PEMIKIRAN AL-KHAWARIJ DAN AL-MURJI’AH


BAB I
PENDAHULUAN

            Khawarij secara bahasa diambil dari Bahasa Arab khowaarij, secara harfiah berarti mereka yang keluar. Istilah khawarij adalah istilah umum yang mencakup sejumlah aliran dalam islam yang pada awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib lalu menolaknya. Pertama kali muncul pada pertengahan abad ke-7, berpusat di daerah yang kini terletak di bagian negara Irak Selatan dan merupakan bentuk yang berbeda dari kaum sunni dan syiah. Disebut atau dinamakan khowarij karena keluarnya merekan dari dinul islam dan pemimpin kaum muslimin.
            Awal keluarnya mereka adalah pada zaman pemerintahan  kholifah Ali bin Abi Thalib ketika terjadi musyawarah antara dua utusan. Kedua utusan tersebut berkumpul dalam suatu tempat yang disebut Khouro (suatu tempat yang terdapat di daerah kuffah), oleh karena itu mereka disebut dengan sebutan Khoruriyyah. Dalam perundingan ini kemudian tejadilah suatu kesepakatan damai diantara kedua belah pihak atas sebuah perselisihan pendapat antara Mu’awiyah dan Ali mengenai permasalahan siapa yang harus bertanggung jawab atas pembunuhan Utsman sehingga menyebabkan perang Siffin. Dalam perjanjian damai ini, kaum khawarij menunjukkan jati dirinya dengan keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib dan menganggapnya Ali dan Mu’awiyah sebagai kafir, sehingga mereka merencanakan membunuh mereka berdua, namun hanya Ali yang berhasil mereka bunuh.
            Secara umum, ajaran-ajaran pokok golongan ini adalah kaum muslimin yang berbuat dosa besar adalah kafir. Kemuidan, kaum muslimin yang terlibat dalam perang jamal, yakni perang antara Aisyiah, Thalhah, dan dan Zubair melawan Ali bin Abi Thalib dihukumi kafir. Khalifah harus dipilih rakyat serta tidak harus dari keturunan Nabi Muhammad SAW dan tidak mesti keturunan Quraisy. Jadi, seorang muslim dari golongan manapun bisa menjadi kholifah asalkan mampu memimpin dengan benar.
            Dalam upaya kafir mengkafirkan ini, terdapat suatu golongan yang menolak ajaran kaum Khawarij yang mengkafirkan orang mukmin yang melakukan dosa besar. Sehingga mereka membentuk sautu golongan yang menolak ajaran pengkafiran tersebut, golongan ini disebut dengan golangan Murji’ah.
            Aliran Murji’ah muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya “kafir mengkafirkan” terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal ini dilakukan oleh aliran Khawarij. Aliran ini menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu dihadapan Tuhan, karena hanya Tuhanlah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar, masih dianggap mukmin dihadapan mereka.
            Faham aliran Murji’ah bisa diketahui dari makna yang terkandung dalam “Murji’ah” dan dalam sikap netralnya. Pandangan “netral” tersebut, nampak pada penamaan aliran ini yang berasal dari kata “arja’a”, yang berarti “orang yang menangguhkan”, mengakhirkan dan “memberi pengharapan”. Menangguhkan berarti “menunda soal siksaan seseorang ditangan Tuhan, yakni jika Tuhan mau memaafkan, dia akan langsung masuk surga. Jika sebaliknya, maka akan disiksa sesuai dengan dosanya.
Istilah “memberi harapan” mengandung arti bahwa, orang yang melakukan maksiat padahal ia seorang mukmin, imannya masih tetap sempurna. Sebab, perbuatan maksiat tidak mendatangkan pengaruh buruk terhadap keimanannya, sebagaimana halnya perbuatan taat atau baik yang dilakukan oleh orang kafir, tidak akan mendatangkan faidah terhadap kekufurannya. Mereka “berharap” bahwa seorang mukmin yang melakukan maksiat, ia masih dikatakan mukmin.
Berdasarkan itu, maka inti faham Murji’ah adalah, Iman ialah mengenal Allah dan Rasulnya, barangsiapa yang tidak mengenal bahwa “tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai Rasul-Nya”, ia mukmin sekalipun melakukan dosa. Amal perbuatan bukan merupakan bagian dari iman, sebab iman adanya dalam hati. Sekalipun melakukan dosa besar, tidaklah akan menghapus iman seseorang, tetapi terserah Allah untuk menentukan hukumnya.[5]
            Berdasarkan uraian secara umum mengenai latar belakang eksistensi aliran Khawarij dan Murji’ah di atas, maka tim penulis tertarik untuk membahas mengenai apa dan bagaimana sebenarnya perkembangan kedua golongan tersebut dengan lebih terperinci pada Bab dan Sub Bab berikutnya.

            Kemudian, guna menghindari terjadinya perluasan dan pelebaran masalah dalam pembahasan makalah ini, maka tim penulis menyusun batasan-batasan masalah sebagai berikut :
  1. Membahas apa latar belakang dan bagaimana asal-usul kemunculan golongan Khawarij dan Murji’ah.
  2. Membahas apa sajakah doktrin-doktrin yang dianut oleh golongan Khawarij dan Murji’ah.
  3. Membahas bagaimanakah perkembangan dan eksistensi sekte-sekte dari golongan Khawarij dan Murji’ah dalam sejarah dunia Islam.
  4. Membahas lebih jauh serta memberikan kesimpulan akhir tentang perbandingan antara aliran Khawarij dan Murji’ah.
            Dengan demikian, berdasarkan Latar Belakang Masalah dan Batasan Masalah yang telah tim penulis uraikan di atas, maka tim penulis dapat merumuskan masalahnya sebagai berikut :
“Bagaimanakah proses perkembangan dan eksistensi golongan khawarij dan murji’ah, serta faham-faham mereka dalam membentuk dua golangan yang berbeda”.


BAB II
PEMBAHASAN

A. AL – KHAWARIJ

            Secara etimologis kata Khawarij berasal dari bahasa Arab kharaja yang berarti keluar, muncul, timbul, atau memberontak. Berdasarkan etimilogis pula, Khawarij juga berarti setiap muslim yang ingin keluar dari kesatuan umat islam.
Dalan terminologi Ilmu Kalam, yang dimaksud dengan Khawarij adalah suatu sekte atau kelompok atau aliran pengikut Ali bin Abi Thalib  yang keluar meninggalkan barisan karena ketidak sepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim) dalam perang siffin pada tahun 37 H/ 648 M dengan kelompok bughat (pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khalifah. Menurut Ibnu Abi Bakar Ahmad Al-Syahrastani,  bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang yang keluar dari imam yang telah disepakati para jama’ah, baik ia keluar pada masa khulafaurrasyidin, atau pada masa tabi’in secara baik-baik.
            Pengikut Khawarij, pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Kehidupannya di padang pasir yang serba tandus, menyebabkan mereka bersifat sederhana, baik dalam cara hidup maupun dalam cara berfikir. Namun, sebenarnya mereka keras hati, berani, bersikap merdeka, tidak bergantung kepada orang lain, dan cenderung radikal. Karena watak keras yang dimiliki oleh mereka itulah, maka dalam berfikir dan memahami agama mereka pun berpandangan sangat keras.,
Pada masa-masa perkembangan awal Islam, persoalan-persoalan politik memang tidak bisa dipisahkan dengan persoalan-persoalan teologis. Sekalipun pada masa-masa Rasulullah masih hidup, setiap persoalan tersebut bisa diselesaikan tanpa memunculkan perbedaan pendapat yang berkepanjangan di kalangan para sahabat. Setelah Rasulullah wafat, dan memulainya penyebaran Islam ke seluruh pelosok jazirah Arab dan luar Arab persoalan-persoalan baru pun bermunculan di berbagai tempat dengan bentuk yang berbeda-beda pula. Sehingga, munculnya perbedaan pandangan di kalangan ummat Islam tidak bisa dihindari.
1. Latar Belakang Kemunculan Khawarij
            Awal mulanya kaum Khawarij adalah suatu gerakan kaum muslimin dalam bidang politik yang kemudian beralih pada bidang teologi. Mereka adalah orang-orang yang mendukung Sayyidina Ali. Akan tetapi akhirnya mereka membencinya karena dianggap lemah dalam menegakkan kebenaran, menerima tahkim yang sangat mengecewakan, sebagaimana mereka membenci Mu’awiyah karena melawan Sayyidina Ali sebagai khalifah yang sah. Mereka menyatakan konfrontasinya dengan fihak Mu’awiyah. Mereka juga menuntut agar Sayyidina Ali mengakui kesalahannya karena mau menerima tahkim. Jika Sayyidina Ali mau bertaubat, maka mereka bersedia untuk bergabung kembali kebarisan Ali untuk melawan Mu’awiyah. Namun bila tidak, orang-orang khawarij akan menyatakan perang kepadanya dan kepada Mu’awiyah.
            Kemudian awal mula penyebab kemunculan kaum Khawarij adalah kekecewaan mereka terhadap keputusan Ali yang menerima tahkim yang sangat mengecewakan dan berbau kelicikan dari Mu’awiyah. Sehingga Sayyidina Ali mendapatkan kekalahan dalam perang Siffin. Namun karena Ali menerima perjanjian damai yang ditawarkan oleh pihak Mu’awiyah, maka Sayyidina Ali berbalik memperoleh kekalahan yang seharusnya mereka dapatkan dan telah berada di depan mata.
            Ali sebenarnya telah mencium kelicikan di balik ajakan damai kelompok Mu’awiyah sehingga ia bermaksud untuk menolak permintaan itu. Namun karena desakan sebagian pengikutnya, terutama ahli qurra seperti Al-Asy’at bin Qois, Mas’ud bin Fudaki At-Tamami, dan Zaid bin Husein Ath-Tha’i, dengan sangat terpaksa Ali memerintahkan komandan pasukan perang untuk menghentikan peperangan.
            Setelah menerima ajakan damai tersebut, Mu’wiyah mengirimkan Amr bin Al-Asy sebagai utusannya untuk melakukan perundingan perdamaian. Demikian juga Ali yang mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru damainya, namun orang-orang Khawarij  menolaknya. Mereka beralasan bahwa Abdullah bin Abbas berasal dari golongan Ali sendiri. Sehingga pada akhirnya Ali mengirimkan Abu Musa Al-Asy’ari sebagi delegasi juru damainya, dengan harapan dapat memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah.
            Keputusan dari tahkim yang dilakukan oleh pihak Ali dan Mu’awiyah mengakibatkan diturunkannya Ali dari jabatan Khalifah, dan Mu’awiyah diangkat sebagai khalifah sebagai pengganti Ali. Hasil tahkim yang di umumkan ini tidak lepas dari adanya kecurangan dan tipu muslihat dari pihak Mu’awiyah yang menyelewengkan hasil kesepakatan tahkim yang dilakukan secara tertutup dari kaum muslimin. Dengan menerimanya Ali dengan hasil tahkim yang penuh dengan kecurangan dan mengecewakan ini, kontan membuat orang-orang Khawarij kecewa dan menyatakan diri untuk keluar dari barisan Ali karena menganggap Ali tidak menggunakan hukum Allah dalam mengambil keputusan. Sehingga menyebabkan sebutan kafir bagi Ali dan Mu’awiyah, serta mereka kontan memberikan pernyataan perang melawan keduanya.
            Setelah orang-orang Khawarij menyatakan keluar dari golongan Ali, kemudian dengan jumlah pengikut sekitar 12.000 orang mereka pergi menuju Hurura. Oleh sebab itu mereka disebut juga dengan nama Hururiyah. Dalam perjalanan ke Hurura mereka dipandu oleh Abdullah Al-Kiwa. Dan di hurura inilah mereka melanjutkan perlawanan mereka terhadap Ali dan Mu’awiyah dengan mengangkat seorang pemimpin yang bernama Abdullah bin Shahab Ar-Rasyibi.
2. Doktrin-doktrin Pokok Khawarij
            Pada masa sebelum terjadinya perpecahan di kalangan Khawarij, mereka memiliki tiga pokok pendirian yang sama, yakni : Ali, Usman, dan orang-orang yang ikut dalam peperangan serta orang-orang yang menyetujui terhadap perundingan Ali dan Muawiyah, dihukumkan orang-orang kafir.
Setiap ummat Muhammad yang terus menerus melakukan dosa besar hingga matinya belum melakukan tobat, maka dihukumkan kafir serta kekal dalam neraka.
Membolehkan tidak mematuhi aturan-aturan kepala negara, bila kepala negara tersebut khianat dan zalim.
Ada faham yang sangat fundamental dari kaum Khawarij yang timbul dari watak idealismenya, yaitu penolakan mereka atas pandangan bahwa amal soleh merupakan bagian essensial dari iman. Oleh karena itu, para pelaku dosa besar tidak bisa lagi disebut muslim, tetapi kafir. Demikian pula halnya, dengan latar belakang watak dan karakter kerasnya, mereka selalu melancarkan jihad (perang suci) kepada pemerintah yang berkuasa dan masyarakat pada umumnya.
Sebenarnya, menurut pandangan Khawarij, bahwa keimanan itu tidak diperlukan jika masyarakat dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Namun demikian, karena pada umumnya manusia tidak bisa memecahkan masalahnya, kaum Khawarij mewajibkan semua manusia untuk berpegang kepada keimanan, apakah dalam berfikir, maupun dalam segala perbuatannya. Apabila segala tindakannya itu tidak didasarkan kepada keimanan, maka konsekwensinya dihukumkan kafir.
            Dengan mengutip beberapa ayat Al-Quran, mereka berusaha untuk mempropagandakan pemikiran-pemikiran politis yang berimplikasi teologis itu, sebagaimana tercermin di bawah ini :
  1. Mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar; sedangkan Usman dan Ali, juga orang-orang yang ikut dalam “Perang Unta”, dipandang telah berdosa.
  2. Dosa dalam pandangan mereka sama dengan kekufuran. Mereka mengkafirkan setiap pelaku dosa besar apabila ia tidak bertobat. Dari sinilah muncul term “kafir” dalam faham kaum Khawarij.
  3. Khalifah tidak sah, kecuali melalui pemilihan bebas diantara kaum muslimin. Oleh karenanya, mereka menolak pandangan bahwa khalifah harus dari suku Quraisy.
  4. Ketaatan kepada khalifah adalah wajib, selama berada pada jalan keadilan dan kebaikan. Jika menyimpang, wajib diperangi dan bahkan dibunuhnya.
  5. Mereka menerima Alquran sebagai salah satu sumber diantara sumber-sumber hukum Islam.
  6. Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, dan Ustman) adalah sah, tetapi setelah tahun ke-7 kekhalifahannya Utsman r.a. dianggap telah menyeleweng.
  7. Khalifah Ali adalah sah, tetapi setelah terjadi arbitras (tahkim) ia dianggap telah menyeleweng.
  8. Mu’awiyah dan Amr bin Al-Asy dan Abu Musa Al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir.
            Selain pemikiran-pemikiran politis yang berimplikasi teologis, kaum Khawarij juga memiliki pandangan atau pemikiran (doktrin-doktrin) dalam bidang sosial yang berorientasi pada teologi, sebagaimana tercermin dalam pemikiran-pemikiran sebagai berikut :
  1. seorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim, sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkis lagi, mereka menganggap seorang muslim bisa menjadi kafir apabila tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan resiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula,
  2. Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka, bila tidak ia wajib diperangi karena dianggap hidup di negara musuh, sedangkan golongan mereka dianggap berada dalam negeri islam,
  3. Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng,
  4. Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk kedalam surga, sedangkan orang yang jahat harus masuk neraka),
  5. Amar ma’ruf nahi munkar,
  6. Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari tuhan,
  7. Qur’an adalah makhluk,
  8. Memalingkan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat mutasyabihat (samar).

            Bila dianalaisis lebih mendalam, ternyata doktrin yang dikembangkan oleh kaum Khawarij dapat dikategorikan kedalam tiga kategori, yakni politik, teologi, dan sosial. Dari ketiga doktrin tersebut, doktrin sentral aliran Khawarij adalah terletak pada bidang politik. Hal ini terbukti bahwa mereka memiliki pemikiran yang radikal dalam bidang politik. Namun, dari sifat yang radikal tersebut membuat mereka menjadi fanatik dalam manjalankan agama. Sehingga dapat dikatakan bahwa orang Khawarij adalah orang yang bersifat keras dalam menjalankan ajaran agama. dapat diasumsikan pula bahwa orang Khawarij cenderung berwatak tekstualis yang menjadikan mereka menjadi bersifat fundamentalis. Namun berbeda pada pemikiran di bidang sosial, pemikiran yang cenderung bersifat tekstual dan fundamentalis cenderung tidak terasa. Jika teologis seperti ini benar-benar merupakan pemikiran Khawarij, maka dapat dismpulkan bahwa kaum ini adalah kaum yang berasal dari orang yang baik-baik. Hanya saja keberadaan mereka sebagai kelompok minoritas yang pendapat dan pemikirannya diabaikan bahkan dikucillkan oleh para penguasa yang membuat mereka menjadi bersikap ekstrim.
3. Sekte-sekte Khawarij
            Munculnya banyak cabang dan sekte Khawarij ini diakibatkan banyaknya perbedaan dalam bidang akidah yang mereka anut dan banyaknya nama yang mereka pergunakan sejalan dengan perbedaan akidah mereka yang beraneka ragam itu. Asy-syak’ah menyebutkan adanya delapan firqah besar, dan firqah-firqah ini terbagi lagi menjadi firqah-firqah kecil yang jumlahnya sangat banyak. Perpecahan ini menyebabkan gerakan kaum Khawarij lemah, sehingga mereka tidak mampu menghadapi kekuatan militer Bani Umayyah yang berlangsung bertahun-tahun. Menurut Syahrastani ada 8 sekte terbesar dalam Khawarij, Sekte-sekte Khawarij tersebut antara lain, Al-Muhakkimah, Al-Azariqoh, Al-Nadjat, Al-Baihasiyyah, Al-Sa’alibah, Al-Ibadiah, Al-Sufriyah.
            Menurut Prof. Taib Thahir Abdul Mu’in, bahwa sebenarnya ada dua golongan utama yang terdapat dalam aliran Khawarij, yakni :
a. Sekte Al-Azariqoh
            Nama ini diambil dari Nafi Ibnu Al-Azraq, pemimpin utamanya, yang memiliki pengikut sebanyak dua puluh ribu orang. Di kalangan para pengikutnya, Nafi digelari “amir al-mukminin”. Golongan al-azariqoh dipandang sebagai sekte yang besar dan kuat di lingkungan kaum Khawarij.
            Dalam pandangan teologisnya, Al-Azariqoh tidak menggunakan term kafir, tetapi menggunakan term musyrik atau politeis. Yang dipandang musyrik adalah semua orang yang tidak sepaham dengan ajaran mereka. Bahkan, orang Islam yang tidak ikut hijrah kedalam lingkungannya, dihukumkan musyrik.
            Karena kemusyrikannya itu, kaum ini membolehkan membunuh anak-anak dan istri yang bukan golongan Al-Azariqoh. Golongan ini pun membagi daerah kekuasaan, yakni “dar al-Islam” dan “dar al-kufur”. Dar al-Islam adalah daerah yang dikuasai oleh mereka, dan dipandang sebagai penganut Islam sebenarnya. Sedangkan Dar al-Kufur merupakan suatu wilayah atau negara yang telah keluar dari Islam, karena tidak sefaham dengan mereka dan wajib diperangi.
b. Sekte Al-Ibadiah
            Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat dari seluruh sekte Khawarij. Nama golongan ini diambnil dari Abdullah Ibnu Ibad, yang pada tahun 686 M. memisahkan diri dari golongan Al-Azariqoh.
           Adapun faham-fahamnya yang dianggap moderat itu, antara lain :
  1. Orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukan pula musyrik, tetapi kafir. Orang Islam demikian, boleh mengadakan hubungan perkawinan dan hukum waris. Syahadat mereka diterima, dan membunuh mereka yang tidak sefaham dihukumkan haram.
  2. Muslim yang melakukan dosa besar masih dihukumkan ‘muwahid’, meng-esa-kan Tuhan, tetapi bukan mukmin. Dan yang dikatakan kafir, bukanlah kafir agama, tetapi kafir akan nikmat. Oleh karenanya, orang Islam yang melakukan dosa besar tidak berartyi sudah keluar dari Islam.
  3. Harta kekayaan hasil rampasan perang yang boleh diambil hanyalah kuda dan senjata. Sedangkan harta kekayaan lainnya, seperti emas dan perak, harus dikembalikan kepada pemiliknya.
  4. Daerah orang Islam yang tidak sefaham dengan mereka, masih merupakan “dar at-tauhid”, dan tidak boleh diperangi.

B. AL – MURJI’AH
            Murji’ah diambil dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a mengandung pula arti memberi pengharapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pangampunan dan rahmat Allah SWT. Selain itu arja’a berarti pula meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu Murji’ah  artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Mu’awiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak.
1. Asal-usul Kemunculan Murji’ah
            Aliran Murji’ah muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya “kafir mengkafirkan” terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal ini dilakukan oleh aliran Khawarij.
            Aliran ini menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu dihadapan Tuhan, karena hanya Tuhanlah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar, masih dianggap mukmin dihadapan mereka.
            Rohison Anwar dan Abdul Razak, dalam bukunya mengatakan bahwa ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja atau arja dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari sektarianisme. Kelompok ini diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syi’ah dan Khawarij.
            Dilain fihak, gagasan irja’ diperkirakan muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang dibawa oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiah sekitar pada tahun 695M. Dalam teori ini dikisahkan bahwa 20 tahun setelah kematian Muawiyah dunia islam dikoyak oleh pertikaian sipil karna telah terjadi perpecahan umat. Menanggapi hal ini Al-Hasan kemudian memberikan sikap politik sebagai upaya penanggulangan perpecahan uma islam tersebut, sehingga kemudian ia mengelak berdampingan dengan kelompok Syi’ah revolusioner yang dibawa oleh Al-Mukhtar, yang terlampau mengagungkan Ali dan para pengikutnya, serta menjauhkan diri dari kaum Khawarij yang menolak kekhalifahan Mu’awiyah dengan alasan bahwa ia adalah keturunan dari pendosa.
            Teori lain mengatakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan Mu’awiyah, dilakukan lah tahkim atas usulan Amr bin Asy, seorang kaki tangan Mu’awiyah. Pada saat itu kelompok ali terpecah menjadi dua kelompok besar, yaitu kelompok yang mendukung dan menentang Ali.  Kelompok yang menentang Ali pada akhirnya keluar dan membentuk sebuah kelompok bernama Murji’ah. Golongan yang keluar dari barisan Ali ini menganggap bahwa keputusan tahkim tidak berdasarkan hukum Allah, melainkan bertentangan dengan Al-Qur’an. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar, dan pelakunya dapat dihukumi kafir. Pendapat ini ditentang oleh sekelompok sahabat yang kemudian disebut dengan Murji’ah, yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah Allah akan mengampuninya atau tidak.
2. Doktrin-doktrin Pokok Murji’ah
            Doktrin-doktrin aliran Murji’ah bisa diketahui dari makna yang terkandung dalam “murji’ah” dan dalam sikap netralnya. Pandangan “netral” tersebut, nampak pada penamaan aliran ini yang berasal dari kata “arja’a”, yang berarti “orang yang menangguhkan”, mengakhirkan dan “memberi pengharapan”. Menangguhkan berarti “menunda soal siksaan seseorang ditangan Tuhan, yakni jika Tuhan mau memaafkan, dia akan langsung masuk surga. Jika sebaliknya, maka akan disiksa sesuai dengan dosanya.
            Istilah “memberi harapan” mengandung arti bahwa, orang yang melakukan maksiat padahal ia seorang mukmin, imannya masih tetap sempurna. Sebab, perbuatan maksiat tidak mendatangkan pengaruh buruk terhadap keimanannya, sebagaimana halnya perbuatan taat atau baik yang dilakukan oleh orang kafir, tidak akan mendatangkan faedah terhadap kekufurannya. Mereka “berharap” bahwa seorang mukmin yang melakukan maksiat, ia masih dikatakan mukmin.
            Berdasarkan itu, maka inti faham atau doktrin-doktrin Murji’ah adalah sebagai berikut :
  1. Iman ialah mengenal Allah dan Rasulnya, barangsiapa yang tidak mengenal bahwa “tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai Rasul-Nya”, ia mukmin sekalipun melakukan dosa.
  2. Amal perbuatan bukan merupakan bagian dari iman, sebab iman adanya dalam hati. Sekalipun melakukan dosa besar, tidaklah akan menghapus iman seseorang, tetapi terserah Allah untuk menentukan hukumnya

            Rohison dan Abdul Rozak dalam bukunya mengatakan bahwa gagasan irja banyak diaplikasikan kedalam bidang politik dan teoligi. Dalam bidang politik kaum Murji’ah banyak dikenal sebagai The Queietists (kelompok bungkam) karena sikap netral mereka pada permasalahan politik dan sikap mereka yang selalu diam dalam persoalan politik.
            Dalam bidang teologi, pemikiran mereka cenderung mengacu kepada permasalahan iman, kufur, dosa besar, dosa ringan, tauhid, tafsir Al-Qur’an, eskatologi, pengampunan atas dosa besar, kemaksuman nabi, ada yang kafir di generasi awal islam, tobat, hakekat Al-Qur’an, nama dan sifat Allah, serta ketentuan tuhan.
            Berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut :
  1. Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Mu’awiyah hingga Allah memutuskan di akherat kelak.
  2. Penangguhan Ali untuk menduduki rangking ke empat dalam peringkat ­Al-Khalifa Ar-Rasyidin.
  3. Pemberian harapan terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
  4. Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (madzhab) para skeptis dan empiris dari kalangan Helenis.
            Sementara itu Harun Nasution menyebutkan, bahwa Murji’ah memiliki empat ajaran pokok, yaitu :
  1. Menunda hukuman atas Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ari yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
  2. Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
  3. Meletakkan (pentingnya) iman dari amal.
  4. Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
3. Sekte-sekte Murji’ah
            Kaum Murji’ah pecah menjadi beberapa golongan kecil. Namun, pada umumnya Aliran Murji’ah menurut Harun Nasutuion, terbagi kepada dua golongan besar, yakni “golongan moderat” dan “golongan ekstrim”.
            Golongan Murji’ah moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan di hukum sesuai dengan besar kecilnya dosa yang dilakukan. Sedangkan Murji’ah ekstrim, yaitu pengikut Jaham Ibnu Sofwan, berpendapat bahwa orang Islam yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya dalam hati. Bahkan, orang yang menyembah berhala, menjalankan agama Yahudi dan Kristen sehingga ia mati, tidaklah menjadi kafir. Orang yang demikian, menurut pandangan Allah, tetap merupakan seorang mukmin yang sempurna imannya.
            Kelompok ekstrim dalam Murji’ah terbagi menjadi empat kelompok besar, yaitu :
  1. Al-Jahmiyah, kelompok Jahm bin Syahwan dan para pengikutnya, berpandangan bahwa orang yang percaya kepada tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi kafir karena iman dan kufur itu bertempat di dalam hati bukan pada bagian lain dalam tubuh manusia.
  2. Shalihiyah, kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui tuhan, sedangkan kufur tidak tahu tuhan. Sholat bukan merupakan ibadah kepada Allah, yang disebut ibadah adalah iman kepada-Nya dalam arti mengetahui tuhan. Begitu pula zakat, puasa dan haji bukanlah ibadah, melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan.
  3. Yumusiah dan Ubaidiyah, melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat, banyak atau sedikit tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik.
  4. Hasaniyah, jika seseorang mengatakan “saya tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini”, maka orang tersebut tetap mukmin, bukan kafir






BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
            Berdasarkan uraian yang telah penulis sajikan dalam bab pembahasan di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
  1. Khawarij pada mulanya adalah suatu golongan yang pada awalnya muncul sebagai pendukung Ali, namun pada akhirnya keluar dari barisan Ali karena ketidak puasan mereka terhadap Ali yang menerima tahkim dari Mu’awiyah, sehingga Khawarij memberikan perlawanan dan menyatakan perang terhadap Ali dan Mu’awiyah, sehingga dengan keluarnya mereka dari golongan Ali maka mereka di juluki Khawarij (orang-orang yang keluar).
  2. Khawarij adalah satu golongan yang menghukumkan kafir bagi seorang muslim atau mukmin yang  berbuat dosa besar, hal ini disebabkan karena mereka memiliki pemikiran dan pengetahuan yang praktis dalam dalam bidang politik, teologi, dan sosial yang dikarenakan mereka adalah keturunan bangsa Arab Badawi.
  3. Khawarij memiliki tiga poin pemikiran, yaitu pemikiran dalam bidang politik sebagai pemikiran sentral, teologis, dan sosial.
  4. Khawarij terbagi menjadi beberapa kelompok, namun mereka memiliki dua kelompok besar, yaitu Al-Azariqoh dan Al-Ibadiah.
  5. Murji’ah adalah kelompok yang menentang doktrin-doktrin pengkafiran yang dituangkan oleh kaum Khawarij, sekaligus secara langsung menjadi musuh besar Khawarij.
  6. Murji’ah cenderung menangguhkan keputusan akan hukuman atas dosa-dosa besar di masa yang akan datang dan cenderung menyerahkannya kepada Allah apakah dosa tersebut akan diampuni atau tidak.
  7. Murji’ah memandang terbalik dengan Khawarij bahwa orang muslim yang berbuat dosa besar tidak lah kafir namun masih memiliki kesempatan atau harapan untuk mendapatkan pengampunan dari Allah SWT.
  8. Perbedaan mendasar antara kedua golongan Khawarij dan Murji’ah ialah tentang penghukuman kafir atau tidaknya mengenai apa yang telah dilakukan Ali dan Mu’awiyah serta orang orang-orang yang terlibat dalam tahkim dan perang Jamal.

B. PENUTUP 
Puji syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga  penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Guna memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Ilmu Tauhid.
Harapan penulis semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi penulis dan juga pembaca. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan karya tulis ini. Semoga dengan adanya makalah ini dapat meningkatkan kreativitas penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.
Dalam penyusunan makalah ini tentu terdapat  kesalahan, kekurangan serta kejanggalan, maka penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun, guna menyempurnakan kekurangan dalam makalah ini di masa mendatang.














DAFTAR PUSTAKA
A. Nasir, Salihun. Pengantar Ilmu Kalam. Jakarta : Rajawali Pers. 1991.
Anwar, Rohison dan Abdul Rozak. Ilmu Kalam Untuk IAIN, STAIN, PTAIS. Bandung : Pustaka Setia. 2001.
Hamid, Syamsul Rijal. Buku Pintar Agama Islam: Edisi Senior. Bogor: Penebar Salam. 2002.
Harmonic, Ari dalam http//.metalisme.blog.friendster.com. Management Organisasi/ Aliran Murji’ah. 2009.
Kafabih, Fateh dalam www.blog-efateh .blogspot.com. localhost : aliran murji’ah. 2009.
Muchtar Ghozali, Adeng dalam www.http//wordpres.com. Kategori : Refleksi Spiritual/ khawarij dan Murji’ah/ tebar cinta damai. 2009
Nata, Abuddin. Ilmu kalam, Filsafat, dan Tasawuf. Jakarta : Rajawali Pers. 1993.
Rasyidi, Badri. Sejarah Peradaban Islam Untuk Madrasah Aliyah Semester 1 dan 2. Bandung : CV Armico. 1987.
Shadr, Sayid Muhammad Baqir. Sejarah Islam Sejak Wafat Nabi SAW Hingga Runtuhnya Bani Umayah. Jakarta : Penerbit Lentera. 2004.
www.wikimedia.com. Kategori : Eskatologi Islam/Islam/Sejarah Islam. 2009.

Comments

Popular posts from this blog

Khutbah Jumat Bahasa Bugis

Khutbah Idul Adha Versi Bahasa Bugis

Khutbah Bahasa Bugis