat apa saja yang
di kehendakinya. Kalau Tuhan menghendaki manusia hidup dalam masyarakat kacau.
Tuhan dalam paham aliran ini tidak berbuat untuk kepentingan manusia.
3.
Aliran maturidiyah
Mengenai perbuatan Allah ini,
terdapat perbedaan pandangan antara maturidiyah samarkand dan maturidiah
bukhara. Aliran maturidiyah samarkand, yang juga memberikan batas pada
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanyalah
menyangkut hal-hal yang baik saja. Dengan demikian, juga pemikiran rasul
dipandang maturidiyah samarkand sebagai kewajiban Tuhan.
Adapun maturidiyah bukhara memiliki
pandangan yang sama dengan asy’ariyah mengenai paham bahwa Tuhan tidak
mempunyai kewajiban namun, sebagaimana di jelaska oleh badzawi, Tuhan pasti
menempati janjinya, seperti memberi upah kepada orang yang berbuat baik, walaupun
Tuhan mungkin saja membatalkan ancaman bagi orang yang berbuat dosa besar
adapun pandangan muturidiyah bukhara tentang pengiriman rasul, sesuai dengan
paham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tidaklah bersifat
wajib dan hanya bersifat mungkin saja.
B. Perbuatan Manusia
Masalah perbuatan manusia bermula
dari pembahasan sederhana yang di lakukan oleh kelompok jabariyah (pengikut
ja’d bin dirham dan jahm bin safwan ) dan kelompok qadariyah (pengikut ma’bad
Al-Juhani dan ghailan ad-dimwyaqi), yang kemudian di lanjutkan dengan
pembahasan yang lebih mendalam oleh aliran Mu’tazilah, asy ‘ariyah dan
muturidiyah
Akar masalah pebuatan manusia adalah
keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk dalamnya manusia
sendiri. Tuhan bersifat maha kuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak,
dari sini timbulah pernyataan sampai di manakah manusia sebagai ciptaan Tuhan
bergantung kepada kekuasaan Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya?
1. Aliran
jabariyah
Tampaknya ada perbedaan pandangan
antara jabariyah ekstrim dan jabariah moderat dalam masalah perbuatan manusia.
Jabariyah ekstrim berpendapat bahwa segala perbuatan manusia merupakan
perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang di
laksanakan atas dirinya. Minsalnya, kalau seseorang mencuri, perbuatnya mencuri
itu bukanlah terjadi atas kehendak sendiri, tetapi timbul karena qada dan qadar
Tuhan yang menghendaki demkian.5
Bahkan, jahm bin shafwan, salah seorang tokoh Jabariyah ekstrim, mengatakan
bahwa manusia tidak mampu berbuat apa-apa.
Adapun Jabariyah moderat mengatakan
bahwa Tuhan menciptakan perbuatan peranan di dalamnya. Tenaga yang di ciptakan
di dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang
di maksud dengan kasab (acquisition). Menurut paham kasab manusia tidaklah
majbur (di paksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang kehendaki oleh dalang
dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia itu memperoleh
perbuatan yang di ciptakan Tuhan.
2. Aliran
qadariyah
Aliran qadariah menyatakan bahwa
tingkah laku manusia di lakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunya
kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik
berbuat baik maupun berbuat jahat. Karena itu, ia berhak mendapatkan pahala
kebaikan yang di lakukannya dan juga berhak memperoleh hukuman atas kejahatan
yang di perbuatnya. Dalam kaitan ini bila seseorang di beri ganjaran baik
dengan balasan surga kelak di akhirat dan ganjaran siksa dengan balasan neraka
kelak di akhirat.
Paham takdir dalam pandangan
Qadariyah bukanlah dalam pengertiah takdir yang umum di pakai oleh bangsa arab
ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah di tentukan
terlebih dahulu. Menurut bangsa arab, dalam perbuatan-perbuatanya, manusia
hanya bertindak menurut nasib yang telah di tentukan semenjak ajal terhadap
dirinya adapun paham Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang di
ciptakannya untuk alam semesta beserta seluruh isinya, semenjak ajal, yaitu
hukum yang di dalam isitlah Al-Qur’an adalah sunatullah.6
Aliran Qadariyah berpendapat bahwa
tidak adala alasan yang dapat menyadarkan segala perbuatan manusia pada
perbuatan Tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunya tempat pijakan dalam doktrin
islam sendiri. Banyak ayat Al-Qur’an yang mendukung pendapat ini, minsalnya
dalam surat Al-Kahfi ayat 29.
3. Aliran Mu’tazilah7
Aliran Mu’tazilah memandang
manusia mempnyai daya yang besar dan bebas. Oleh karena itu, mu’tazlah menganut
faham Qadariyah atau free will. Menurut al-juba’i dan abd al-jubraa, manusialah
yag menciptakan perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang berbuat baik
dan buruk. KepaTuhan dan ketaatan seseorang kepada Tuhan adalah atas kehendak
dan kemauannya sendiri. Daya (al-sititha’ah) untuk mewujudkan kehhendak
terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan.
Perbuatan manusia bukanlah di
ciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan
perbuatannya. Lantas bagaimana dengan daya? Mu’tazilah dengan tegas
menyatakan bahwa daya juga beasal dari manusia. Daya yang terdapat pada diri
manusia adalah tempat terciptanya perbuatan. jadi, Tuhan tidak dilibatkan dalam
perbuatan manusia. Aliran Mu’tazilah mengecam keras faham yang
mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbutan. Bagaimana mungkin, dalam
satu perbuatan akan ada dua daya yang menentukan?
Dengan faham ini, aliran Mu’tazilah
mengaku Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan manusia berperan sebagai pihak
yang berkreasi untuk mengubah bentuknya.
Meskipun berpendapat bahwa Allah
tidak menciptakan perbuatan manusia dan tidak pula menentukanya, kalangan Mu’tazilah
tidak mengingkari ilmu azalai Allah yang mengetahui segala apa yang
membedakannya dari penganut qadariyah murni.
Yang di maksud dengan ahsana pada
ayat di atas, adalah semua perbuatan Tuhan adalah baik. Dengan demikian,
perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan, karena di antara perbuatan manusia
terdapat perbuatan jahat. Dalilil ini di kemukakan untuk mempertegas bahwa
manusia akan mendapat balasanatas perbuatannya. Sekiranya perbuata manusia
adalah perbuata Tuhan, balasan dari Tuhan tidak akan ada artinya.
Disamping argumentasi anqilah di
atas, aliran Mu’tazilah mengemukakakn argumentasi rasional berikut ini.
a. Kalau Allah
menciptakan perbuatan manusia, sedangkan menusia sendiri tidak mempnyai
perbuatan, batAllah taklif syar’i. Hal ini karena syariat adalah ungkapan
perintah dan larangan yang merupakan thalab. Tidak terlepas dari kemampuan,
kebebasan, dan pilihan.
b. Kalau
manusia tidak bebas untuk melakukan perbuatannya, runtuhlah teori pahala dan
hukuman yang muncul dari konsep faham al-wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman).
Hal ini karena perbuatan ini menjaditidak dapat di sandarkan kepadanya secara
mutlak sehingga berkonsekuensi pujian atau celaan.
c. Kalau
manusia tidak mempunyai kebebasan dan pilihan, pengutusan para nabi tidak ada
gunanya sama sekali. Bukankah tujuan pengutusan itu adalah dakwah dan dakwah
harus dibarengi kebebasan pilihan?
Konsekuensi lain dari faham di atas,
Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia terlibat dalam penentuan ajal
kerena ajal itu ada dua macam, pertama, adalah al-ajal ath-thabi’i ajal inilah
yang di pandang Mu’tazilah sebagai kekuasaanmutlakTuhan untuk
menentukannya. Adapun jenis yang kedua adalah ajal yang dibikin manusia itu
sendiri, minsalnya membunuh seseorang atau bunuh diri di tiang gantungan, atau
minum racun. Ajal yang ini dapat dipercepat dan diperlambat.
4. Aliran asy’ariyah
Dalam faham asy’ari, manusia
ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia di ibaratkan anak kecil yang tidak
memiliki pilihan dalam hudipnya. Oleh karena itu, aliran ini lebih dekat dengan
faham jabariyah dari pada dengan faham Mu’tazilah. Untuk menjelaskan
daasar pijakannya, asy’ari, pendiri aliran asy’ariyah, memakai teori al-kasb
(acquistion, perolehan). Teori al-kasb asy’ari dapat dijelaskan sebagai
berikut. Segala sesuatu terjadi dengan perantraan daya yang di ciptakan,
sehingga terjadi perolehan bagi muktasib yang memperoleh kasab untuk melakukan
perbuatan. Sebagai konsekuensi dari teori kasb ini, manusia kehilangan
kaktifan, sehingga mansia bersikap pasif dalam perbuatan-perbuatannya.
Wa a ta’malun pada ayat di atas
diartikan al-asy’ari dengan apa yang kamu perbuat dan bukan apay ng kamu buat.
Dengan demikian, ayat ini mengndung arti Allah menciptakan kamu dan
perbuatan-perbuatanmu. Dengan katalain, dalam faham asy’ari, yang mewujudkan
kasb atau perbuatan manusia sebenarnya adalah Tuhan sendiri.
Pada prinsipnya, aliran asy’ariyah
perpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah, sedangkan daya manusia
tidak mempnyai efek untuk mewujudkannya. Allah, sedangkan daya manusia tidak
mempunyai efek untuk mewujudkannya. Allah menciptakanperbuatan untuk manusia
dan menciptakan pulah-pada dirimanusia-daya untuk melahirkan perbuatan
tersebut. Jadi, perbuatan di sini adalah ciptan Allah dan merupakan kasb
(perolehan) bagi manusia. Dengan demikian kasb mempunyai pengertian penyertaan
perbuatan dengan deya manusia yang baru. Ini berimplikasi bahwa perbuatan
manusia dibarengi oleh daya kehendaknya, dan bukan atas daya kehendaknya.
5. Aliran
maturidiyah
Ada perbedataan antara
maturidiyahsamarkand dan maruridiyah bukhara mengenai perbuatan manusia.
Kelompok pertama lebih dekat dengan faha Mu’tazilah, sedangkan kelompok
kedua lebih dekat dengan faham asy’ariyah. Kehedak dan daya berbuat pad diri
manusia, menurut maturidiyah samarkand, adalahkehendak dan daya manusia dalam
arrti kata sebenarnya, dan bukan dalam arti kiasan. Perbedaannya dengan Mu’tazilah
adalah bahwa daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi
bersama-sama dengan perbuatannya. Daya yang demikian porsinya lebih kecil dari
pada daya yang terdapat dalam faham Mu’tazilah. Oleh karena itu, manusia
dalam faham al-marturidi, tidaklah sebebas manusia dalam Mu’tazilah.
Mutidyah bukhara dalam banyak hal
sependapat dengan maturidiyah samarkand. Hanya saja golongan ini memberkan
tambahan dalam masalah daya. Munurutnya untuk perwujudan perbuatan, perlu ada
dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanya
Tuhanlah yang dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan tuahn baginya.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
1.
Perbuatan Tuhan
Semua aliran dalam pemkiran kalam
berpandangan bahwa Tuhan melakukan perbuatan. Perbuatan di sini di pandang
sebagai konsekuensi logis dari dzat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya.
Aliran Mu’tazilah sebagai
aliran kalam yang bercorak rasional, pendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya
terbatas pada hal-hal yang di katakan baik. Namun, ini tidak berarti bahwa
Tuhan tidak mampu melakukan perbutan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan
buruk karena ia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu. Di dalam
Al-Qur’an pun jelas dikatakan bahwa Tuhan tidaklah berbuat zalim. Ayat
Al-Qur’an yang di jadikan dalil oleh Mu’tazilah untuk medukung
pendapatnya di atas adalah surat Al-anbiya ayat 23
2.
Perbuatan Manusia
Masalah perbuatan manusia bermula
dari pembahasan sederhana yang di lakukan oleh kelompok jabariyah (pengikut
ja’d bin dirham dan jahm bin safwan ) dan kelompok qadariyah (pengikut ma’bad
Al-Juhani dan ghailan ad-dimwyaqi), yang kemudian di lanjutkan dengan
pembahasan yang lebih mendalam oleh aliran Mu’tazilah, asy ‘ariyah dan
muturidiyah
Akar masalah pebuatan manusia adalah
keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk dalamnya manusia
sendiri. Tuhan bersifat maha kuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak,
dari sini timbulah pernyataan sampai di manakah manusia sebagai ciptaan Tuhan
bergantung kepada kekuasaan Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya?
Tampaknya ada perbedaan pandangan
antara jabariyah ekstrim dan jabariah moderat dalam masalah perbuatan manusia.
Jabariyah ekstrim berpendapat bahwa segala perbuatan manusia merupakan
perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang di laksanakan
atas dirinya. Minsalnya, kalau seseorang mencuri, perbuatnya mencuri itu
bukanlah terjadi atas kehendak sendiri, tetapi timbul karena qada dan qadar
Tuhan yang menghendaki demkian. Bahkan, jahm bin shafwan, salah seorang tokoh
Jabariyah ekstrim, mengatakan bahwa manusia tidak mampu berbuat apa-apa.
Adapun Jabariyah moderat mengatakan
bahwa Tuhan menciptakan perbuatan peranan di dalamnya. Tenaga yang di ciptakan
di dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang
di maksud dengan kasab (acquisition). Menurut paham kasab manusia tidaklah
majbur (di paksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang kehendaki oleh dalang
dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia itu memperoleh
perbuatan yang di ciptakan Tuhan.
Saran
Diharapkan kepada para pembaca dapat
memahami makalah ini dan dapat mengembangkan lebih sempurna lagi, kritik dan
saran sangat kami harapkan, untuk memotivasi penulis, agar dalam penyelesaian
makalah ini bisa memperbaiki diri dari kesalahan, atas partisipasinya kami
ucapkan terima kasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Nasution. Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah,
Analisan Perbandingan. UI Press: Jakarta. 1986
Yusuf, M.Yunan. Alam Pikiran Islam. Perkasa: Jakarta. 1990
Rozak, Abdul.
Ilmu Kalam. Pustaka
Setia : Bandung. 2006
Sarjoni, ILMU KALAM “Perbandingan Antar Aliran : Perbuatan Tuhan dan
Perbuatan Manusia”, UI Press:
Jakarta. 2010
(http://sarjoni.wordpress.com/2010/01/01/ilmu-kalam-perbandingan-antar-aliran-perbuatan-tuhan-dan-perbuatan-manusia/., diakses tanggal
19 Maret 2012)
Apakah alloh memiliki perbuatan perbuatan wajib kepada manusia?
ReplyDelete