Pemikiran Al-Mutazilah Dan Pemikiran Syiah
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kelompok pemuja akal ini muncul di
kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya
di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin
Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan
Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di
kota Madinah pada tahun 80 H dan mati pada tahun 131 H. Di dalam menyebarkan
ajarannya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota
Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah, yaitu
mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah. (Lihat Firaq Mu’ashirah, karya Dr.
Ghalib bin ‘Ali Awaji, 2/821, Siyar A’lam An-Nubala, karya Adz-Dzahabi, 5/464-465,
dan Al-Milal Wan-Nihal, karya Asy-Syihristani hal. 46-48).Seiring dengan
bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak
sektenya. Hingga kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat
yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj
mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada
akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah). (Al-Milal
Wan-Nihal, hal.29). Oleh karena itu, tidaklah aneh bila kaidah nomor satu
mereka berbunyi: “Akal lebih didahulukan daripada syariat (Al Qur’an, As Sunnah
dan Ijma’, pen) dan akal-lah sebagai kata pemutus dalam segala hal. Bila
syariat bertentangan dengan akal, menurut persangkaan mereka maka sungguh syariat
tersebut harus dibuang atau ditakwil. (Lihat kata pengantar kitab Al-Intishar
Firraddi ‘alal Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 1/65).
Jika
dikatakan Syiah sebagai bagian dari aliran Islam, ini berarti posisinya sejajar
dengan aliran lain yang masing-masing memiliki peran dalam sejarah Islam. di
Dalam buku “awamil dzuhur al-Firaq fi al-Fikr al-Islam” dijelaskan bahwa Syiah
pada awal mula perkembangannya merupakan aliran spiritual-politik pada masa
dinasti umaiyah dan Abbasiyah, dengan gamblang Syiah (pendukung Ali) telah
berkecimpung dalam lega politik, sehingga daripada itu mulailah
orang-orang asing bergabung bersama aliran ini dan setia menyokong visi dan
misi Syiah, hingga akhirnya Syiah disambut hangat oleh banyak orang yang
kemudian tersebar diberbagai daerah kekuasaan.
Hingga
sekarang aliran ini (Syiah) menambah porsi kewilayahan dalam Agama serta
dijadikan sebagai sistem pemerintahan. Hal ini menandakan bahwa keberadaan
serta wujud Syiah tidak dapat dipungkiri.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa sejarah berdirinya pemikiran Mu’tasilah?
2.
Apa pengertian pemikiran Mu’tasilah?
3.
Bagaiman perbedaan Mu’tasilah dengan Islam Liberal?
4.
Bagaiman metode pemikiran Syiah?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui sejarah berdirinya pemikiran
Mu’tasilah
2.
Mengetahui arti pemikiran Mu’tasilah
3.
Untuk mengetahui perbedaan Mu’tasilah dengan Liberal
4.
Untuk mengetahui metode pemikiran Syiah
BAB
II
PEMBAHASAN
1.1. Latar
belakang berdirinya Mu’tazilah
Kelompok pemuja akal ini muncul di
kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya
di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin
Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan
Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di
kota Madinah pada tahun 80 H dan mati pada tahun 131 H. Di dalam menyebarkan
ajarannya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota
Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah, yaitu
mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah. (Lihat Firaq Mu’ashirah, karya Dr.
Ghalib bin ‘Ali Awaji, 2/821, Siyar A’lam An-Nubala, karya Adz-Dzahabi,
5/464-465, dan Al-Milal Wan-Nihal, karya Asy-Syihristani hal. 46-48).Seiring
dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian
banyak sektenya. Hingga kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku
filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat
itulah manhaj mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang
berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As
Sunnah). (Al-Milal Wan-Nihal, hal.29). Oleh karena itu, tidaklah aneh bila
kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal lebih didahulukan daripada syariat (Al
Qur’an, As Sunnah dan Ijma’, pen) dan akal-lah sebagai kata pemutus dalam
segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal, menurut persangkaan mereka
maka sungguh syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil. (Lihat kata
pengantar kitab Al-Intishar Firraddi ‘alal Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar,
1/65).
Kaidah yang dikembangkan oleh aliran
mu’tazilah merupakan kaidah yang batil, karena kalaulah akal itu lebih utama
dari syariat maka Allah akan perintahkan kita untuk merujuk kepadanya ketika
terjadi perselisihan. Namun kenyataannya Allah perintahkan kita untuk merujuk
kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana yang terdapat dalam Surat An-Nisa:
59. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah tidak akan mengutus
para Rasul pada tiap-tiap umat dalam rangka membimbing mereka menuju jalan yang
benar sebagaimana yang terdapat dalam An-Nahl: 36. Kalaulah akal itu lebih
utama dari syariat maka akal siapakah yang dijadikan sebagai tolok ukur?! Dan
banyak hujjah-hujjah lain yang menunjukkan batilnya kaidah ini. Untuk lebih
rincinya lihat kitab Dar’u Ta’arrudhil ‘Aqli wan Naqli, karya Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah dan kitab Ash-Shawa’iq Al-Mursalah
‘Alal-Jahmiyyatil-Mu’aththilah, karya Al-Imam Ibnul-Qayyim.)
1.2. Mengapa
disebut Mu’tazilah
Mu’tazilah, secara etimologis
bermakna: orang-orang yang memisahkan diri. Sebutan ini mempunyai suatu
kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan sosok Al-Hasan Al-Bashri, salah
seorang imam di kalangan tabi’in. Asy-Syihristani berkata: Suatu hari datanglah
seorang laki-laki kepada Al-Hasan Al-Bashri seraya berkata: “Wahai imam dalam
agama, telah muncul di zaman kita ini kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa
besar (di bawah dosa syirik). Dan dosa tersebut diyakini sebagai suatu
kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama, mereka adalah kaum
Khawarij. Sedangkan kelompok yang lainnya sangat toleran terhadap pelaku dosa
besar (di bawah dosa syirik), dan dosa tersebut tidak berpengaruh terhadap keimanan.
Karena dalam madzhab mereka, suatu amalan bukanlah rukun dari keimanan dan
kemaksiatan tidak berpengaruh terhadap keimanan sebagaimana ketaatan tidak
berpengaruh terhadap kekafiran, mereka adalah Murji’ah. Bagaimanakah pendapatmu
dalam permasalahan ini agar kami bisa menjadikannya sebagai prinsip (dalam
beragama)?.
Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir
sejenak dalam permasalahan tersebut. Sebelum beliau menjawab, tiba-tiba dengan
lancangnya Washil bin Atha’ berseloroh: “Menurutku pelaku dosa besar bukan seorang
mukmin, namun ia juga tidak kafir, bahkan ia berada pada suatu keadaan di
antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir.” Lalu ia berdiri dan
duduk menyendiri di salah satu tiang masjid sambil tetap menyatakan pendapatnya
tersebut kepada murid-murid Hasan Al-Bashri lainnya. Maka Al-Hasan Al-Bashri
berkata:
“ اِعْتَزَلَ عَنَّا وَاصِلً”
“Washil telah memisahkan diri dari
kita”, maka disebutlah dia dan para pengikutnya dengan sebutan Mu’tazilah
dengan mengambil I’tibar dari perkataan Al-hasan al Basri. (Al-Milal
Wan-Nihal,hal 47-48).
Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab
oleh Al-Hasan Al-Bashri dengan jawaban Ahlussunnah Wal Jamaah: “Sesungguhnya
pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) adalah seorang mukmin yang tidak
sempurna imannya. Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin dan karena dosa
besarnya ia disebut fasiq (dan keimanannya pun menjadi tidak sempurna). (Lihat
kitab Lamhah ‘Anil-Firaq Adh-Dhallah, karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan,
hal.42).
1.3. Konsep
Pemikiran Mu’tazilah
Mu’tazilah mempunyai asas dan
landasan yang selalu dipegang erat oleh mereka, bahkan di atasnya-lah
prinsip-prinsip mereka dibangun. Asas dan landasan itu mereka sebut dengan
Al-Ushulul-Khomsah (lima landasan pokok). Adapun rinciannya sebagai berikut:
Landasan Pertama: At-Tauhid, yang mereka
maksud dengan At-Tauhid adalah mengingkari dan meniadakan sifat-sifat Allah,
dengan dalil bahwa menetapkan sifat-sifat tersebut berarti telah menetapkan
untuk masing-masingnya tuhan, dan ini suatu kesyirikan kepada Allah, menurut
mereka (Firaq Mu’ashirah, 2/832). Oleh karena itu, mereka menamakan diri dengan
Ahlut-Tauhid atau Al-Munazihuuna lillah (orang-orang yang mensucikan Allah).
Bantahan:
Bantahan pertama, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Dalil ini sangat lemah, bahkan menjadi runtuh dengan adanya dalil sam’i (naqli) dan ‘aqli yang menerangkan tentang kebatilannya. Adapun mensifati dirinya sendiri dengan sifat-sifat maka dalil sam’inya bahwa Allah itu banyak, padahal Dia Dzat Yang MahaTunggal. Allah berfirman:
Bantahan pertama, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Dalil ini sangat lemah, bahkan menjadi runtuh dengan adanya dalil sam’i (naqli) dan ‘aqli yang menerangkan tentang kebatilannya. Adapun mensifati dirinya sendiri dengan sifat-sifat maka dalil sam’inya bahwa Allah itu banyak, padahal Dia Dzat Yang MahaTunggal. Allah berfirman:
Sesungguhnya adzab Rabbmu sangat
dahsyat. Sesungguhnya Dialah yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan
menghidupkannya (kembali), Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih, Yang
mempunyai ‘Arsy lagi Maha Mulia, Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.”
(Al-Buruuj: 12-16)
“Sucikanlah Nama Rabbmu Yang Maha
Tinggi, Yang Menciptakan dan Menyempurnakan (penciptaan-Nya), Yang Menentukan
taqdir (untuk masing-masing) dan Memberi Petunjuk, Yang Menumbuhkan rerumputan,
lalu Ia jadikan rerumputan itu kering kehitam-hitaman.” (Al-A’la: 1-5).
Adapun dalil ‘aqli: bahwa
sifat-sifat itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari yang disifati, sehingga
ketika sifat-sifat tersebut ditetapkan maka tidak menunjukkan bahwa yang
disifati itu lebih dari satu, bahkan ia termasuk dari sekian sifat yang
dimiliki oleh dzat yang disifati tersebut. Dan segala sesuatu yang ada ini
pasti mempunyai berbagai macam sifat… (Al-Qawa’idul-Mutsla, hal. 10-11)
Bantahan
kedua, Menetapkan sifat-sifat Allah tanpa menyerupakannya dengan sifat makhluq
bukanlah bentuk kesyirikan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata
dalam Ar-Risalah Al-Hamawiyah: “Menetapkan sifat-sifat Allah tidak termasuk
meniadakan kesucian Allah, tidak pula menyelisihi tauhid, atau menyamakan Allah
dengan makhluk-Nya.” Bahkan ini termasuk konsekuensi dari tauhid al-asma
wash-shifat. Sedangkan yang meniadakannya, justru merekalah orang-orang yang
terjerumus ke dalam kesyirikan. Karena sebelum meniadakan sifat-sifat Allah
tersebut, mereka terlebih dahulu menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat
makhluk-Nya.
Lebih dari itu, ketika mereka
meniadakan sifat-sifat Allah yang sempurna itu, sungguh mereka menyamakan Allah
dengan sesuatu yang penuh kekurangan dan tidak ada wujudnya. Karena tidak
mungkin sesuatu itu ada namun tidak mempunyai sifat sama sekali. Oleh karena
itu Ibnul-Qayyim rahimahullah di dalam Nuniyyah-nya menjuluki mereka dengan
‘Abidul-Ma’duum (penyembah sesuatu yang tidak ada wujudnya). (Untuk lebih
rincinya lihat kitab At- Tadmuriyyah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah,
hal.79-81). Atas dasar ini mereka lebih tepat disebut dengan Jahmiyyah,
Mu’aththilah, dan penyembah sesuatu yang tidak ada wujudnya.
Landasan kedua: Al-‘Adl (keadilan), yang mereka
maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang dari
Allah, sedangkan kejelekan datang dari makhluk dan di Dalilnya adalah firman
Allah bertindak diluar kehendak (masyi’ah) Allah
وَاللهُ لاَ
يُحِبُّ الْفَسَادَ
“Dan Allah tidak suka terhadap
kerusakan.” (Al-Baqarah: 205)
وَلاَ
يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ
“Dan Dia tidak meridhai kekafiran
bagi hamba-Nya.” (Az-Zumar: 7)
Menurut mereka kesukaan dan
keinginan merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga mustahil bila
Allah tidak suka terhadap kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan
untuk terjadi (mentaqdirkannya). Oleh karena itu mereka menamakan diri dengan
Ahlul-‘Adl atau Al-‘Adliyyah.
Bantahan:
Asy-Syaikh Yahya bin Abil-Khair Al-‘Imrani t berkata: “Kita tidak sepakat bahwa kesukaan dan keinginan itu satu. Dasarnya adalah firman Allah
Asy-Syaikh Yahya bin Abil-Khair Al-‘Imrani t berkata: “Kita tidak sepakat bahwa kesukaan dan keinginan itu satu. Dasarnya adalah firman Allah
فَإِنَّ
اللهَ لاَ يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
“Maka sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang kafir.” (Ali ‘Imran: 32)
Padahal kita semua tahu bahwa Allah-lah yang menginginkan adanya orang-orang kafir tersebut dan Dialah yang menciptakan mereka. (Al-Intishar Firraddi ‘Alal- Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 1/315). Terlebih lagi Allah telah menyatakan bahwasanya apa yang dikehendaki dan dikerjakan hamba tidak lepas dari kehendak dan ciptaan-Nya. Allah berfirman:
Padahal kita semua tahu bahwa Allah-lah yang menginginkan adanya orang-orang kafir tersebut dan Dialah yang menciptakan mereka. (Al-Intishar Firraddi ‘Alal- Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 1/315). Terlebih lagi Allah telah menyatakan bahwasanya apa yang dikehendaki dan dikerjakan hamba tidak lepas dari kehendak dan ciptaan-Nya. Allah berfirman:
وَمَا
تَشَآءُونَ إِلاَّ أَنْ يَشَآءَ اللهُ
“Dan kalian tidak akan mampu
menghendaki (jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.” (Al-Insan: 30)
وَاللهُ
خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
“Padahal Allah-lah yang menciptakan
kalian dan yang kalian perbuat.” (Ash-Shaaffaat: 96)
Dari sini kita tahu, ternyata
istilah keadilan itu mereka jadikan yang merupakan bagian sebagai kedok untuk
mengingkari kehendak Allah. Atas dasar inilah mereka lebih pantas disebut
kelompok yang meyakini taqdir Allah dengan Qadariyyah.
Landasan Ketiga: Al-Wa’du Wal-Wa’id,
yang mereka
maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi
janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam Al-Jannah,
dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di
bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya, dan
tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut
dengan Wa’idiyyah.
Bantahan:
Bantahan pertama, Seseorang yang beramal shalih (sekecil apapun) akan mendapatkan pahalanya (seperti yang dijanjikan Allah) sebagai karunia dan nikmat dari-Nya. Dan tidaklah pantas bagi makhluk untuk mewajibkan yang, karena termasuk pelecehan terhadap Allah, demikian itu kepada Allah Rububiyyah-Nya dan sebagai bentuk keraguan terhadap firman-Nya:
Bantahan pertama, Seseorang yang beramal shalih (sekecil apapun) akan mendapatkan pahalanya (seperti yang dijanjikan Allah) sebagai karunia dan nikmat dari-Nya. Dan tidaklah pantas bagi makhluk untuk mewajibkan yang, karena termasuk pelecehan terhadap Allah, demikian itu kepada Allah Rububiyyah-Nya dan sebagai bentuk keraguan terhadap firman-Nya:
إِنَّ اللهَ
لاَ يُخْلِفُ الِمْيَعادَ
“Sesungguhnya Allah tidak akan
menyelisihi janji (Nya).” (Ali ‘Imran: 9).
Bahkan Allah mewajibkan bagi
diri-Nya sendiri sebagai keutamaan untuk para hamba-Nya.
Adapun orang-orang yang mendapatkan ancaman dari Allah karena dosa besarnya (di bawah syirik) dan meninggal dunia dalam keadaan seperti itu maka sesuai dengan kehendak Allah. Dia Maha berhak untuk melaksanakan ancaman-Nya dan Maha berhak pula untuk tidak melaksanakannya, karena Dia telah mensifati diri-Nya dengan Maha Pemaaf, Maha Pemurah, Maha Pengampun, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Adapun orang-orang yang mendapatkan ancaman dari Allah karena dosa besarnya (di bawah syirik) dan meninggal dunia dalam keadaan seperti itu maka sesuai dengan kehendak Allah. Dia Maha berhak untuk melaksanakan ancaman-Nya dan Maha berhak pula untuk tidak melaksanakannya, karena Dia telah mensifati diri-Nya dengan Maha Pemaaf, Maha Pemurah, Maha Pengampun, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Terlebih lagi Dia telah menyatakan:
“Sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuni dosa syirik (bila pelakunya meninggal dunia belum bertaubat darinya)
dan mengampuni dosa yang di bawah (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya.” (An-Nisa: 48) (Diringkas dari kitab Al-Intishar Firraddi
‘Alal-Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 3/676, dengan beberapa tambahan).
Bantahan
kedua, Adapun pernyataan mereka bahwa pelaku dosa besar (di bawah syirik) kekal
abadi di An-Naar, maka sangat bertentangan dengan firman Allah dalam Surat
An-Nisa ayat 48 di atas, dan juga bertentangan dengan sabda Rasulullah r yang
artinya: “Telah datang Jibril kepadaku dengan suatu kabar gembira, bahwasanya
siapa saja dari umatku yang meninggal dunia dalam keadaan tidak syirik kepada
Allah niscaya akan masuk ke dalam al-jannah.” Aku (Abu Dzar) berkata: “Walaupun
berzina dan mencuri?” Beliau menjawab: “Walaupun berzina dan mencuri.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Dzar Al-Ghifari) (Meskipun mungkin
mereka masuk neraka lebih dahulu).
Landasan Keempat: Suatu keadaan di
antara dua keadaan, yang mereka maksud adalah bahwasanya keimanan itu satu
dan tidak bertingkat-tingkat, sehingga ketika seseorang melakukan dosa besar
(walaupun di bawah syirik) maka telah keluar dari keimanan, namun tidak kafir
(di dunia). Sehingga ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan (antara
keimanan dan kekafiran).
Bantahan:
Bantahan pertama, Bahwasanya keimanan itu bertingkat-tingkat, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan, sebagaimana firman Allah
Bantahan pertama, Bahwasanya keimanan itu bertingkat-tingkat, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan, sebagaimana firman Allah
وَ إِذَا
تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُه زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا
“Dan jika dibacakan kepada mereka
ayat-ayat-Nya, maka bertambahlah keimanan mereka.” (Al-Anfal: 2)
Dan juga firman-Nya:
“Dan apabila diturunkan suatu surat,
maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah di
antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?’ Adapun
orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa
gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka
dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang
telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” (At-Taubah: 124-125)
Dan firman-Nya:
“Supaya Dia memasukkan orang-orang
mukmin laki-laki dan perempuan ke dalam Al-Jannah yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dan supaya Dia menutupi
kesalahan-kesalahan mereka. Dan yang demikian itu adalah keberuntungan yang
besar di sisi Allah.” (Al-Fath: 4)
Rasulallah bersabda: “Keimanan itu
mempunyai enam puluh sekian atau tujuh puluh sekian cabang/tingkat, yang paling
utama ucapan “Laa ilaaha illallah”, dan yang paling rendah menyingkirkan
gangguan dari jalan, dan sifat malu itu cabang dari iman.” (HR Al-Bukhari dan
Muslim, dari shahabat Abu Hurairah)
Bantahan
kedua, Atas dasar ini, pelaku dosa besar (di bawah syirik) tidaklah bisa
dikeluarkan dari keimanan secara mutlak. Bahkan ia masih sebagai mukmin namun
kurang iman, karena Allah masih menyebut dua golongan yang saling bertempur
(padahal ini termasuk dosa besar) dengan sebutan orang-orang yang beriman,
sebagaimana dalam firman-Nya:
“Dan jika ada dua golongan dari
orang-orang yang beriman saling bertempur, maka damaikanlah antara keduanya…”
(Al-Hujurat: 9)
Landasan Kelima: Amar Ma’ruf Nahi
Mungkar, yang dimaksud dari landasan ini adalah wajibnya memberontak terhadap
pemerintah (muslim) yang zalim.
Bantahan:
Memberontak terhadap pemerintah muslim yang zalim merupakan prinsip sesat yang bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Allah berfirman:
Memberontak terhadap pemerintah muslim yang zalim merupakan prinsip sesat yang bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri (pimpinan) di antara
kalian.” (An-Nisa: 59)
Rasulullah r bersabda: “Akan datang
setelahku para pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak menjalankan
sunnahku, dan sungguh akan ada di antara mereka yang berhati setan namun
bertubuh manusia.” (Hudzaifah berkata): “Wahai Rasulullah, apa yang kuperbuat
jika aku mendapati mereka?” Beliau menjawab: “Hendaknya engkau mendengar
(perintahnya) dan menaatinya, walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu
diambil.” (HR. Muslim, dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman) [Untuk lebih
rincinya, lihat majalah Asy-Syari’ah edisi Menyikapi Kejahatan Penguasa.
1.4. Sesatkah Mu,tazilah
Dari lima landasan pokok mereka yang
batil dan bertentangan dengan Al Qur’an dan As-Sunnah itu, sudah cukup sebagai
bukti tentang kesesatan mereka. Lalu bagaimana bila ditambah dengan
prinsip-prinsip sesat lainnya yang mereka punyai, seperti: a) Mendahulukan akal
daripada Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ Ulama, b) Mengingkari adzab kubur,
syafa’at Rasulullah untuk para pelaku dosa, ru’yatullah (dilihatnya Allah) pada
hari kiamat, timbangan amal di hari kiamat, Ash-Shirath (jembatan yang
diletakkan di antara dua tepi Jahannam), telaga Rasulullah di padang Mahsyar,
keluarnya Dajjal di akhir zaman, telah diciptakannya Al-Jannah dan An-Naar
(saat ini), turunnya Allah ke langit dunia setiap malam, hadits ahad (selain
mutawatir), dan lain sebagainya.
Vonis mereka terhadap salah satu
dari dua kelompok yang terlibat dalam pertempuran Jamal dan Shiffin (dari
kalangan shahabat dan tabi’in), bahwa mereka adalah orang-orang fasiq (pelaku
dosa besar) dan tidak diterima persaksiannya. Dan engkau sudah tahu prinsip
mereka tentang pelaku dosa besar, di dunia tidak mukmin dan juga tidak kafir,
sedangkan di akhirat kekal abadi di dalam an-naar.
Meniadakan sifat-sifat Allah, dengan
alasan bahwa menetapkannya merupakan kesyirikan. Namun ternyata mereka
mentakwil sifat Kalam (berbicara) bagi Allah dengan sifat Menciptakan, sehingga
mereka terjerumus ke dalam keyakinan kufur bahwa Al-Qur’an itu makhluq, bukan
Kalamullah. Demikian pula mereka mentakwil sifat Istiwaa’ Allah dengan sifat
Istilaa’ (menguasai).
Kalau memang menetapkan sifat-sifat
bagi Allah merupakan kesyirikan, mengapa mereka tetapkan sifat menciptakan dan
Istilaa’ bagi Allah?! (Lihat kitab Al-Intishar Firraddi
Alal-Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, Al-Milal Wan-Nihal, Al-Ibanah ‘an
Ushulid-Diyanah, Syarh Al-Qashidah An-Nuniyyah dan Ash-Shawa’iq Al-Mursalah
‘alal Jahmiyyatil-Mu’aththilah).
Betapa nyata dan jelasnya kesesatan
kelompok pemuja akal ini. Oleh karena itu Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ari (yang
sebelumnya sebagai tokoh Mu’tazilah) setelah mengetahui kesesatan mereka yang
nyata, berdiri di masjid pada hari Jum’at untuk mengumumkan baraa’ (berlepas
diri) dari madzhab Mu’tazilah. Beliau melepas pakaian yang dikenakannya seraya
mengatakan: “Aku lepas madzhab Mu’tazilah sebagaimana aku melepas pakaianku
ini.” Dan ketika Allah beri karunia beliau hidayah untuk menapak manhaj
Ahlussunnah Wal Jamaah, maka beliau tulis sebuah kitab bantahan untuk
Mu’tazilah dan kelompok sesat lainnya dengan judul Al-Ibanah ‘an
Ushulid-Diyanah. (Diringkas dari kitab Lamhah ‘Anil-Firaq Adh-Dhallah, hal.
44-45).
1.5. Apa
Bedanya Mu,tazilah dengan Islam Liberal
Dalam pandangan kaum muslimin,
al-Qur’an diyakini sebagai firman Allah SWT yang diturunkan kepada Rasulullah
SAW; yang tertulis dalam mushaf, ditransformasikan secara mutawatir dari generasi
ke generasi dan membacanya terhitung sebagai ibadah.
Mu’tazilah adalah aliran rasionalis
(dalam pengertian lebih mendahulukan akal dari pada wahyu) yang dikenal dalam
sejarah perkembangan pemikiran Islam. Secara harfiah nama Mu’tazilah berarti
yang mengasingkan diri. Kebanyakan ahli sejarah sepakat bahwa aliran ini
bermula dari perdebatan Washil ibn Atha’ dengan gurunya al-Hasan al-Basri
tentang kedudukan pelaku dosa besar, apakah dia kafir atau tetap mukmin.
Perdebatan ini dipicu dengan
statemen aliran al-Khawarij yang menggolongkan pelaku dosa besar adalah kafir
dan statemen al-Murji’ah yang mengatakan bahwa mereka tetap mukmin. Sedangkan
imam al-Hasan al-Basri mengatakan bahwa mereka itu adalah fasiq. Sementara
Washil ibn Atha’ mengatakan bahwa kedudukan mereka bukan kafir dan bukan
mukmin, tetapi berada di antara dua kedudukan (al-manzilah baina manzilatain).
Perdebatan tersebut berakhir dengan
memisahkannya Washil dari halaqah gurunya dan mengasingkan dirinya (I’tazala)
di salah satu sudut masjid Basra. Kemudian langkah Washil ini diikuti oleh
beberapa orang. Sehingga pada akhirnya imam al-Hasan al-Basri mengatakan:
“Washil telah mengasingkan diri dari kita (laqad i’tazala anna Washil)”. Maka
semenjak itu Washil dan pengikutnya disebut Mu’tazilah. (Henri Shalahuddin,
Mawqif Ahli l-Sunnah wa l-Jama’ah min al-Ushul al-Khamsah li l-Mu’tazilah:
Dirasah Naqdiyyah (Pandangan Ahlussunah wal Jama’ah terhadap Prinsip Ushul
Khamsah Mu’tazilah: Studi Kritis), skripsi s1, 1999, Fakultas Ushuluddin,
Departemen Perbandingan Agama, ISID, Pondok Modern Darussalam Gontor, 121 hal,
belum dipublikasikan).
Di antara pandangan Mu’tazilah yang
masyhur adalah bahwa al-Qur’an merupakan firman Allah SWT; namun kedudukan
al-Qur’an menurut mereka adalah makhluk, bukan azali dan qadim seperti yang
diyakini oleh kaum muslimin umumnya. Pandangan ini kemudian dipaksakan menjadi
madzhab resmi negara oleh dinasti Abbasyiah selama 62 tahun, dari tahun 170 H
hingga tahun 232 H, yaitu pada masa-masa khilafat al-Makmun, al-Mu’tasim dan
al-Watsiq.
Ribuan ulama Ahlussunnah yang menolak paham makhluknya al-Qur’an dihadapkan ke mahkamah, disiksa, dipenjara bahkan dibunuh; seperti yang menimpa Imam Ahmad ibnu Hanbal (pendiri madzhab Hanbali dalam fiqih).
Ribuan ulama Ahlussunnah yang menolak paham makhluknya al-Qur’an dihadapkan ke mahkamah, disiksa, dipenjara bahkan dibunuh; seperti yang menimpa Imam Ahmad ibnu Hanbal (pendiri madzhab Hanbali dalam fiqih).
Namun demikian, belum ada satupun
ulama yang berani mengungkapkan bahwa Mu’tazilah telah keluar dari batasan
Islam, seperti halnya kelompok Ahmadiyyah. Sebab bagaimanapun Mu’tazilah tetap
mengakui kewahyuan al-Qur’an, tidak pernah meragukan kedudukan mushaf Usmani,
tidak mempermasalahkan bahasa Arab sebagai mediator bahasa wahyu dan (apalagi)
menganggapnya sebagai produk budaya maupun teks manusiawi seperti yang telah
jamak disuarakan Islam Liberal dan diajarkan di berbagai perguruan tinggi yang
terkooptasi paham liberal.
Bahkan banyak di antara pemuka
Mu’tazilah yang tetap bermakmum di belakang ulama yang bermartabat, seperti
al-Qadhi Abdul Jabbar (w 415H/1023M), pemuka Mu’tazilah yang bermadzhab Syafii;
Muhammad ibn Abdul Wahhab ibn Salam al-Jubai, pemuka Mu’tazilah yang selalu
memuliakan Khulafa’ Rasyidun penerus Nabi; Ahmad ibn Ali ibn Bayghajur (w
326H), cendekiawan Mu’tazilah di bidang ilmu bahasa Arab dan Fiqh yang terkenal
kezuhudannya, menurut Ibnu Hazm juga bermadzhab Syafii.
Anehnya, Islam Liberal seringkali
mengklaim bahwa paham dan aliran Islam liberal mewarisi tradisi Mu’tazilah.
Apakah klaim mereka ini dipertanggungjawabkan secara ilmiah? Benarkah konsep
Islam liberal tentang al-Qur’an tidak berbeda dengan Mu’tazilah?
Dimanakah perbedaan kedua konsep ini secara substantif? Bagaimanakah pemuka Mu’tazilah menafsirkan al-Qur’an? Apakah mereka juga menggunakan tafsir feminis atau menggunakan metode kritik historis seperti yang sering digunakan tokoh-tokoh liberal?
Dimanakah perbedaan kedua konsep ini secara substantif? Bagaimanakah pemuka Mu’tazilah menafsirkan al-Qur’an? Apakah mereka juga menggunakan tafsir feminis atau menggunakan metode kritik historis seperti yang sering digunakan tokoh-tokoh liberal?
2.1 Sejarah
perkembangan Syiah
Jika
dikatakan Syiah sebagai bagian dari aliran Islam, ini berarti posisinya sejajar
dengan aliran lain yang masing-masing memiliki peran dalam sejarah Islam. di
Dalam buku “awamil dzuhur al-Firaq fi al-Fikr al-Islam” dijelaskan bahwa Syiah
pada awal mula perkembangannya merupakan aliran spiritual-politik pada masa
dinasti umaiyah dan Abbasiyah, dengan gamblang Syiah (pendukung Ali) telah
berkecimpung dalam lega politik, sehingga daripada itu mulailah
orang-orang asing bergabung bersama aliran ini dan setia menyokong visi dan
misi Syiah, hingga akhirnya Syiah disambut hangat oleh banyak orang yang
kemudian tersebar diberbagai daerah kekuasaan.
Hingga
sekarang aliran ini (Syiah) menambah porsi kewilayahan dalam Agama serta
dijadikan sebagai sistem pemerintahan. Hal ini menandakan bahwa keberadaan
serta wujud Syiah tidak dapat dipungkiri.
Dalam
perkembangannya Syiah terbagi kedalam beberapa golongan, namun yang sekarang
banyak dianut terdapat tiga golongan besar:
1.
Zaidiyah
Madzhab
“Zaidiyah” dinisbatkan kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin
Abi Thalib.ra, golongan ini berkembang pesat di daerah Yaman, sebagai
keyakinan mereka bahwa kepemimpinan adalah hanya hak penuh bagi
keturunan Ali bin Abi Thalib r.a beserta keturunan beliau. hanya saja mereka
memiliki persepsi lain yang menyatakan bahwa pemimpin boleh dua orang sekaligus
dalam satu masa! mereka adalah golongan syi’ah yang paling dekat dengan
pemahamam Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah.
2.
Isma’iliyah
(Mazhab
Tujuh Imam) dinisbatkan kepada Ismail bin Ja’far ash-Shidiq bin Muhammad baqir.
Mereka berkeyakinan bahwa imam itu hanya berjumlah tujuh orang, dan imam yang
terakhir adalah Isma’il bin Ja’far. Mereka mempunyai dua pemahaman; pertama:
al-Buhira yaitu pemahamam yang mengatakan bahwa imam terakhir adalah Sutan
al-Buhira, pemahaman ini berkembang di kalangan syi’ah yang berada di negara
India dan Yaman. Kedua : al-Najariah yaitu kelompok yang mengatakan bahwa imam
terakhir adalah Karim Khan, dan mereka ini juga tersebar di India, Pakistan dan
Afrika sebelah timur.
3.
Imamiyah itsna asyariyah
Golongan ini
memiliki banyak pengikut, jika dikalkulakisan hingga mencapai 70 juta orang
yang tersebar di berbagai Negara, diantaranya Iran, Irak, Pakistan, India,
Rusia, dan juga tersebar dikawasan Siria, dan Yaman.
Golongan
ketiga ini (Syiah Imamiyah) merupakan aliran yang terdiri dari 12 Imam, berawal
dari amirul mukminin Ali bin Abi Thalib.ra dan berakhir pada Abul qasim
Muhammad bin Hasan (al-Mahdi). Golongan ini dinisbatkan kepada Ja’far
al-Shadiq, yang menyatakan keimaman Ali bin Abi Thalib r.a yang kemudian di
gantikan keturunannya secara turun-temurun, mereka berpendapat bahwa Ja’far
al-Shadiq tidak pernah menyerahkan keimaman kepada puteranya yang tertua
(Ismail), karena dia meninggal sebelum ayahnya (Ja’far al-Shadiq) meninggal.
namun jabatan itu dipangkukan kepada puteranya yang bernama Musa al-Kadzimi
yang memegang jabatan selama 30 tahun.
Imam
ke-sebelas dari golongan itsna ‘asyariyah ini dijabat oleh al-Hasan bin Ali
al-Asykari dan puteranya Muhammad bin Hasan yang dianggap sebagai imam
terakhir, imam yang ke-duabelas ini dengan laqab al-Hadi, al-Qaim, al-Hujjah,
digelari pula dengan al-Muntazhar (yang ditunggu).
2.2 Landasan
Pemikiran Syiah
Jika diteliti
secara spesifik, maka akan diketahui bahwa Syiah memiliki orientasi yang
membedakan dengan aliensi lain. Orientasi tersebut yang selalu didengungkan
bahkan diagungkan sehingga menjadikan hal tersebut seakan berbeda dengan yang
lainnya! Keluar dari tujuan kaum Syiah, bahwa sesungguhnya orientasi tersebut
mengakar sebagai pemikiran yang terus menjalar. Jauh dari pada itu, pemikiran
Syiah muncul dari permasalahan Furu’ (persoalan non-ushul) dalam agama, namun
kemudian para pengikut akhir-akhir ini berusaha menjadikan Syiah sebagai bentuk
aliran baru. Sehingga perbedaan yang muncul mulai merembet pada persoalan
Ushuliah.
Pemikiran
ini yang sesungguhnya telah diusung oleh Abdullah bin Saba’ yang perannya tidak
dapat dinafikan dari sejarah, walaupun dari kalangan Syiah Kontemporer dan
Orientalis menganggapnya sebagai kartun (mitos/cerita khayalan) dan bentuk
rekayasa Muslim yang tidak ada kenyataannya.
Ibn saba’
merangkul dua orientasi utama :
1.
Ajakan terhadap Reversi (kedatangan kembali) Ali.ra ke
dunia setelah wafatnya dan tentang kembalinya Rasulullah SAW, dengan
berdalihkan bahwa; “Adalah sangat mengherankan jika orang menganggap
bahwa Isa.as kelak akan kembali, namun mendustakan kembalinya Muhammad SAW!.
Sedang Allah berfirman : “Sesungguhnya Allah SWT yang mewajibkan
(pelaksanaan hukum-hukum) Al-Qur’an atasmu, pasti akan mengembalikanmu ke
tempat kembali.” Maka dengan demikian, Muhammad lebih berhak untuk kembali ke
dunia daripada Isa.as kemudian dia (Ibn Saba’) meletakkan dasar-dasar raj’ah (kehidupan
kembali setelah mati) bagi mereka.
2.
Ajakannya kepada keyakinan bahwa setiap kepemimpinan
adalah Wasiat, dan kepemimpinan Ali.ra adalah wasiat Rasulullah SAW untuk
beliau, yang berarti bahwa Ali adalah pengganti Rasul atas ummatnya setelah
beliau berdasarkan nash.
2.3 Metode
Pemikiran Syiah
Kecintaan
dan ketulusan kaum Syiah terhadap Alhul Bait (Ali.ra dan Fatimah) yang
berlebih-lebihan hingga menjadikan kecintaan tersebut sebagai dogma yang selalu
didengungkan oleh kaumnya, dan juga timbulnya cultural (adat istiadat) kaum
Syiah (yang dianggap Nyleneh oleh sebagian golongan). dua jalur ini yang
nantinya membuka tabir metode pemikiran Syiah yang menjadi jalan utama dan
standar bagi kehidupan mereka.
Jika
ditelusuri lebih mendalam metode pemikiran Syiah terbagi atas tiga landasan
penting; akidah, syariah, dan adat istiadat, ulasan dari ketiga landasan
tersebut adalah:.
1.Pemikiran
dari sudut akidah
a.
Kepemimpinan adalah wasiat secara Nash dalam
Kitab Aqaid al-Imamiah oleh ulama Syiah Syeikh Muhammad Ridha
al-Muzaffar hal.136 dinyatakan bahwa Syiah mempercayai bahwa
kepemimpinan adalah ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah melalui lisan
RasulNya, dengan menyatakan:
“Kami
(Syiah) berkeyakinan bahwa kekhalifahan para Nabi tidak berlaku melainkan
dengan nash dari Allah S. W. T atau lisan Rasul atau lisan imam yang dilantik
secara nash dalam menentukan imam sesudahnya. Hukum Imamah sama seperti
Nabi.kebijakan hokum hanya ditentukan oleh penerima Wasiat (dalam hal ini
Ali.rs),karena dia telah mempunyai kapasitas untuk menanggung tonggak
kepamimpinan. Kami mempercayai bahwa Nabi s.a.w. pernah menentukan khalifahnya
dan imam di muka bumi ini selepasnya. Lalu baginda menentukan sepupunya Ali bin
Abi Talib sebagai Amirul Mukmin pemegang amanah terhadap wahyu dan imam kepada
semua makhluk di muka bumi ini. Beliau telah melantiknya dan mengambil baiah
(janji setia) kepadanya untuk memimpin umat Islam, Ialu beliau bersabda: "
Ketahuilah bahwa siapa yang aku telah menjadikannya pemimpin maka Al-ilah yang
menjadi leadernya. yaTuhan, baiatlalah orang yang menjadikan Ali sebagai
pemimpin dan musuhilah orang yang memusuhinya dan tolonglah orang yang
menolongnya dan hinakanlah orang yang menghinanya. Berilah kebenaran kepada Ali
di mana ia berada.”
Syiah
mempercayai wasiat Rasulullah s.a.w. ialah untuk kepemimpinan Ali.ra Kemudian
beliau mewasiatkannya kepada anaknya Hasan kemudian Husain hingga sampai kepada
Imam DuaBelas Muhammad bin Hasan (al-Mahdi al-Muntazhar). Hal tersebut
merupakan sunatullah kepada para Nabi utusanNya bermula Nabi Adam.as
sehinggalah kepada Nabi terakhir (Muhammad SAW) yang kemudian risalah kenabian
tersebut diwasiatkan kepada ahlul bait (Ali.ra dan keturunannya).
b.
Imam memiliki sifat ma’shum (terjaga dari kesalahan) dalam
kitab al-Syiah Fi al-Mizan hal. 38 diterangkan bahwa Syiah
meyakini bahwa para imam adalah ma’shum (terjaga) dari segala kesalahan dan
dosa (dosa besar dan kecil ), mulai dari sejak lahir hingga wafat mereka (Imam)
tidak pernah melakukan dosa. Syiah juga memposisikan para Imam sejajar dengan
para Nabi yang bertugas menjaga kemurnian syariat dan melaksanakan hukum Allah
di muka bumi. Keyakinan tersebut tertuang dalam pengakuan:
“ Ishmah
ialah suatu kekuatan yang membentengi seseorang dari perbuatan dosa (maksiat dan
kesalahan), dimana ia tidak melalaikan yang wajib dan tidak melakukan
yang haram sekalipun ia mampu untuk itu, jika tidak bersifat demikian niscaya
ia tidak berhak mendapat pujian dan balasan. Dengan kata lain, yang dimaksudkan
dengan ma’shum itu ialah mencapai puncak ketaqwaan yang tidak dicapai oleh
syahwat dan nafsu. Kemudian ia telah mencapai ilmu syariat dan hukum-hukum yang
sampai kepada martabat ulya (tinggi) hingga tidak melakukan kesalahan sama
sekali. Syiah Imamiah mensyaratkan ketentuan tersebut kepada imam-imam secara
menyeluruh sebagaimana disyaratkan kepada para wali. Syeikh Mufid berkata di
dalam kitab Awail al-Maqalat bab perbincangan mengenai Imam-imam itu ma’shum;
Imam-imam yang memiliki sifat-sifat ma’shum itu memiliki posisi yang sejajar
dengan para Nabi dalam melaksanakan hukum-hukum dan menerapkan syariat serta
membina masyarakat. Mereka adalah ma’shum sebagaimana Nabi yang bersifat
ma’shum yang tidak melakukan dosa besar dan kecil, mereka juga tidak bersifat
pelupa terhadap perkara ke-agamaan, Sifat ini yangb diyakini oleh
mayoritas mazhab Syiah Imamiah”.
c.
al-Bada’ (Ilmu Allah bersifat revisit sesuai dengan
fenomena) al-Tabatabi dalam kitabnya al-Usul Min al-Kafi menerangkan
bahwa al-Bada’ adalah munculnya sesuatu dari ketiadaan (tersembunyi), Syiah
berkeyakinan bahwa Allah dapat mengetahui sesuatu perkara setelah
terjadinya suatu peristiwa yang sebelumnya dianggap tersembunyi daripada-Nya.
Perkara ini jelas menganggap Allah itu jahil (tidak meliputi Ilmu atas perkara
yang akan terjadi).
Keyakinan
itu tersimpul dalam ungkapan:
“ al-Bada
ialah lahirnya perbuatan yang tersembunyi disebabkan tersembunyi ilmu (sebelum
kejadian). maka kami maksudkan sebagai lahirnya setiap perbuatan yang
sebelumnya tersembunyi (dari ilmu Allah SWT)".
Dalam pada
itu Syiah beranggapan bahwa ilmu Tuhan akan berubah dan bersesuaian (bersifat
revisit) sesuai dengan fenomena kehidupan manusia,dan Tuhan akan merubah
kehendak-Nya terhadap sesuatu perkara sesuai dengan keadaan yang berlaku.
d.
ar-Raj’ah (hadirnya kembali Imam Mahdi) dalam Kitab Aqaid
al-Imamiah hal.83 oleh Syekh Muhammad Ridha al-Muzaffar menerangkan
sesungguhnya Syiah mempercayai bahwa Allah SWT akan menghidupkan kembali
orang-orang yang telah mati ke dunia bersama Imam Mahdi untuk memfonis orang-orang
yang telah melakukan kedzaliman, termasuk di dalamnya para sahabat
Rasulullah seperti Saidina Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah, Hafshah, Muawiyah
dan lain-lain, Fakta ini tertuang pada penjelasan:
"Sesungguhnya
pendapat Syiah Imamiah tentang Raj’ah ialah kerana mereka mengambil dari para
Ahli Bait a.s., dimana Allah S WT akan mengembalikan suatu kaum yang telah mati
ke dunia, Ialu sebagian daripada golongan memuliakan satu pihak dan
menghina satu pihak yang lain dan ia menunjukkan mana golongan yang benar dan
mana golongan yang salah serta menunjukkan golongan yang melakukan kedzaliman.
Peristiwa ini berlaku ketika bangunnya Mahdi keluarga Nabi Muhammad SAW dan
tidak kembali ke dunia ini kecuali orang yang tinggi derajat imannya ataupun
orang yang paling jahat. Kemudian mereka akan mati semula. Begitulah juga
dengan orang-orang yang selepasnya sehinggalah dibangkitkan semula dan mereka
akan menerima pahala atau siksaan."
2. Pemikiran dari sudut Syariah
a.
Menafikan Ijma’ Ulama dalam kitab Mukhtasar
al-Tuhfah al-lthna Asyariyyah, hal 51 dinyatakan bahwa Syiah
tidak menerima pemakaian ijmak ulama sebagai landasan syariat, sebagai
bukti mereka menolak (tidak menerima) pelantikan khalifah Abu Bakar, Umar
dan Utsman, sehingga mereka berpegang kepada pendapat-pendapat Imam , kerana
ijma’ mereka ada berujung kesalahan, sedangkan pendapat Imam adalah ma’shum
(benar). Hal ini tercantum dalam pernyataan:
“Adapun
ijma’ ialah bentuk kesalahan, kerana ia merupakan hujah (Landasan) yang tidak
ada asalnya. ini disebabkan adanya keputusan imam ma’shum terkandung di
dalamnya. Perkara ini (Syariat) adalah berdasarkan ketetapan imam ma’shum dan
bukan atas ijma’. Kema’shuman imam dan pelantikan mereka adalah sama
dengan perkhabaran imam itu senditi atau perkhabaran imam ma’shum yang lain.
Sesungguhnya perkara ini telah jelas dan begitulah ijma’ generasi Islam
pertama dan kedua sebelum munculnya perselisihan di kalangan umat, juga
juga disangsikan, kerana mereka telah berijma’ atas perlantikan Abu Bakar sebagai
Khalifah, pengharaman kawin mut'ah, penyelewengkan al-Quran, mencegah Nabi dari
menerima pusaka, merampas tebusan dari perawan dan selanjutnya terjadi
perselisihan dan perpecahan di kalangan mereka, bagaimana ijma’ dijadikan
sebagai hujah, apalagi dalam permasalah khilafah!!”
b.
Menolak penggunaan Qiyas
Dalam hal
lain diterangkan dalam kitab Aslu al-Syiah Wa Usuluha hal 149
bahwa Syiah menolak pemakaian Qiyas dalam menentukan hukum Syar’i, karena Qiyas
akan merubah dan merusak hukum asli (agama), hal ini tersurat dalam pernyataan:
“
bahawasanya Syiah Imamiah tidak beramal dengan Qyias dan sesungguhnya ia telah
menjadi ketetapan di sisi imam-imam mereka. Sesungguhnya syariat apabila
diqiyaskan akan merusak agama dan akan menjadikan kerusakan amal dengan
menggunakan qias itu.”
c.
Pembolehan nikah Mut’ah dalam Kitab al-Nihayah
Fi Mujarrad al-Fiqh Wa al-Fatawa hal 489 dinyatakan bahwa Syiah masih
menyemai amalan nikah Mut'ah yang pernah dibolehkan pada permulaan Islam dalam
keadaan dan masa tertentu. Mereka masih mengamalkan nikah ini sampai sekarang.
Hal ini menunjukkan bahwa mereka menolak pemansukhan syariat tersebut (nikah
mut’ah). Mereka berpendapat bahwa nikah Mut'ah adalah diharuskan di dalam
syariat Islam. Pernyataan tersebut adalah:
“Nikah
mutah adalah dibolehkan dalam syariat Islam sebagaimana kami menyebutnya dari
akad seseorang lelaki kepada seorang perempuan dengan tempo waktu
tertentu dan dengan mahar tertentu. syarat-syarati nikah Mut'ah ialah
akad, tempo dan mahar. Dalam nikah Mut'ah ditetapkan tempo tertentu yang
disepakati oleh keduanya, dengan tempo setahun atau sebulan atau sehari.”
2.4 Pemikiran
dari sudut adat istiadat
Adat
istiadat yang dimaksudkan adalah suatu ritual yang dilakukan oleh golongan
Syiah sebagai aplikasi atas dogma yang mereka yakini. Secara tidak langsung
ritual tersebut tidak diterima oleh golongan lain. Terdapat beberapa ritual
yang masih ramai di rayakan oleh mereka, diantara ritual tersebut adalah:
1.
Berziarah ke makam Husain
Syiah
mendakwakan bahwa barang siapa yang mengunjungi makam Husain maka dia akan
masuk surga, seperti yang tertera dalam kitab al-Irsyad hal 252
yang menyatakan:
“barangsiapa
yang menziarahi makam Husain setelah wafatnya niscaya dia akan masuk
surga"
2.
Upacara 10 muharram (hari asyura)
Dijelaskan
bahwa Golongan Syiah mengadakan upacara pemukulan dada dan menyiksa tubuh
mereka pada ssaat 10 Muharram sebagai tanda kesedihan atas kematian
Husain.dalam ritualnya ada diantara mereka yang memukul dengan rantai besi ke
atas bahu, mengetuk kepala dengan pedang dan menyiksa badan pada hari kesepuluh
Muharam sebagai hari berkabung atas kematian Husain. Perkara ini dinyatakan
dalam Kitab al-Syiah Wa al-Tashih al-Shira', Baina al-Syiah Wa
al-Tasyayyu' hal. 98:
“Ritual
yang masyhur ini sentiasa diadakan sebagai satu bagian dari musim-musim
perayaan atas kematian syahid Saidina Husain. Amalan ini berlaku di Iran,
Pakistan, India dan sebagian di negara Libanon pada setiap tahun. Tragedy
tersebut menjadikan pertumpahan darah antara Syiah dan Ahli Sunnah di
beberapa tempat. di Pakistan menyebabkan ratusan nyawa yang tidak bersalah
menjadi korban atas pertikaian tersebut. Syiah mengadakan perayaan pada
hari Asyura semenjak dahulu. Selain daripada itu bacaan ziarah yang banyak
disenandungkan dari para pujangga yang membacakan beberapa qasidah di hadapan
kubur, semisal penyair Arab yang bernama Syarif Reda saat menyampaikan
qasidahnya yang mulia di hadapan kubur Husain yang diawali dengan senandung
"Karbala sentiasa kamu berada di dalam kesusahan…hingga sampai pada bait:
"Berapa
ramai orangyang telah berperang di atas tanah ini, sehingga darah
mengalir berkucuran dan mereka telah terbunuh." Penyair
tersebut menangis dan ritual sebagai akibat penyesalan.yang pastinya
bahwa Imam-imam Syiah merayakan hari kesepuluh Muharram, mereka duduk di
rumah-rumah dengan menerima ucapan ta’ziah dari orang-orang yang memberikan
ta’ziah dan mereka mengadakan majlis jamuan pada hari itu. Imam mereka
memberi khutbah dan qasidah untuk mengingat syahidnya Saidina Husain dan Ahli
Bait Rasulullah SAW.
3.
Jama’ shalat dalam keadaan mukim
Berasas pada
keputusan imam ma’shum pelaksanaan Shalat lima (Shubuh, Zhuhur, Ashar, Maghrib,
dan Isya’) dilakukan pada tiga waktu; Subuh, Zhuhur dan Ashar di waktu Ashar,
Maghrib dan Isya’ di waktu Isya’. Jama’ shalat tersebut dilakukaan baik pada
waktu bepergian ataupun ketika Mukim. Perkara ini dinyatakan dalam kitab
Fiqih Lima Mazhab di antara Nas dan Ijtihad” hal 36 yang
menerangkan:
“Ja'fari:
Harus menjamakkan diantara shalat Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya' baik
dilakukan pada saat musafir ataupun hadir tanpa sebab apapun”.
4.
Imamah dan Khilafah bagian dari rukun islam
Syiah
mendakwakan bahwa Imamah adalah bagian dari rukun Islam yang harus menjadi
pijakan bagi muslim, jika diruntut maka rukun Islam menurut Syiah; Shalat,
Zakat, Puasa, Haji, Wilayah (Imamah).hal ini diperjelas dalam ketetapan:
“Ja'fari:
Imamah dan Khilafah bagian dari rukun Islam dan lianya berlaku melalui nash”.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Sebagai
simpulan akhir dari pembahasan Pemikiran Mu’tazilah:
- Mu’tazilah adalah aliran yang secara garis besar sepakat dan mengikuti cara pandang Washil bin ‘Atha’ dan ‘ Amru bin Ubaid dalam masalah-masalah teologi, atau aliran teologi yang akar pemikirannya berkaitan dengan pemikiran Washil bin ‘Atha’ dan ‘ Amru bin Ubaid.
- Mu’tazilah merupakan aliran teologis dalam Islam yang bercorak rasional, dan berpandangan bahwa nash (wahyu) sejalan dengan rasio akal manusia. Namun dalam perjalanan sejarahnya, mereka banyak terpengaruh dengan metode-metode filsafat asing, sehingga hampir saja membawa mereka kepada sikap “ekstrim” dalam menggunakan logika. Sikap “nyaris ekstrim” ini yang berpengaruh dan tampak dalam ide-ide teologis mereka, dan sampai pada titik klimaksnya menimbulkan fitnah besar di dalam perjalanan sejarah umat Islam, yang diistilahkan Mihnah.
- Mu’tazilah muncul dengan latar belakang kasus hukum pelaku dosa besar yang telah mulai diperdebatkan oleh Khawarij dan Murji’ah. Mereka tidak mengatakan pelaku dosa besar itu kafir dan tidak juga mukmin, melainkan fasik. Dan jika dia meninggal dalam kondisi belum bertaubat maka dia berada di sebuah tempat antara posisi orang mukmin dan orang kafir, yang diistilahkan dengan al-manzilah baina al-manzilatain. Pada sisi lain dalam perkembangannya mereka juga masuk ke ladang kasus yang diperdebatkan Qadariyah dan Jabariyah tentang hakikat perbuatan manusia dan kaitannya dengan takdir Tuhan.
- Penghargaan yang tinggi terhadap akal dan logika menyebabkan timbul banyak perbedaan pendapat di kalangan Mu’tazilah sendiri, namun ide-ide teologis mereka disatukan dalam beberapa hal pokok, yang dikenal dengan al-Ushul al-Khamsah: Tauhid (Keesaan), Al-’Adl (Keadilan), Al-Wa’du wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman), Al-Manzilah Baina al-Manzilatain (Satu Tempat diantara Dua Tempat), Al-Amru bi al-Ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-Munkar (Menegakkan yang Makruf dan Melarang Kemunkaran)
- Dengan memahami lima hal pokok tersebut, penulis nilai kita tidak bisa menghukum kafir kaum Mu’tazilah. Dan memang kita tidak bisa menggeneralisasi hukum terhadap Mu’tazilah, tapi harus dilihat di setiap permasalahan yang diangkatkannya, sehingga kita pun tidak terjebak ke dalam sikap “nyaris ekstrim” ketika menghukum sebuah kelompok, yang penulis yakini akan membawa dampak negatif.
- Dengan kekayaan pembahasan logikanya, Mu’tazilah telah memberikan banyak masukan terhadap kekayaan khazanah keislaman. Artinya kita tidak bisa menutup mata rapat-rapat terhadap kontribusi mereka itu, tapi juga bukan berarti menghilangkan nalar kritis terhadap ide-ide pemikirannya. Sebagaimana yang dilakukan Imam Syatibi dalam metode Maqashid Syari’ah, atau Muhammad Abduh dalam ide-ide pembaharuannya, dan tokoh-tokoh lainnya.
Sebagai
simpulan akhir dari pembahasan Pemikiran Syiah:
Dari paparan
diatas telah jelas bahwa Syiah memiliki identitas dalam Islam yang sejalan
dengan perkembangan Islam, yang hingga sampai detik ini Syiah masih tetap
menjadi bagian dari Islam dan bahkan menjadi sistem resmi pemerintahan
Iran. Akhirnya wawasan yang ada semoga menjadi bahan perbandingan dalam
mencapai keutuhan dan kebijaksanaan dalam menilai segala sesuatu..
Wallahu a’lam bish-Shawab
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Badawi, Abdurrahman, Madzahib
al-Islamiyyin, Beirut: Darul ‘Ilm li al- Malayin,
1983.
Al-Gharabi, Ali Mushtafa, Tarikh
al-Firaq al-Islamiyah, Mesir: Maktabah wa Mathba’ah
Muhammad Ali Shabih wa Awladih, tt.
Al-Syahrastani, Muhammad bin Abdul
Karim, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, tt.
Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam,
Jakarta: Bulan Bintang, 1997.
Hanafi, A.,
M.A., Pengantar Theology Islam, Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1995.
Jarullah,
Zuhdi, al-Mu’tazilah, Beirut: Al-Ahliyah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1974.
Nasution,
Harun, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,
1986.
Salim,
Abdurrahman, Al-Mu’tazilah, Mausu’ah al-Firaq wa al-Madzahib fi al- ’Alam al-Islami, Kairo: al-Majilis
al-A’la li al-Syu’un al-Islamiyah, 2007.
Shadiq, Hasan, Judzur al-Fitnah fi al-Firaq
al-Islamiyah, Kairo: Maktabah Madbuli,
1993.
Muhammad Abdul Karim al-Syahrustan “al-Milal
wa al-Nihal”, penerbit dar al-Ma’rifah, Beirut, Lubnan.
Abdul qadir bin Thahir al-Baghdadi “al-Farqu baina al-Firaq”,
penerbit dar-al Ma’rifah,Beirut, Lubnan.
Mahdi Imbirisy “fii isykaliyat al-Masyru’ wa
al-Masyru’ al-Islami”, jilid 2 cetakan pertama, dar al-Multaqa, Beirut,
Lubnan
Prof.Dr.Mas’ud Abdullah Khalifah al-Wazni “ ‘awamil
dzuhur al-Firaq fi al-Fikr al-Islam” cetakan pertama, jam’iyah al-Dakwah
al-Islamiyah, Tripoli, Libya.
Dr. Ali Muhammad al-Shalaby “al-Shira’ baina Ahli
al-Sunnah wa al-Rafidhah”, al-maktabah al-‘ashriyah, Beirut, Lubnan.
Abu Ja'afar bin Ya'kub bin Ishak
al-Kulaini al-Razi “ al-Usul Min al-Kafi”.
Muhammad bin Muhammad bin Nu'man al-'Askibri
al-Baghdadi al-Mulaqqab Bi al-Syeikh al-Mufid “al-lrsyad”.
Dr. Musa al-Musawi “al-Syiah Wa
al-Tashih al-Sira' Baina al-Syiah Wa al- Tasyayyu”.
Muhammad Jawad Mughniah “al-Syiah Fi
al-Mizan”.
Rujukan berbahasa Indonesia
Prof.Dr. Muhammad Amhazun “ Fitnah Kubro”,cetakan pertama, penerbit
LP2SI al-Haramain, Jakarta.
Prof.Dr. H. Asjmuni Abdurrahman “Manhaj Tarjih
Muhammadiyah”, cetakan IV, penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Rujukan Internet
www.islam.gov.my/e-rujukan “Penjelasan
terhadap Fahaman Syiah”.
www.nasution.multiply.com
“sekilas tentang Syiah dan pemahamannya”.
Comments
Post a Comment