Pemikiran Al-Mutazilah Dan Pemikiran Syiah


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan mati pada tahun 131 H. Di dalam menyebarkan ajarannya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah. (Lihat Firaq Mu’ashirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Awaji, 2/821, Siyar A’lam An-Nubala, karya Adz-Dzahabi, 5/464-465, dan Al-Milal Wan-Nihal, karya Asy-Syihristani hal. 46-48).Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. Hingga kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah). (Al-Milal Wan-Nihal, hal.29). Oleh karena itu, tidaklah aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal lebih didahulukan daripada syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’, pen) dan akal-lah sebagai kata pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal, menurut persangkaan mereka maka sungguh syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil. (Lihat kata pengantar kitab Al-Intishar Firraddi ‘alal Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 1/65).
Jika dikatakan Syiah sebagai bagian dari aliran Islam, ini berarti posisinya sejajar dengan aliran lain yang masing-masing memiliki peran dalam sejarah Islam. di Dalam buku “awamil dzuhur al-Firaq fi al-Fikr al-Islam” dijelaskan bahwa Syiah pada awal mula perkembangannya merupakan aliran spiritual-politik pada masa dinasti umaiyah dan Abbasiyah, dengan gamblang Syiah (pendukung Ali) telah berkecimpung dalam lega politik, sehingga daripada itu  mulailah orang-orang asing bergabung bersama aliran ini dan setia menyokong visi dan misi Syiah, hingga akhirnya Syiah disambut hangat oleh banyak orang yang kemudian tersebar diberbagai daerah kekuasaan.

Hingga sekarang aliran ini (Syiah) menambah porsi kewilayahan dalam Agama serta dijadikan sebagai sistem pemerintahan. Hal ini menandakan bahwa keberadaan serta wujud Syiah tidak dapat dipungkiri.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa sejarah berdirinya pemikiran Mu’tasilah?
2.      Apa pengertian pemikiran Mu’tasilah?
3.      Bagaiman perbedaan Mu’tasilah dengan Islam Liberal?
4.      Bagaiman metode pemikiran Syiah?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui sejarah berdirinya pemikiran Mu’tasilah
2.      Mengetahui arti pemikiran Mu’tasilah
3.      Untuk mengetahui perbedaan Mu’tasilah dengan Liberal
4.      Untuk mengetahui metode pemikiran Syiah






BAB II
PEMBAHASAN
1.1. Latar belakang berdirinya Mu’tazilah
Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan mati pada tahun 131 H. Di dalam menyebarkan ajarannya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah. (Lihat Firaq Mu’ashirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Awaji, 2/821, Siyar A’lam An-Nubala, karya Adz-Dzahabi, 5/464-465, dan Al-Milal Wan-Nihal, karya Asy-Syihristani hal. 46-48).Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. Hingga kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah). (Al-Milal Wan-Nihal, hal.29). Oleh karena itu, tidaklah aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal lebih didahulukan daripada syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’, pen) dan akal-lah sebagai kata pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal, menurut persangkaan mereka maka sungguh syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil. (Lihat kata pengantar kitab Al-Intishar Firraddi ‘alal Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 1/65).
Kaidah yang dikembangkan oleh aliran mu’tazilah merupakan kaidah yang batil, karena kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah akan perintahkan kita untuk merujuk kepadanya ketika terjadi perselisihan. Namun kenyataannya Allah perintahkan kita untuk merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana yang terdapat dalam Surat An-Nisa: 59. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah tidak akan mengutus para Rasul pada tiap-tiap umat dalam rangka membimbing mereka menuju jalan yang benar sebagaimana yang terdapat dalam An-Nahl: 36. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka akal siapakah yang dijadikan sebagai tolok ukur?! Dan banyak hujjah-hujjah lain yang menunjukkan batilnya kaidah ini. Untuk lebih rincinya lihat kitab Dar’u Ta’arrudhil ‘Aqli wan Naqli, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan kitab Ash-Shawa’iq Al-Mursalah ‘Alal-Jahmiyyatil-Mu’aththilah, karya Al-Imam Ibnul-Qayyim.)
1.2. Mengapa disebut Mu’tazilah
Mu’tazilah, secara etimologis bermakna: orang-orang yang memisahkan diri. Sebutan ini mempunyai suatu kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan sosok Al-Hasan Al-Bashri, salah seorang imam di kalangan tabi’in. Asy-Syihristani berkata: Suatu hari datanglah seorang laki-laki kepada Al-Hasan Al-Bashri seraya berkata: “Wahai imam dalam agama, telah muncul di zaman kita ini kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik). Dan dosa tersebut diyakini sebagai suatu kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama, mereka adalah kaum Khawarij. Sedangkan kelompok yang lainnya sangat toleran terhadap pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik), dan dosa tersebut tidak berpengaruh terhadap keimanan. Karena dalam madzhab mereka, suatu amalan bukanlah rukun dari keimanan dan kemaksiatan tidak berpengaruh terhadap keimanan sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh terhadap kekafiran, mereka adalah Murji’ah. Bagaimanakah pendapatmu dalam permasalahan ini agar kami bisa menjadikannya sebagai prinsip (dalam beragama)?.
Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak dalam permasalahan tersebut. Sebelum beliau menjawab, tiba-tiba dengan lancangnya Washil bin Atha’ berseloroh: “Menurutku pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir, bahkan ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir.” Lalu ia berdiri dan duduk menyendiri di salah satu tiang masjid sambil tetap menyatakan pendapatnya tersebut kepada murid-murid Hasan Al-Bashri lainnya. Maka Al-Hasan Al-Bashri berkata:
 “ اِعْتَزَلَ عَنَّا وَاصِلً”
“Washil telah memisahkan diri dari kita”, maka disebutlah dia dan para pengikutnya dengan sebutan Mu’tazilah dengan mengambil I’tibar dari perkataan Al-hasan al Basri. (Al-Milal Wan-Nihal,hal 47-48).
Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab oleh Al-Hasan Al-Bashri dengan jawaban Ahlussunnah Wal Jamaah: “Sesungguhnya pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) adalah seorang mukmin yang tidak sempurna imannya. Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin dan karena dosa besarnya ia disebut fasiq (dan keimanannya pun menjadi tidak sempurna). (Lihat kitab Lamhah ‘Anil-Firaq Adh-Dhallah, karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal.42).
1.3. Konsep Pemikiran Mu’tazilah
Mu’tazilah mempunyai asas dan landasan yang selalu dipegang erat oleh mereka, bahkan di atasnya-lah prinsip-prinsip mereka dibangun. Asas dan landasan itu mereka sebut dengan Al-Ushulul-Khomsah (lima landasan pokok). Adapun rinciannya sebagai berikut:
Landasan Pertama: At-Tauhid, yang mereka maksud dengan At-Tauhid adalah mengingkari dan meniadakan sifat-sifat Allah, dengan dalil bahwa menetapkan sifat-sifat tersebut berarti telah menetapkan untuk masing-masingnya tuhan, dan ini suatu kesyirikan kepada Allah, menurut mereka (Firaq Mu’ashirah, 2/832). Oleh karena itu, mereka menamakan diri dengan Ahlut-Tauhid atau Al-Munazihuuna lillah (orang-orang yang mensucikan Allah).
Bantahan:
Bantahan pertama, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Dalil ini sangat lemah, bahkan menjadi runtuh dengan adanya dalil sam’i (naqli) dan ‘aqli yang menerangkan tentang kebatilannya. Adapun mensifati dirinya sendiri dengan sifat-sifat maka dalil sam’inya bahwa Allah itu banyak, padahal Dia Dzat Yang MahaTunggal. Allah  berfirman:
Sesungguhnya adzab Rabbmu sangat dahsyat. Sesungguhnya Dialah yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali), Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih, Yang mempunyai ‘Arsy lagi Maha Mulia, Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Buruuj: 12-16)
“Sucikanlah Nama Rabbmu Yang Maha Tinggi, Yang Menciptakan dan Menyempurnakan (penciptaan-Nya), Yang Menentukan taqdir (untuk masing-masing) dan Memberi Petunjuk, Yang Menumbuhkan rerumputan, lalu Ia jadikan rerumputan itu kering kehitam-hitaman.” (Al-A’la: 1-5).
Adapun dalil ‘aqli: bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari yang disifati, sehingga ketika sifat-sifat tersebut ditetapkan maka tidak menunjukkan bahwa yang disifati itu lebih dari satu, bahkan ia termasuk dari sekian sifat yang dimiliki oleh dzat yang disifati tersebut. Dan segala sesuatu yang ada ini pasti mempunyai berbagai macam sifat… (Al-Qawa’idul-Mutsla, hal. 10-11)
Bantahan kedua, Menetapkan sifat-sifat Allah tanpa menyerupakannya dengan sifat makhluq bukanlah bentuk kesyirikan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Ar-Risalah Al-Hamawiyah: “Menetapkan sifat-sifat Allah tidak termasuk meniadakan kesucian Allah, tidak pula menyelisihi tauhid, atau menyamakan Allah dengan makhluk-Nya.” Bahkan ini termasuk konsekuensi dari tauhid al-asma wash-shifat. Sedangkan yang meniadakannya, justru merekalah orang-orang yang terjerumus ke dalam kesyirikan. Karena sebelum meniadakan sifat-sifat Allah tersebut, mereka terlebih dahulu menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya.
Lebih dari itu, ketika mereka meniadakan sifat-sifat Allah yang sempurna itu, sungguh mereka menyamakan Allah dengan sesuatu yang penuh kekurangan dan tidak ada wujudnya. Karena tidak mungkin sesuatu itu ada namun tidak mempunyai sifat sama sekali. Oleh karena itu Ibnul-Qayyim rahimahullah di dalam Nuniyyah-nya menjuluki mereka dengan ‘Abidul-Ma’duum (penyembah sesuatu yang tidak ada wujudnya). (Untuk lebih rincinya lihat kitab At- Tadmuriyyah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hal.79-81). Atas dasar ini mereka lebih tepat disebut dengan Jahmiyyah, Mu’aththilah, dan penyembah sesuatu yang tidak ada wujudnya.
Landasan kedua: Al-‘Adl (keadilan), yang mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang dari Allah, sedangkan kejelekan datang dari makhluk dan di Dalilnya adalah firman Allah bertindak diluar kehendak (masyi’ah) Allah
وَاللهُ لاَ يُحِبُّ الْفَسَادَ
“Dan Allah tidak suka terhadap kerusakan.” (Al-Baqarah: 205)
وَلاَ يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ
“Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya.” (Az-Zumar: 7)
Menurut mereka kesukaan dan keinginan merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga mustahil bila Allah tidak suka terhadap kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan untuk terjadi (mentaqdirkannya). Oleh karena itu mereka menamakan diri dengan Ahlul-‘Adl atau Al-‘Adliyyah.
Bantahan:
Asy-Syaikh Yahya bin Abil-Khair Al-‘Imrani t berkata: “Kita tidak sepakat bahwa kesukaan dan keinginan itu satu. Dasarnya adalah firman Allah
فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
“Maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali ‘Imran: 32)
Padahal kita semua tahu bahwa Allah-lah yang menginginkan adanya orang-orang kafir tersebut dan Dialah yang menciptakan mereka. (Al-Intishar Firraddi ‘Alal- Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 1/315). Terlebih lagi Allah telah menyatakan bahwasanya apa yang dikehendaki dan dikerjakan hamba tidak lepas dari kehendak dan ciptaan-Nya. Allah  berfirman:
وَمَا تَشَآءُونَ إِلاَّ أَنْ يَشَآءَ اللهُ
“Dan kalian tidak akan mampu menghendaki (jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.” (Al-Insan: 30)
وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kalian dan yang kalian perbuat.” (Ash-Shaaffaat: 96)
Dari sini kita tahu, ternyata istilah keadilan itu mereka jadikan yang merupakan bagian sebagai kedok untuk mengingkari kehendak Allah. Atas dasar inilah mereka lebih pantas disebut kelompok yang meyakini taqdir Allah  dengan Qadariyyah.
Landasan Ketiga: Al-Wa’du Wal-Wa’id, yang mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah.
Bantahan:
Bantahan pertama, Seseorang yang beramal shalih (sekecil apapun) akan mendapatkan pahalanya (seperti yang dijanjikan Allah) sebagai karunia dan nikmat dari-Nya. Dan tidaklah pantas bagi makhluk untuk mewajibkan yang, karena termasuk pelecehan terhadap Allah, demikian itu kepada Allah Rububiyyah-Nya dan sebagai bentuk keraguan terhadap firman-Nya:
إِنَّ اللهَ لاَ يُخْلِفُ الِمْيَعادَ
“Sesungguhnya Allah tidak akan menyelisihi janji (Nya).” (Ali ‘Imran: 9).
Bahkan Allah mewajibkan bagi diri-Nya sendiri sebagai keutamaan untuk para hamba-Nya.
Adapun orang-orang yang mendapatkan ancaman dari Allah karena dosa besarnya (di bawah syirik) dan meninggal dunia dalam keadaan seperti itu maka sesuai dengan kehendak Allah. Dia Maha berhak untuk melaksanakan ancaman-Nya dan Maha berhak pula untuk tidak melaksanakannya, karena Dia telah mensifati diri-Nya dengan Maha Pemaaf, Maha Pemurah, Maha Pengampun, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Terlebih lagi Dia telah menyatakan:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik (bila pelakunya meninggal dunia belum bertaubat darinya) dan mengampuni dosa yang di bawah (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa: 48) (Diringkas dari kitab Al-Intishar Firraddi ‘Alal-Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 3/676, dengan beberapa tambahan).
Bantahan kedua, Adapun pernyataan mereka bahwa pelaku dosa besar (di bawah syirik) kekal abadi di An-Naar, maka sangat bertentangan dengan firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat 48 di atas, dan juga bertentangan dengan sabda Rasulullah r yang artinya: “Telah datang Jibril kepadaku dengan suatu kabar gembira, bahwasanya siapa saja dari umatku yang meninggal dunia dalam keadaan tidak syirik kepada Allah niscaya akan masuk ke dalam al-jannah.” Aku (Abu Dzar) berkata: “Walaupun berzina dan mencuri?” Beliau menjawab: “Walaupun berzina dan mencuri.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Dzar Al-Ghifari) (Meskipun mungkin mereka masuk neraka lebih dahulu).
Landasan Keempat: Suatu keadaan di antara dua keadaan, yang mereka maksud adalah bahwasanya keimanan itu satu dan tidak bertingkat-tingkat, sehingga ketika seseorang melakukan dosa besar (walaupun di bawah syirik) maka telah keluar dari keimanan, namun tidak kafir (di dunia). Sehingga ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan (antara keimanan dan kekafiran).
Bantahan:
Bantahan pertama
, Bahwasanya keimanan itu bertingkat-tingkat, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan, sebagaimana firman Allah
وَ إِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُه زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا
“Dan jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, maka bertambahlah keimanan mereka.” (Al-Anfal: 2)
Dan juga firman-Nya:
“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” (At-Taubah: 124-125)
Dan firman-Nya:
“Supaya Dia memasukkan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan ke dalam Al-Jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dan supaya Dia menutupi kesalahan-kesalahan mereka. Dan yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar di sisi Allah.” (Al-Fath: 4)
Rasulallah bersabda: “Keimanan itu mempunyai enam puluh sekian atau tujuh puluh sekian cabang/tingkat, yang paling utama ucapan “Laa ilaaha illallah”, dan yang paling rendah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan sifat malu itu cabang dari iman.” (HR Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah)
Bantahan kedua, Atas dasar ini, pelaku dosa besar (di bawah syirik) tidaklah bisa dikeluarkan dari keimanan secara mutlak. Bahkan ia masih sebagai mukmin namun kurang iman, karena Allah masih menyebut dua golongan yang saling bertempur (padahal ini termasuk dosa besar) dengan sebutan orang-orang yang beriman, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang yang beriman saling bertempur, maka damaikanlah antara keduanya…” (Al-Hujurat: 9)
Landasan Kelima: Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, yang dimaksud dari landasan ini adalah wajibnya memberontak terhadap pemerintah (muslim) yang zalim.
Bantahan:
Memberontak terhadap pemerintah muslim yang zalim merupakan prinsip sesat yang bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri (pimpinan) di antara kalian.” (An-Nisa: 59)
Rasulullah r bersabda: “Akan datang setelahku para pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak menjalankan sunnahku, dan sungguh akan ada di antara mereka yang berhati setan namun bertubuh manusia.” (Hudzaifah berkata): “Wahai Rasulullah, apa yang kuperbuat jika aku mendapati mereka?” Beliau menjawab: “Hendaknya engkau mendengar (perintahnya) dan menaatinya, walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu diambil.” (HR. Muslim, dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman) [Untuk lebih rincinya, lihat majalah Asy-Syari’ah edisi Menyikapi Kejahatan Penguasa.
1.4. Sesatkah Mu,tazilah
Dari lima landasan pokok mereka yang batil dan bertentangan dengan Al Qur’an dan As-Sunnah itu, sudah cukup sebagai bukti tentang kesesatan mereka. Lalu bagaimana bila ditambah dengan prinsip-prinsip sesat lainnya yang mereka punyai, seperti: a) Mendahulukan akal daripada Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ Ulama, b) Mengingkari adzab kubur, syafa’at Rasulullah untuk para pelaku dosa, ru’yatullah (dilihatnya Allah) pada hari kiamat, timbangan amal di hari kiamat, Ash-Shirath (jembatan yang diletakkan di antara dua tepi Jahannam), telaga Rasulullah di padang Mahsyar, keluarnya Dajjal di akhir zaman, telah diciptakannya Al-Jannah dan An-Naar (saat ini), turunnya Allah ke langit dunia setiap malam, hadits ahad (selain mutawatir), dan lain sebagainya.
Vonis mereka terhadap salah satu dari dua kelompok yang terlibat dalam pertempuran Jamal dan Shiffin (dari kalangan shahabat dan tabi’in), bahwa mereka adalah orang-orang fasiq (pelaku dosa besar) dan tidak diterima persaksiannya. Dan engkau sudah tahu prinsip mereka tentang pelaku dosa besar, di dunia tidak mukmin dan juga tidak kafir, sedangkan di akhirat kekal abadi di dalam an-naar.
Meniadakan sifat-sifat Allah, dengan alasan bahwa menetapkannya merupakan kesyirikan. Namun ternyata mereka mentakwil sifat Kalam (berbicara) bagi Allah dengan sifat Menciptakan, sehingga mereka terjerumus ke dalam keyakinan kufur bahwa Al-Qur’an itu makhluq, bukan Kalamullah. Demikian pula mereka mentakwil sifat Istiwaa’ Allah dengan sifat Istilaa’ (menguasai).
Kalau memang menetapkan sifat-sifat bagi Allah merupakan kesyirikan, mengapa mereka tetapkan sifat menciptakan dan Istilaa’ bagi Allah?! (Lihat kitab Al-Intishar Firraddi Alal-Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, Al-Milal Wan-Nihal, Al-Ibanah ‘an Ushulid-Diyanah, Syarh Al-Qashidah An-Nuniyyah dan Ash-Shawa’iq Al-Mursalah ‘alal Jahmiyyatil-Mu’aththilah).
Betapa nyata dan jelasnya kesesatan kelompok pemuja akal ini. Oleh karena itu Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ari (yang sebelumnya sebagai tokoh Mu’tazilah) setelah mengetahui kesesatan mereka yang nyata, berdiri di masjid pada hari Jum’at untuk mengumumkan baraa’ (berlepas diri) dari madzhab Mu’tazilah. Beliau melepas pakaian yang dikenakannya seraya mengatakan: “Aku lepas madzhab Mu’tazilah sebagaimana aku melepas pakaianku ini.” Dan ketika Allah beri karunia beliau hidayah untuk menapak manhaj Ahlussunnah Wal Jamaah, maka beliau tulis sebuah kitab bantahan untuk Mu’tazilah dan kelompok sesat lainnya dengan judul Al-Ibanah ‘an Ushulid-Diyanah. (Diringkas dari kitab Lamhah ‘Anil-Firaq Adh-Dhallah, hal. 44-45).
1.5. Apa Bedanya Mu,tazilah dengan Islam Liberal
Dalam pandangan kaum muslimin, al-Qur’an diyakini sebagai firman Allah SWT yang diturunkan kepada Rasulullah SAW; yang tertulis dalam mushaf, ditransformasikan secara mutawatir dari generasi ke generasi dan membacanya terhitung sebagai ibadah.
Mu’tazilah adalah aliran rasionalis (dalam pengertian lebih mendahulukan akal dari pada wahyu) yang dikenal dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam. Secara harfiah nama Mu’tazilah berarti yang mengasingkan diri. Kebanyakan ahli sejarah sepakat bahwa aliran ini bermula dari perdebatan Washil ibn Atha’ dengan gurunya al-Hasan al-Basri tentang kedudukan pelaku dosa besar, apakah dia kafir atau tetap mukmin.
Perdebatan ini dipicu dengan statemen aliran al-Khawarij yang menggolongkan pelaku dosa besar adalah kafir dan statemen al-Murji’ah yang mengatakan bahwa mereka tetap mukmin. Sedangkan imam al-Hasan al-Basri mengatakan bahwa mereka itu adalah fasiq. Sementara Washil ibn Atha’ mengatakan bahwa kedudukan mereka bukan kafir dan bukan mukmin, tetapi berada di antara dua kedudukan (al-manzilah baina manzilatain).
Perdebatan tersebut berakhir dengan memisahkannya Washil dari halaqah gurunya dan mengasingkan dirinya (I’tazala) di salah satu sudut masjid Basra. Kemudian langkah Washil ini diikuti oleh beberapa orang. Sehingga pada akhirnya imam al-Hasan al-Basri mengatakan: “Washil telah mengasingkan diri dari kita (laqad i’tazala anna Washil)”. Maka semenjak itu Washil dan pengikutnya disebut Mu’tazilah. (Henri Shalahuddin, Mawqif Ahli l-Sunnah wa l-Jama’ah min al-Ushul al-Khamsah li l-Mu’tazilah: Dirasah Naqdiyyah (Pandangan Ahlussunah wal Jama’ah terhadap Prinsip Ushul Khamsah Mu’tazilah: Studi Kritis), skripsi s1, 1999, Fakultas Ushuluddin, Departemen Perbandingan Agama, ISID, Pondok Modern Darussalam Gontor, 121 hal, belum dipublikasikan).
Di antara pandangan Mu’tazilah yang masyhur adalah bahwa al-Qur’an merupakan firman Allah SWT; namun kedudukan al-Qur’an menurut mereka adalah makhluk, bukan azali dan qadim seperti yang diyakini oleh kaum muslimin umumnya. Pandangan ini kemudian dipaksakan menjadi madzhab resmi negara oleh dinasti Abbasyiah selama 62 tahun, dari tahun 170 H hingga tahun 232 H, yaitu pada masa-masa khilafat al-Makmun, al-Mu’tasim dan al-Watsiq.
Ribuan ulama Ahlussunnah yang menolak paham makhluknya al-Qur’an dihadapkan ke mahkamah, disiksa, dipenjara bahkan dibunuh; seperti yang menimpa Imam Ahmad ibnu Hanbal (pendiri madzhab Hanbali dalam fiqih).
Namun demikian, belum ada satupun ulama yang berani mengungkapkan bahwa Mu’tazilah telah keluar dari batasan Islam, seperti halnya kelompok Ahmadiyyah. Sebab bagaimanapun Mu’tazilah tetap mengakui kewahyuan al-Qur’an, tidak pernah meragukan kedudukan mushaf Usmani, tidak mempermasalahkan bahasa Arab sebagai mediator bahasa wahyu dan (apalagi) menganggapnya sebagai produk budaya maupun teks manusiawi seperti yang telah jamak disuarakan Islam Liberal dan diajarkan di berbagai perguruan tinggi yang terkooptasi paham liberal.
Bahkan banyak di antara pemuka Mu’tazilah yang tetap bermakmum di belakang ulama yang bermartabat, seperti al-Qadhi Abdul Jabbar (w 415H/1023M), pemuka Mu’tazilah yang bermadzhab Syafii; Muhammad ibn Abdul Wahhab ibn Salam al-Jubai, pemuka Mu’tazilah yang selalu memuliakan Khulafa’ Rasyidun penerus Nabi; Ahmad ibn Ali ibn Bayghajur (w 326H), cendekiawan Mu’tazilah di bidang ilmu bahasa Arab dan Fiqh yang terkenal kezuhudannya, menurut Ibnu Hazm juga bermadzhab Syafii.
Anehnya, Islam Liberal seringkali mengklaim bahwa paham dan aliran Islam liberal mewarisi tradisi Mu’tazilah. Apakah klaim mereka ini dipertanggungjawabkan secara ilmiah? Benarkah konsep Islam liberal tentang al-Qur’an tidak berbeda dengan Mu’tazilah?
Dimanakah perbedaan kedua konsep ini secara substantif? Bagaimanakah pemuka Mu’tazilah menafsirkan al-Qur’an? Apakah mereka juga menggunakan tafsir feminis atau menggunakan metode kritik historis seperti yang sering digunakan tokoh-tokoh liberal?
2.1 Sejarah perkembangan Syiah
Jika dikatakan Syiah sebagai bagian dari aliran Islam, ini berarti posisinya sejajar dengan aliran lain yang masing-masing memiliki peran dalam sejarah Islam. di Dalam buku “awamil dzuhur al-Firaq fi al-Fikr al-Islam” dijelaskan bahwa Syiah pada awal mula perkembangannya merupakan aliran spiritual-politik pada masa dinasti umaiyah dan Abbasiyah, dengan gamblang Syiah (pendukung Ali) telah berkecimpung dalam lega politik, sehingga daripada itu  mulailah orang-orang asing bergabung bersama aliran ini dan setia menyokong visi dan misi Syiah, hingga akhirnya Syiah disambut hangat oleh banyak orang yang kemudian tersebar diberbagai daerah kekuasaan.
Hingga sekarang aliran ini (Syiah) menambah porsi kewilayahan dalam Agama serta dijadikan sebagai sistem pemerintahan. Hal ini menandakan bahwa keberadaan serta wujud Syiah tidak dapat dipungkiri.
Dalam perkembangannya Syiah terbagi kedalam beberapa golongan, namun yang sekarang banyak dianut terdapat tiga golongan besar:
1.      Zaidiyah
Madzhab “Zaidiyah” dinisbatkan kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib.ra, golongan ini berkembang pesat di daerah Yaman, sebagai keyakinan  mereka bahwa kepemimpinan adalah hanya hak penuh bagi  keturunan Ali bin Abi Thalib r.a beserta keturunan beliau. hanya saja mereka memiliki persepsi lain yang menyatakan bahwa pemimpin boleh dua orang sekaligus dalam satu masa! mereka adalah golongan syi’ah yang paling dekat dengan pemahamam Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah.
2.      Isma’iliyah
(Mazhab Tujuh Imam) dinisbatkan kepada Ismail bin Ja’far ash-Shidiq bin Muhammad baqir. Mereka berkeyakinan bahwa imam itu hanya berjumlah tujuh orang, dan imam yang terakhir adalah Isma’il bin Ja’far. Mereka mempunyai dua pemahaman; pertama: al-Buhira yaitu pemahamam yang mengatakan bahwa imam terakhir adalah Sutan al-Buhira, pemahaman ini berkembang di kalangan syi’ah yang berada di negara India dan Yaman. Kedua : al-Najariah yaitu kelompok yang mengatakan bahwa imam terakhir adalah Karim Khan, dan mereka ini juga tersebar di India, Pakistan dan Afrika sebelah timur.
3.      Imamiyah itsna asyariyah                                                                                              Golongan ini memiliki banyak pengikut, jika dikalkulakisan hingga mencapai 70 juta orang yang tersebar di berbagai Negara, diantaranya Iran, Irak, Pakistan, India, Rusia, dan juga tersebar dikawasan Siria, dan Yaman.
Golongan ketiga ini (Syiah Imamiyah) merupakan aliran yang terdiri dari 12 Imam, berawal dari amirul mukminin Ali bin Abi Thalib.ra dan berakhir pada Abul qasim Muhammad bin Hasan (al-Mahdi). Golongan ini dinisbatkan kepada Ja’far al-Shadiq, yang menyatakan keimaman Ali bin Abi Thalib r.a yang kemudian di gantikan keturunannya secara turun-temurun, mereka berpendapat bahwa Ja’far al-Shadiq tidak pernah menyerahkan keimaman kepada puteranya yang tertua (Ismail), karena dia meninggal sebelum ayahnya (Ja’far al-Shadiq) meninggal. namun jabatan itu dipangkukan kepada puteranya yang bernama Musa al-Kadzimi yang memegang jabatan selama 30 tahun.
Imam ke-sebelas dari golongan itsna ‘asyariyah ini dijabat oleh al-Hasan bin Ali al-Asykari dan puteranya Muhammad bin Hasan yang dianggap sebagai imam terakhir, imam yang ke-duabelas ini dengan laqab al-Hadi, al-Qaim, al-Hujjah, digelari pula dengan al-Muntazhar (yang ditunggu).           
2.2 Landasan Pemikiran Syiah

Jika diteliti secara spesifik, maka akan diketahui bahwa Syiah memiliki orientasi yang membedakan dengan aliensi lain. Orientasi tersebut yang selalu didengungkan bahkan diagungkan sehingga menjadikan hal tersebut seakan berbeda dengan yang lainnya! Keluar dari tujuan kaum Syiah, bahwa sesungguhnya orientasi tersebut mengakar sebagai pemikiran yang terus menjalar. Jauh dari pada itu, pemikiran Syiah muncul dari permasalahan Furu’ (persoalan non-ushul) dalam agama, namun kemudian para pengikut akhir-akhir ini berusaha menjadikan Syiah sebagai bentuk aliran baru. Sehingga perbedaan yang muncul mulai merembet pada persoalan Ushuliah.
Pemikiran ini yang sesungguhnya telah diusung oleh Abdullah bin Saba’ yang perannya tidak dapat dinafikan dari sejarah, walaupun dari kalangan Syiah Kontemporer dan Orientalis menganggapnya sebagai kartun (mitos/cerita khayalan) dan bentuk rekayasa Muslim yang tidak ada kenyataannya.
Ibn saba’ merangkul dua orientasi utama :
1.      Ajakan terhadap Reversi (kedatangan kembali) Ali.ra ke dunia setelah wafatnya dan tentang kembalinya Rasulullah SAW, dengan berdalihkan bahwa;  “Adalah sangat mengherankan jika orang menganggap bahwa Isa.as kelak akan kembali, namun mendustakan kembalinya Muhammad SAW!. Sedang Allah berfirman : “Sesungguhnya Allah SWT  yang mewajibkan (pelaksanaan hukum-hukum) Al-Qur’an atasmu, pasti akan mengembalikanmu ke tempat kembali.” Maka dengan demikian, Muhammad lebih berhak untuk kembali ke dunia daripada Isa.as kemudian dia (Ibn Saba’) meletakkan dasar-dasar raj’ah (kehidupan kembali setelah mati) bagi mereka.
2.      Ajakannya kepada keyakinan bahwa setiap kepemimpinan adalah Wasiat, dan kepemimpinan Ali.ra adalah wasiat Rasulullah SAW untuk beliau, yang berarti bahwa Ali adalah pengganti Rasul atas ummatnya setelah beliau berdasarkan nash. 
2.3 Metode Pemikiran Syiah
Kecintaan dan ketulusan kaum Syiah terhadap Alhul Bait (Ali.ra dan Fatimah) yang berlebih-lebihan hingga menjadikan kecintaan tersebut sebagai dogma yang selalu didengungkan oleh kaumnya, dan juga timbulnya cultural (adat istiadat) kaum Syiah (yang dianggap Nyleneh oleh sebagian golongan). dua jalur ini yang nantinya membuka tabir metode pemikiran Syiah yang menjadi jalan utama dan standar bagi kehidupan mereka.
Jika ditelusuri lebih mendalam metode pemikiran Syiah terbagi atas tiga landasan penting; akidah, syariah, dan adat istiadat, ulasan dari ketiga landasan tersebut adalah:.

1.Pemikiran dari sudut akidah
a.    Kepemimpinan adalah wasiat secara Nash dalam Kitab Aqaid al-Imamiah oleh ulama Syiah  Syeikh Muhammad Ridha al-Muzaffar hal.136 dinyatakan bahwa Syiah mempercayai bahwa kepemimpinan adalah ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah melalui lisan RasulNya, dengan menyatakan:
Kami (Syiah) berkeyakinan bahwa kekhalifahan para Nabi tidak berlaku melainkan dengan nash dari Allah S. W. T atau lisan Rasul atau lisan imam yang dilantik secara nash dalam menentukan imam sesudahnya. Hukum Imamah sama seperti Nabi.kebijakan hokum hanya ditentukan oleh penerima Wasiat (dalam hal ini Ali.rs),karena dia telah mempunyai kapasitas untuk menanggung tonggak kepamimpinan. Kami mempercayai bahwa Nabi s.a.w. pernah menentukan khalifahnya dan imam di muka bumi ini selepasnya. Lalu baginda menentukan sepupunya Ali bin Abi Talib sebagai Amirul Mukmin pemegang amanah terhadap wahyu dan imam kepada semua makhluk di muka bumi ini. Beliau telah melantiknya dan mengambil baiah (janji setia) kepadanya untuk memimpin umat Islam, Ialu beliau bersabda: " Ketahuilah bahwa siapa yang aku telah menjadikannya pemimpin maka Al-ilah yang menjadi leadernya. yaTuhan, baiatlalah orang yang menjadikan Ali sebagai pemimpin dan musuhilah orang yang memusuhinya dan tolonglah orang yang menolongnya dan hinakanlah orang yang menghinanya. Berilah kebenaran kepada Ali di mana ia berada.”
Syiah mempercayai wasiat Rasulullah s.a.w. ialah untuk kepemimpinan Ali.ra Kemudian beliau mewasiatkannya kepada anaknya Hasan kemudian Husain hingga sampai kepada Imam DuaBelas Muhammad bin Hasan (al-Mahdi al-Muntazhar). Hal tersebut merupakan sunatullah kepada para Nabi utusanNya bermula Nabi Adam.as sehinggalah kepada Nabi terakhir (Muhammad SAW) yang kemudian risalah kenabian tersebut diwasiatkan kepada ahlul bait (Ali.ra dan keturunannya).
b.      Imam memiliki sifat ma’shum (terjaga dari kesalahan) dalam kitab al-Syiah Fi al-Mizan hal. 38 diterangkan bahwa Syiah meyakini bahwa para imam adalah ma’shum (terjaga) dari segala kesalahan dan dosa (dosa besar dan kecil ), mulai dari sejak lahir hingga wafat mereka (Imam) tidak pernah melakukan dosa. Syiah juga memposisikan para Imam sejajar dengan para Nabi yang bertugas menjaga kemurnian syariat dan melaksanakan hukum Allah di muka bumi. Keyakinan tersebut tertuang dalam pengakuan:
“ Ishmah ialah suatu kekuatan yang membentengi seseorang dari perbuatan dosa (maksiat dan kesalahan), dimana ia tidak melalaikan yang wajib dan tidak  melakukan yang haram sekalipun ia mampu untuk itu, jika tidak bersifat demikian niscaya ia tidak berhak mendapat pujian dan balasan. Dengan kata lain, yang dimaksudkan dengan ma’shum itu ialah mencapai puncak ketaqwaan yang tidak dicapai oleh syahwat dan nafsu. Kemudian ia telah mencapai ilmu syariat dan hukum-hukum yang sampai kepada martabat ulya (tinggi) hingga tidak melakukan kesalahan sama sekali. Syiah Imamiah mensyaratkan ketentuan tersebut kepada imam-imam secara menyeluruh sebagaimana disyaratkan kepada para wali. Syeikh Mufid berkata di dalam kitab Awail al-Maqalat bab perbincangan mengenai Imam-imam itu ma’shum; Imam-imam yang memiliki sifat-sifat ma’shum itu memiliki posisi yang sejajar dengan para Nabi dalam melaksanakan hukum-hukum dan menerapkan syariat serta membina masyarakat. Mereka adalah ma’shum sebagaimana Nabi yang bersifat ma’shum yang tidak melakukan dosa besar dan kecil, mereka juga tidak bersifat pelupa terhadap perkara ke-agamaan,  Sifat ini yangb diyakini oleh mayoritas mazhab Syiah Imamiah”.

c.         al-Bada’ (Ilmu Allah bersifat revisit sesuai dengan fenomena) al-Tabatabi dalam kitabnya al-Usul Min al-Kafi menerangkan bahwa al-Bada’ adalah munculnya sesuatu dari ketiadaan (tersembunyi), Syiah berkeyakinan bahwa Allah dapat mengetahui sesuatu perkara setelah terjadinya suatu peristiwa yang sebelumnya dianggap tersembunyi daripada-Nya. Perkara ini jelas menganggap Allah itu jahil (tidak meliputi Ilmu atas perkara yang akan terjadi).
Keyakinan itu tersimpul dalam ungkapan:
al-Bada ialah lahirnya perbuatan yang tersembunyi disebabkan tersembunyi ilmu (sebelum kejadian). maka kami maksudkan sebagai lahirnya setiap perbuatan yang sebelumnya tersembunyi (dari ilmu Allah SWT)".
Dalam pada itu Syiah beranggapan bahwa ilmu Tuhan akan berubah dan bersesuaian (bersifat revisit) sesuai dengan fenomena kehidupan manusia,dan Tuhan akan merubah kehendak-Nya terhadap sesuatu perkara sesuai dengan keadaan yang berlaku. 

d.        ar-Raj’ah (hadirnya kembali Imam Mahdi) dalam Kitab Aqaid al-Imamiah hal.83 oleh Syekh Muhammad Ridha al-Muzaffar menerangkan sesungguhnya  Syiah mempercayai bahwa Allah SWT akan menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati  ke dunia bersama Imam Mahdi untuk memfonis orang-orang yang telah melakukan kedzaliman, termasuk di dalamnya  para sahabat Rasulullah seperti Saidina Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah, Hafshah, Muawiyah dan lain-lain, Fakta ini tertuang pada penjelasan:

"Sesungguhnya pendapat Syiah Imamiah tentang Raj’ah ialah kerana mereka mengambil dari para Ahli Bait a.s., dimana Allah S WT akan mengembalikan suatu kaum yang telah mati ke dunia,  Ialu sebagian daripada golongan memuliakan satu pihak dan menghina satu pihak yang lain dan ia menunjukkan mana golongan yang benar dan mana golongan yang salah serta menunjukkan golongan yang melakukan kedzaliman. Peristiwa ini berlaku ketika bangunnya Mahdi keluarga Nabi Muhammad SAW dan tidak kembali ke dunia ini kecuali orang yang tinggi derajat imannya ataupun orang yang paling jahat. Kemudian mereka akan mati semula. Begitulah juga dengan orang-orang yang selepasnya sehinggalah dibangkitkan semula dan mereka akan menerima pahala atau siksaan."

 2. Pemikiran dari sudut Syariah

a.         Menafikan Ijma’ Ulama dalam kitab Mukhtasar al-Tuhfah al-lthna Asyariyyah, hal 51 dinyatakan bahwa  Syiah tidak menerima pemakaian ijmak ulama sebagai landasan syariat, sebagai bukti  mereka menolak (tidak menerima) pelantikan khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman, sehingga mereka berpegang kepada pendapat-pendapat Imam , kerana ijma’ mereka ada berujung kesalahan, sedangkan pendapat Imam adalah ma’shum (benar). Hal ini tercantum dalam pernyataan:
Adapun ijma’ ialah bentuk kesalahan, kerana ia merupakan hujah (Landasan) yang tidak ada asalnya. ini disebabkan adanya keputusan imam ma’shum terkandung di dalamnya. Perkara ini (Syariat) adalah berdasarkan ketetapan imam ma’shum dan bukan atas ijma’. Kema’shuman imam dan pelantikan mereka adalah sama dengan perkhabaran imam itu senditi atau perkhabaran imam ma’shum yang lain. Sesungguhnya perkara  ini telah jelas dan begitulah ijma’ generasi Islam  pertama dan kedua sebelum munculnya perselisihan di kalangan umat, juga juga disangsikan, kerana mereka telah berijma’ atas perlantikan Abu Bakar sebagai Khalifah, pengharaman kawin mut'ah, penyelewengkan al-Quran, mencegah Nabi dari menerima pusaka, merampas tebusan dari perawan dan selanjutnya terjadi perselisihan dan perpecahan di kalangan mereka, bagaimana ijma’ dijadikan sebagai hujah, apalagi dalam permasalah khilafah!!”
b.      Menolak penggunaan Qiyas
Dalam hal lain diterangkan dalam kitab Aslu al-Syiah Wa Usuluha hal 149 bahwa Syiah menolak pemakaian Qiyas dalam menentukan hukum Syar’i, karena Qiyas akan merubah dan merusak hukum asli (agama), hal ini tersurat dalam pernyataan:
bahawasanya Syiah Imamiah tidak beramal dengan Qyias dan sesungguhnya ia telah menjadi ketetapan di sisi imam-imam mereka. Sesungguhnya syariat apabila diqiyaskan akan merusak agama dan akan menjadikan kerusakan amal dengan menggunakan qias itu.”

c.         Pembolehan nikah Mut’ah dalam Kitab al-Nihayah Fi Mujarrad al-Fiqh Wa al-Fatawa hal 489 dinyatakan bahwa Syiah masih menyemai amalan nikah Mut'ah yang pernah dibolehkan pada permulaan Islam dalam keadaan dan masa tertentu. Mereka masih mengamalkan nikah ini sampai sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa mereka menolak pemansukhan syariat tersebut (nikah mut’ah). Mereka berpendapat bahwa nikah Mut'ah adalah diharuskan di dalam syariat Islam. Pernyataan tersebut adalah:
Nikah mutah adalah dibolehkan dalam syariat Islam sebagaimana kami menyebutnya dari akad seseorang lelaki kepada seorang perempuan dengan tempo waktu tertentu  dan dengan mahar tertentu. syarat-syarati nikah Mut'ah ialah akad, tempo dan mahar. Dalam nikah Mut'ah ditetapkan tempo tertentu yang disepakati oleh keduanya, dengan tempo setahun atau sebulan atau sehari.”
2.4  Pemikiran dari sudut adat istiadat
Adat istiadat yang dimaksudkan adalah suatu ritual yang dilakukan oleh golongan Syiah sebagai aplikasi atas dogma yang mereka yakini. Secara tidak langsung ritual tersebut tidak diterima oleh golongan lain. Terdapat beberapa ritual yang masih ramai di rayakan oleh mereka, diantara ritual tersebut adalah:


1.      Berziarah ke makam Husain
Syiah mendakwakan bahwa barang siapa yang mengunjungi makam Husain maka dia akan masuk surga, seperti yang tertera dalam kitab al-Irsyad hal 252 yang menyatakan:
barangsiapa  yang menziarahi makam Husain setelah wafatnya niscaya dia akan masuk surga"



2.      Upacara 10 muharram (hari asyura)
Dijelaskan bahwa Golongan Syiah mengadakan upacara pemukulan dada dan menyiksa tubuh mereka pada ssaat 10 Muharram sebagai tanda kesedihan atas kematian  Husain.dalam ritualnya ada diantara mereka yang memukul dengan rantai besi ke atas bahu, mengetuk kepala dengan pedang dan menyiksa badan pada hari kesepuluh Muharam sebagai hari berkabung atas kematian Husain. Perkara ini dinyatakan dalam Kitab al-Syiah Wa al-Tashih al-Shira', Baina al-Syiah Wa al-Tasyayyu' hal. 98:
Ritual yang masyhur ini sentiasa diadakan sebagai satu bagian dari musim-musim perayaan atas  kematian syahid Saidina Husain. Amalan ini berlaku di Iran, Pakistan, India dan sebagian di negara Libanon pada setiap tahun. Tragedy tersebut menjadikan  pertumpahan darah antara Syiah dan Ahli Sunnah di beberapa tempat. di Pakistan menyebabkan ratusan nyawa yang tidak bersalah menjadi korban atas  pertikaian tersebut. Syiah mengadakan perayaan pada hari Asyura semenjak dahulu. Selain daripada itu bacaan ziarah yang banyak disenandungkan dari para pujangga yang membacakan beberapa qasidah di hadapan kubur, semisal penyair Arab yang bernama Syarif Reda saat menyampaikan qasidahnya yang mulia di hadapan kubur Husain yang diawali dengan senandung "Karbala sentiasa kamu berada di dalam kesusahan…hingga sampai pada bait:
"Berapa ramai orangyang telah berperang di atas tanah ini, sehingga darah  mengalir berkucuran dan mereka telah terbunuh." Penyair tersebut menangis dan ritual sebagai akibat penyesalan.yang pastinya  bahwa Imam-imam Syiah merayakan hari kesepuluh Muharram, mereka duduk di rumah-rumah dengan menerima ucapan ta’ziah dari orang-orang yang memberikan ta’ziah dan mereka mengadakan majlis jamuan pada hari itu. Imam mereka memberi khutbah dan qasidah untuk mengingat syahidnya Saidina Husain dan Ahli Bait Rasulullah SAW.

3.      Jama’ shalat dalam keadaan mukim
Berasas pada keputusan imam ma’shum pelaksanaan Shalat lima (Shubuh, Zhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya’) dilakukan pada tiga waktu; Subuh, Zhuhur dan Ashar di waktu Ashar, Maghrib dan Isya’ di waktu Isya’. Jama’ shalat tersebut dilakukaan baik pada waktu bepergian ataupun ketika Mukim. Perkara ini dinyatakan dalam kitab Fiqih Lima Mazhab di antara Nas dan Ijtihad” hal 36 yang menerangkan:
Ja'fari: Harus menjamakkan diantara shalat Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya' baik dilakukan pada saat musafir ataupun hadir tanpa  sebab apapun”.

4.      Imamah dan Khilafah bagian dari rukun islam
Syiah mendakwakan bahwa Imamah adalah bagian dari rukun Islam yang harus menjadi pijakan bagi muslim, jika diruntut maka rukun Islam menurut Syiah; Shalat, Zakat, Puasa, Haji, Wilayah (Imamah).hal ini diperjelas dalam ketetapan:
Ja'fari: Imamah dan Khilafah bagian dari rukun Islam dan lianya berlaku melalui nash”.



BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Sebagai simpulan akhir dari pembahasan Pemikiran Mu’tazilah:
  • Mu’tazilah adalah aliran yang secara garis besar sepakat dan mengikuti cara pandang Washil bin ‘Atha’ dan ‘ Amru bin Ubaid dalam masalah-masalah teologi, atau aliran teologi yang akar pemikirannya berkaitan dengan pemikiran Washil bin ‘Atha’ dan ‘ Amru bin Ubaid.
  • Mu’tazilah merupakan aliran teologis dalam Islam yang bercorak rasional, dan berpandangan bahwa nash (wahyu) sejalan dengan rasio akal manusia. Namun dalam perjalanan sejarahnya, mereka banyak terpengaruh dengan metode-metode filsafat asing, sehingga hampir saja membawa mereka kepada sikap “ekstrim” dalam menggunakan logika. Sikap “nyaris ekstrim” ini yang berpengaruh dan tampak dalam ide-ide teologis mereka, dan sampai pada titik klimaksnya menimbulkan fitnah besar di dalam perjalanan sejarah umat Islam, yang diistilahkan Mihnah.
  • Mu’tazilah muncul dengan latar belakang kasus hukum pelaku dosa besar yang telah mulai diperdebatkan oleh Khawarij dan Murji’ah. Mereka tidak mengatakan pelaku dosa besar itu kafir dan tidak juga mukmin, melainkan fasik. Dan jika dia meninggal dalam kondisi belum bertaubat maka dia berada di sebuah tempat antara posisi orang mukmin dan orang kafir, yang diistilahkan dengan al-manzilah baina al-manzilatain. Pada sisi lain dalam perkembangannya mereka juga masuk ke ladang kasus yang diperdebatkan Qadariyah dan Jabariyah tentang hakikat perbuatan manusia dan kaitannya dengan takdir Tuhan.
  • Penghargaan yang tinggi terhadap akal dan logika menyebabkan timbul banyak perbedaan pendapat di kalangan Mu’tazilah sendiri, namun ide-ide teologis mereka disatukan dalam beberapa hal pokok, yang dikenal dengan al-Ushul al-Khamsah: Tauhid (Keesaan), Al-’Adl (Keadilan), Al-Wa’du wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman), Al-Manzilah Baina al-Manzilatain (Satu Tempat diantara Dua Tempat), Al-Amru bi al-Ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-Munkar (Menegakkan yang Makruf dan Melarang Kemunkaran)
  • Dengan memahami lima hal pokok tersebut, penulis nilai kita tidak bisa menghukum kafir kaum Mu’tazilah. Dan memang kita tidak bisa menggeneralisasi hukum terhadap Mu’tazilah, tapi harus dilihat di setiap permasalahan yang diangkatkannya, sehingga kita pun tidak terjebak ke dalam sikap “nyaris ekstrim” ketika menghukum sebuah kelompok, yang penulis yakini akan membawa dampak negatif.
  • Dengan kekayaan pembahasan logikanya, Mu’tazilah telah memberikan banyak masukan terhadap kekayaan khazanah keislaman. Artinya kita tidak bisa menutup mata rapat-rapat terhadap kontribusi mereka itu, tapi juga bukan berarti menghilangkan nalar kritis terhadap ide-ide pemikirannya. Sebagaimana yang dilakukan Imam Syatibi dalam metode Maqashid Syari’ah, atau Muhammad Abduh dalam ide-ide pembaharuannya, dan tokoh-tokoh lainnya.
Sebagai simpulan akhir dari pembahasan Pemikiran Syiah:
Dari paparan diatas telah jelas bahwa Syiah memiliki identitas dalam Islam yang sejalan dengan perkembangan Islam, yang hingga sampai detik ini Syiah masih tetap menjadi bagian dari Islam dan bahkan menjadi  sistem resmi pemerintahan Iran. Akhirnya wawasan yang ada semoga menjadi bahan perbandingan dalam mencapai keutuhan dan kebijaksanaan dalam menilai segala sesuatu..
Wallahu a’lam bish-Shawab


DAFTAR PUSTAKA
Al-Badawi, Abdurrahman, Madzahib al-Islamiyyin, Beirut: Darul ‘Ilm li al-            Malayin, 1983.
Al-Gharabi, Ali Mushtafa, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah, Mesir: Maktabah wa          Mathba’ah Muhammad Ali Shabih wa Awladih, tt.
Al-Syahrastani, Muhammad bin Abdul Karim, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar     al-Kutub al-Ilmiyah, tt.
Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, Jakarta: Bulan Bintang, 1997.
Hanafi, A., M.A., Pengantar Theology Islam, Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1995.
Jarullah, Zuhdi, al-Mu’tazilah, Beirut: Al-Ahliyah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1974.
Nasution, Harun, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan,        Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986.
Salim, Abdurrahman, Al-Mu’tazilah, Mausu’ah al-Firaq wa al-Madzahib fi al-        ’Alam al-Islami, Kairo: al-Majilis al-A’la li al-Syu’un al-Islamiyah, 2007.
Shadiq, Hasan, Judzur al-Fitnah fi al-Firaq al-Islamiyah, Kairo: Maktabah   Madbuli, 1993.
 Muhammad Abdul Karim al-Syahrustan “al-Milal wa al-Nihal”, penerbit dar al-Ma’rifah, Beirut, Lubnan.
Abdul qadir bin Thahir al-Baghdadi “al-Farqu baina al-Firaq”, penerbit dar-al Ma’rifah,Beirut, Lubnan.
Mahdi Imbirisy “fii isykaliyat al-Masyru’ wa al-Masyru’ al-Islami”, jilid 2 cetakan pertama, dar al-Multaqa, Beirut, Lubnan
Prof.Dr.Mas’ud Abdullah Khalifah al-Wazni “ ‘awamil dzuhur al-Firaq fi al-Fikr al-Islam” cetakan pertama, jam’iyah al-Dakwah al-Islamiyah, Tripoli, Libya.
Dr. Ali Muhammad al-Shalaby “al-Shira’ baina Ahli al-Sunnah wa al-Rafidhah”, al-maktabah al-‘ashriyah, Beirut, Lubnan.
Abu Ja'afar bin Ya'kub bin Ishak al-Kulaini al-Razi “ al-Usul Min al-Kafi”.
Muhammad bin Muhammad bin Nu'man al-'Askibri al-Baghdadi al-Mulaqqab Bi al-Syeikh al-Mufid “al-lrsyad”.
Dr. Musa al-Musawi “al-Syiah Wa al-Tashih al-Sira' Baina al-Syiah Wa al- Tasyayyu”.
Muhammad Jawad Mughniah “al-Syiah Fi al-Mizan”.
Rujukan berbahasa Indonesia
Prof.Dr. Muhammad Amhazun “ Fitnah Kubro”,cetakan pertama, penerbit LP2SI al-Haramain, Jakarta.
Prof.Dr. H. Asjmuni Abdurrahman “Manhaj Tarjih Muhammadiyah”, cetakan IV, penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Rujukan Internet
www.islam.gov.my/e-rujukanPenjelasan terhadap Fahaman Syiah”.
www.nasution.multiply.com “sekilas tentang Syiah dan pemahamannya”.
  www.hakekat.comHakekat tersembunyi Syiah Imamiyah”.
 www.abusalma.wordpress.comAbdullah bin Saba’ Tokoh Yahudi “Pencipta” golongan Syiah”.

Comments

Popular posts from this blog

Khutbah Jumat Bahasa Bugis

Khutbah Bahasa Bugis

Khutbah Idul Adha Versi Bahasa Bugis