Pemikiran akhlussunnah wal jamaah
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Mengetahui siapa
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah perkara yang sangat penting dan salah satu
bekal yang harus ada pada setiap muslim yang menghendaki kebenaran sehingga
dalam perjalanannya di muka bumi ia berada di atas pijakan yang benar dan jalan
yang lurus dalam menyembah Allah Subhanahu wata’ala sesuai dengan tuntunan
syariat yang hakiki yang dibawa oleh Rasulullah shalallahu ‘alai wassallam
empat belas abad yang lalu.
Perihal al-Jama’ah dan pengertiannya
sebagai majoriti umat Muhammad yang tidak lain adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah
tersebut dijelaskan oleh Rasulullah dalam sabdanya yang bermaksud: “Aku berwasiat kepada kalian untuk mengikuti
sahabat-sahabatku, kemudian mengikuti orang-orang yang datang setelah mereka,
kemudian mengikuti yang datang setelah mereka“.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
sejarah lahirnya nama ahlus sunnah wal’jamaah?
2.
Jelaskan
pengertian ahlus sunnah wal’jamaah?
3.
Bagaimana
kronlogi dan sejarah ahlus sunnah wal’jamaah?
4.
Bagaimana
pandangan ulama tentang aqidah ahlus sunnah wal’jammah?
C. Tujuan
1.
Untuk
mengetahui awal mula munculnya nama ahlus sunna wal’jamaah.
2.
Agar
dapat mengetahui pengertian pemikiran ahlus sunnah wal’jamaah.
3.
Mengetahui
kronologi dan sejarah pemikiran ahlus sunnah wal’jamaah
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Lahirnya
Nama Ahlus Sunnah Wal’jamaah
Dahulu
di zaman Rasulullaah SAW. kaum muslimin dikenal bersatu, tidak ada golongan ini
dan tidak ada golongan itu, tidak ada syiah ini dan tidak ada syiah itu, semua
dibawah pimpinan dan komando Rasulullah SAW.
Bila
ada masalah atau beda pendapat antara para sahabat, mereka langsung datang
kepada Rasulullah SAW. itulah yang membuat para sahabat saat itu tidak sampai
terpecah belah, baik dalam masalah akidah, maupun dalam urusan duniawi.
Kemudian
setelah Rasulullah SAW. wafat, benih-benih perpecahan mulai tampak dan
puncaknya terjadi saat Imam Ali kw. menjadi khalifah. Namun perpecahan tersebut
hanya bersifat politik, sedang akidah mereka tetap satu yaitu akidah Islamiyah,
meskipun saat itu benih-benih penyimpangan dalam akidah sudah mulai ditebarkan
oleh Ibin Saba’, seorang yang dalam sejarah Islam dikenal sebagai pencetus
faham Syiah (Rawafid).
Tapi
setelah para sahabat wafat, benih-benih perpecahan dalam akidah tersebut mulai
membesar, sehingga timbullah faham-faham yang bermacam-macam yang menyimpang
dari ajaran Rasulullah SAW.
Saat
itu muslimin terpecah dalam dua bagian, satu bagian dikenal sebagai golongan-golongan
ahli bid’ah, atau kelompok-kelompok sempalan dalam Islam, seperti Mu’tazilah,
Syiah (Rawafid), Khowarij dan lain-lain. Sedang bagian yang satu lagi adalah
golongan terbesar, yaitu golongan orang-orang yang tetap berpegang teguh kepada
apa-apa yang dikerjakan dan diyakini oleh Rasulullah SAW. bersama
sahabat-sahabatnya.
Golongan
yang terakhir inilah yang kemudian menamakan golongannya dan akidahnya Ahlus
Sunnah Waljamaah. Jadi golongan Ahlus Sunnah Waljamaah adalah golongan yang
mengikuti sunnah-sunnah nabi dan jamaatus shohabah.
Hal
ini sesuai dengan hadist Rasulullah SAW : bahwa golongan yang selamat dan akan
masuk surga (al-Firqah an Najiyah) adalah golongan yang mengikuti
apa-apa yang aku (Rasulullah SAW) kerjakan bersama sahabat-sahabatku.
Dengan
demikian akidah Ahlus Sunnah Waljamaah adalah akidah Islamiyah yang dibawa oleh
Rasulullah dan golongan Ahlus Sunnah Waljamaah adalah umat Islam.
Lebih jelasnya, Islam adalah Ahlus Sunnah Waljamaah dan Ahlus Sunnah Waljamaah
itulah Islam. Sedang golongan-golongan ahli bid’ah, seperti Mu’tazilah,
Syiah(Rawafid) dan lain-lain, adalah golongan yang menyimpang dari ajaran
Rasulullah SAW yang berarti menyimpang dari ajaran Islam.
Dengan
demikian akidah Ahlus Sunnah Waljamaah itu sudah ada sebelum Allah menciptakan
Imam Ahmad, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Hambali. Begitu pula sebelum
timbulnya ahli bid’ah atau sebelum timbulnya kelompok-kelompok sempalan.
Akhirnya yang perlu diperhatikan adalah,
bahwa kita sepakat bahwa Ahlul Bait adalah orang-orang yang mengikuti sunnah
Nabi SAW. dan mereka tidak menyimpang dari ajaran nabi. Mereka tidak dari
golongan ahli bid’ah, tapi dari golongan Ahlus Sunnah.
Pengenalan akan
siapa sebenarnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah telah ditekankan sejak jauh-jauh hari
oleh Rasulullah r kepada para sahabatnya ketika beliau berkata kepada mereka :
افْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً
وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَإِنَّ
أُمَّتِيْ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي
النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
“Telah terpecah
orang–orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu firqoh (golongan) dan telah
terpecah orang-orang Nashoro menjadi tujuh puluh dua firqoh dan sesungguhnya
umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga firqoh semuanya dalam neraka
kecuali satu dan ia adalah Al-Jama’ah”. Hadits shohih dishohihkan oleh oleh
Syaikh Al-Albany dalam Dzilalil Jannah dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih
Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain -rahimahumullahu-.
Demikianlah umat
ini akan terpecah, dan kebenaran sabda beliau telah kita saksikan pada zaman
ini yang mana hal tersebut merupakan suatu ketentuan yang telah ditakdirkan
oleh Allah I Yang Maha Kuasa dan merupakan kehendak-Nya yang harus terlaksana
dan Allah I Maha Mempunyai Hikmah dibelakang hal tersebut.
Syaikh Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan
-hafidzahullahu- menjelaskan hikmah terjadinya perpecahan dan perselisihan
tersebut dalam kitab Lumhatun ‘Anil Firaq cet. Darus Salaf hal.23-24 beliau
berkata : “(Perpecahan dan perselisihan-ed.) merupakan hikmah dari Allah I guna
menguji hamba-hambaNya hingga nampaklah siapa yang mencari kebenaran dan siapa
yang lebih mementingkan hawa nafsu dan sikap fanatisme.
Allah
berfirman :
ألم أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ
يَقُوْلُوْا آمَنَّا وَهُمْ لاَ يُفْتَنُون وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ
قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ
الْكَاذِبِين َ(العنكبوت 1-3)
“Alif laam miim.
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (begitu saja) mengatakan :
“Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Sesungguhnya Kami telah
menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sungguh Allah Maha Mengetahui
orang-orang yang benar dan sungguh Dia Maha Mengetahui orang-orang yang dusta”.
(QS. Al-‘Ankabut : 29 / 1-3).
B.
Pengertian
Ahlus Sunnah Wal Jama'ah
Bahwa
Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah suatu golongan yang telah Rasulullah SaW
janjikan akan selamat di antara golongan-golongan yang ada. Landasan mereka
bertumpu pada ittiba'us sunnah (mengikuti as-Sunnah) dan menuruti apa yang
dibawa oleh nabi baik dalam masalah ‘aqidah, ibadah, petunjuk, tingkah laku,
akhlak dan selalu menyertai jama'ah kaum Muslimin.
Dengan
demikian, maka definisi Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak keluar dari definisi
Salaf. Dan sebagaimana telah dikemukakan bahwa salaf ialah mereka yang
mengenalkan Al-Qur-an dan berpegang teguh dengan As-Sunnah. Jadi Salaf adalah
Ahlus Sunnah yang dimaksud oleh Nabi SAW. Dan ahlus sunnah adalah Salafush
Shalih dan orang yang mengikuti jejak mereka.
Inilah
pengertian yang lebih khusus dari Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Maka tidak
termasuk dalam makna ini semua golongan ahli bid'ah dan orang-orang yang
mendikuti keinginan nafsunya, seperti Khawarij, Jahmiyah, Qadariyah,
Mu'tazilah, Murji'ah, Rafidhah (Syiah) dan lain-lainnya dari ahli bid'ah yang
meniru jalan mereka.
Maka
sunnah adalah lawan kata bid'ah, sedangkan jama'ah lawan kata firqah (gologan).
Itulah yang dimaksudkan dalam hadits-hadits tentang kewajiban berjama'ah VDG
Mengetahui siapa
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah perkara yang sangat penting dan salah satu
bekal yang harus ada pada setiap muslim yang menghendaki kebenaran sehingga
dalam perjalanannya di muka bumi ia berada di atas pijakan yang benar dan jalan
yang lurus dalam menyembah Allah Subhanahu wata’ala sesuai dengan tuntunan
syariat yang hakiki yang dibawa oleh Rasulullah shalallahu ‘alai wassallam
empat belas abad yang lalu.
Dan Allah berfirman :
وَلَوْ
شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلاَ يَزَالُونَ
مُخْتَلِفِينَ إِلاَّ مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ
كَلِمَةُ رَبِّكَ لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
(هود : 118-119)
“Jikalau
Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka
senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh
Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya)
telah ditetapkan : “Sesungguhnya Aku akan memenuhi Neraka Jahannam dengan jin
dan manusia (yang durhaka) semuanya”. (QS. Hud : 10 / 118-119)
وَلَوْ
شَاءَ اللَّهُ لَجَمَعَهُمْ عَلَى الْهُدَى فَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْجَاهِلِينَ
(اللأنعام : 35)
“Dan kalau
Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk,
sebab itu janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang jahil”. (QS.
Al-‘An’am : 6 / 35).”
Jadi Ahlus Sunnah wal Jama'ah, adalah mereka yang berpegang
teguh pada sunnah Nabi Muhammad SAW, para sahabatnya dan orang-orang yang
mengikuti jejak dan jalan mereka, baik dalam hal ‘aqidah, perkataan maupun
perbuatan, juga mereka yang istiqamah (konsisten) dalam ber-ittiba' (mengikuti
Sunnah Nabi SAW) dan menjauhi perbuatan bid'ah. Mereka itulah golongan yang
tetap menang dan senantiasa ditolong oleh Allah sampai hari Kiamat. Oleh karena
itu mengikuti mereka (Salafush Shalih) berarti mendapatkan petunjuk, sedang
berselisih terhadapnya berarti kesesatan.
C.
Ahlussunnah
Wal Jama’ah: Golongan Yang Selamat (al Firqah an-Najiyah)
Bersabda Junjungan Besar Nabi
Muhammad SAW, maknanya:“dan sesungguhnya ummat ini akan terpecah menjadi 73
golongan, 72 di antaranya di neraka dan hanya satu yang di surga yaitu
al-Jama’ah”. (H.R. Abu Dawud).
Akal adalah syahid (saksi dan bukti)
akan kebenaran syara’. Inilah sebenarnya yang dilakukan oleh ulama tauhid atau
ulama al-kalam (teologi). Yang mereka lakukan adalah taufiq (pemaduan) antara
kebenaran syara’ dengan kebenaran akal, mengikuti jejak nabi Ibrahim -seperti
dikisahkan al-Quran- ketika membantah raja Namrud dan kaumnya, di mana beliau
menundukkan mereka dengan dalil akal. Fungsi akal dalam agama adalah sebagai
saksi bagi kebenaran syara’ bukan sebagai peletak dasar bagi agama itu sendiri.
Berbeza dengan golongan falsafah yang berbicara tentang Allah, malaikat dan
banyak hal lainnya yang hanya berdasarkan penilaian akal semata-mata. Mereka
menjadikan akal sebagai dasar agama tanpa memandang ajaran yang dibawa para
nabi dan rasul.
Tuduhan kaum Musyabbihah dan
Mujassimah iaitu kaum yang sama sekali tidak memfungsikan akal dalam agama,
terhadap Ahlussunnah Wal Jamaah sebagai ’Aqlaniyyun (kaum yang hanya
mengutamakan akal) atau sebagai kaum Mu’tazilah atau Afrakh al-Mu’tazilah (anak
bibitan kaum Mu’tazilah) dengan alasan kerana menggunakan akal sebagai salah
satu sumber utama, adalah tuduhan yang amat salah. Ini tidak ubah seperti kata
pepatah arab “Qabihul Kalam Silahulliam” (kata-kata yang jelek adalah senjata
para pengecut). Secara ringkas tetapi namun padat, kita ketengahkan pembahasan
tentang Ahlussunnah sebagai al-Firqah an-Najiyah (golongan yang selamat),
asal-usulnya, dasar-dasar ajaran dan sistemnya.
D.
Pengenalan
dan Kronologi Sejarah
Sejarah mencatat bahawa di kalangan
umat Islam bermula dari abad-abad permulaan (mulai dari masa khalifah sayyidina
Ali ibn Abi Thalib) sehinggalah sekarang terdapat banyak firqah (golongan)
dalam masalah aqidah yang saling bertentangan di antara satu sama lain. Ini
fakta yang tidak dapat dibantah. Bahkan dengan tegas dan jelas Rasulullah telah
menjelaskan bahawa umatnya akan berpecah menjadi 73 golongan. Semua ini sudah
tentunya dengan kehendak Allah dengan berbagai hikmah tersendiri, walaupun
tidak kita ketahui secara pasti. Hanya Allah yang Maha Mengetahui segala
sesuatu. Namun Rasulullah juga telah menjelaskan jalan selamat yang harus kita
ikuti dan panuti agar tidak terjerumus dalam kesesatan. Iaitu dengan mengikuti
apa yang diyakini oleh al-Jama’ah; majoriti umat Islam. Karena Allah telah
menjanjikan kepada Rasul-Nya, Nabi Muhammad, bahawa umatnya tidak akan
tersesat selama mana mereka berpegang teguh kepada apa yang disepakati oleh
kebanyakan mereka. Allah tidak akan menyatukan mereka dalam kesesatan.
Kesesatan akan menimpa mereka yang menyimpang dan memisahkan diri dari
keyakinan majoriti.
Perihal al-Jama’ah dan pengertiannya
sebagai majoriti umat Muhammad yang tidak lain adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah
tersebut dijelaskan oleh Rasulullah dalam sabdanya yang bermaksud: “Aku berwasiat kepada kalian untuk mengikuti
sahabat-sahabatku, kemudian mengikuti orang-orang yang datang setelah mereka,
kemudian mengikuti yang datang setelah mereka“. Dan termasuk rangkaian
hadith ini: “Tetaplah bersama al-Jama’ah dan jauhi perpecahan karena syaitan
akan menyertai orang yang sendiri. Dia (syaitan) dari dua orang akan lebih
jauh, maka barang siapa menginginkan tempat lapang di syurga hendaklah ia
berpegang teguh pada (keyakinan) al-Jama’ah”. (H.R. at-Tirmidzi; berkata hadith
ini Hasan Shahih juga hadith ini dishahihkan oleh al-Hakim).
Al-Jama’ah dalam hadith ini tidak
boleh diertikan dengan orang yang selalu melaksanakan solat dengan berjama’ah,
jama’ah masjid tertentu. Konteks pembicaraan hadith ini jelas mengisyaratkan
bahwa yang dimaksud al-Jama’ah adalah majoriti umat Muhammad dari sisi
jumlah(‘adad). Penafsiran ini diperkuatkan juga oleh hadith yang dinyatakan di
awal pembahasan. Iaitu hadith riwayat Abu Daud yang merupakan hadith Shahih
Masyhur, diriwayatkan oleh lebih dari 10 orang sahabat. Hadith ini memberi
kesaksian akan kebenaran majoriti umat Muhammad bukan kesesatan firqah-firqah
yang menyimpang. Jumlah pengikut firqah-firqah yang menyimpang ini, jika
dibandingkan dengan pengikut Ahlussunnah Wal Jama’ah sangatlah sedikit.
Seterusnya di kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah terdapat istilah yang
popular iaitu “ulama salaf”. Mereka adalah orang-orang yang terbaik dari
kalangan Ahlusssunnah Wal Jama’ah yang hidup pada 3 abad pertama hijriyah sebagaimana
sabda nabi yang maknanya: “Sebaik-baik abad adalah abadku kemudian abad setelah
mereka kemudian abad setelah mereka”. (H.R. Tirmidzi)
Disebabkan inilah Ahlussunnah
dinisbahkan kepada keduanya. Mereka; Ahlussunnah Wal Jamaah akhirnya dikenali
dengan nama al-Asy’ariyyun (para pengikut Imam Abu al-Hasan Asy’ari) dan
al-Maturidiyyun (para pengikut Imam Abu Manshur al-Maturidi). Hal ini
menunjukkan bahawa mereka adalah satu golongan iaitu al-Jama’ah. Kerana
sebenarnya jalan yang ditempuhi oleh al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam pokok
aqidah adalah sama dan satu. Adapun perbezaan yang terjadi di antara keduanya
hanyalah pada sebahagian masalah-masalah furu’ (cabang) aqidah. Hal tersebut
tidak menjadikan keduanya saling berhujah dan berdebat atau saling menyesatkan,
serta tidak menjadikan keduanya terlepas dari ikatan golongan yang selamat
(al-Firqah al-Najiyah). Perbezaan antara al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah ini
adalah seperti perselisihan yang terjadi di antara para sahabat nabi, tentang
adakah Rasulullah melihat Allah pada saat Mi’raj? Sebahagian sahabat,
seperti ‘Aisyah dan Ibn Mas’ud mengatakan bahawa Rasulullah tidak melihat
Tuhannya ketika Mi’raj. Sedangkan Abdullah ibn ‘Abbas mengatakan bahawa
Rasulullah melihat Allah dengan hatinya. Allah memberi kemampuan melihat kepada
hati Nabi Muhammad atau membuka hijab sehingga dapat melihat Allah. Namun
demikian al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah ini tetap bersama atau bersefahaman
dan sehaluan dalam dasar-dasar aqidah. Al-Hafiz Murtadha az-Zabidi (W. 1205 H)
mengatakan:“Jika dikatakan Ahlussunnah wal Jama’ah, maka yang dimaksud adalah
al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah “. (Al-Ithaf Syarah li Ihya Ulumuddin, juz 2
hlm 6)
Maka aqidah yang sebenar dan
diyakini oleh para ulama salaf yang soleh adalah aqidah yang diyakini oleh
al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah. Kerana sebenarnya keduanya hanyalah
merumuskan serta membuat ringkasan yang mudah (method) dan menjelaskan aqidah
yang diyakini oleh para nabi dan rasul serta para sahabat. Aqidah Ahlusssunnah
adalah aqidah yang diyakini oleh ratusan juta umat Islam, mereka adalah para
pengikut madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi, serta orang-orang yang utama dari
madzhab Hanbali (Fudhala’ al-Hanabilah).
Aqidah ini diajarkan di
pondok-pondok Ahlussunnah di negara kita Malaysia,Indonesia,Thailand dan
lain-lainnya.Dan Alhamdulillah, aqidah ini juga diyakini oleh ratusan juta kaum
muslimin di seluruh dunia seperti Brunei, India, Pakistan, Mesir (terutama
al-Azhar), negara-negara Syam (Syria, Jordan, Lubnan dan Palestin),
Maghribi,Yaman, Iraq, Turki, Chechnya, Afghanistan dan banyak lagi di
negara-negara lainnya.
Ilmu aqidah juga disebut dengan ilmu
kalam. Hal ini kerana ramainya golongan yang menyalahgunakan nama Islam namun
menentang aqidah Islam yang sebenar dan banyaknya kalam (argumentasi) dari
setiap golongan untukmembela aqidah mereka yang sesat. Tidak semua ilmu kalam
itu tercela, sebagaimana dikatakan oleh golongan Musyabbihah (kelompok yang
menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Akan tetapi ilmu kalam terbahagi
menjadi dua bahagian ; ilmu kalam yang terpuji dan ilmukalam yang tercela. Ilmu
kalam yang kedua inilah yang menyalahi aqidah Islam kerana dikarang dan
dipelopori oleh golongan-golongan yang sesat seperti Mu’tazilah, Musyabbihah
(golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, sepeti kaum Wahabiyyah)
dan ahli bid’ah lainnya. Adapun ilmu kalam yang terpuji ialah ilmu kalam yang
dipelajari oleh Ahlussunah untuk membantah golongan yang sesat. Dikatakan
terpuji kerana pada hakikatnya ilmu kalam Ahlussunnah adalah taqrir dan
penyajian prinsip-prinsip aqidah dalam formatnya yang sistematik dan
argumentatif; dilengkapi dengan dalil-dalil naqli dan aqli. Dasar-dasar ilmu
kalam ini telah wujud di kalangan para sahabat. Di antaranya, Imam Ali ibn Abi
Thalib dengan argumentasinya yang kukuh dapat mengalahkan golongan Khawarij,
Mu’tazilah dan juga dapat membantah empat puluh orang yahudi yang meyakini
bahwa Allah adalah jisim (benda). Demikian pula Abdullah ibn Abbas, Al-Hasan
ibn Ali ibn Abi Thalib dan Abdullah ibn Umar juga membantah kaum Mu’tazilah.
Sementara dari kalangan tabi’in; Imam al-Hasan al-Bashri, Imam al-Hasan ibn
Muhamad ibn al-Hanafiyyah; cucu Saidina Ali ibn Abi Thalib dan khalifah Umar
ibn Abdul Aziz juga pernah membantah kaum Mu’tazilah. Kemudian juga para imam dari
empat mazhab; Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad juga
menekuni dan menguasai ilmu kalam ini. Sebagaimana dinukilkan oleh al-Imam Abu
Manshur al-Baghdadi (W 429 H) dalam kitab Ushul ad-Din, al-Hafizh Abu al-Qasim
ibn ‘Asakir (W 571 H) dalam kitab Tabyin Kadzib al Muftari, al-Imam az-Zarkasyi
(W 794 H) dalam kitab Tasynif al-Masami’ dan al ‘Allamah al Bayyadli (W 1098 H)
dalam kitab Isyarat al-Maram dan lain-lain. Allah berfirman yang bermaksud:
“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
kecuali Allah dan mohonlah ampun atas dosamu”. (Muhammad :19) Ayat ini sangat
jelas mengisyaratkan keutamaan ilmu ushul atau tauhid. Yaitu dengan menyebut
kalimah tauhid (la ilaha illallah) lebih dahulu dari pada perintah untuk
beristighfar yang merupakan furu’ (cabang) agama. Ketika Rasulullah ditanya
tentang sebaik-baiknya perbuatan, beliau Menjawab,maknanya: “Iman kepada Allah
dan rasul-Nya”. (H.R. Bukhari) Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah
mengkhususkan dirinya sebagai orang yang paling mengerti dan faham ilmu tauhid,
beliau bersabda,maknanya: “Akulah yang paling mengerti di antara kalian tentang
Allah dan paling takut kepada-Nya”. (H.R. Bukhari)
Karena itu, sangat banyak ulama yang
menulis kitab-kitab khusus mengenai penjelasan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah
ini. Seperti Risalah al-’Aqidah ath-Thahawiyyah karya al-Imam as-Salafi Abu
Ja’far ath-Thahawi (W 321 H), kitab al‘Aqidah an-Nasafiyyah karangan al Imam
‘Umar an-Nasafi (W 537 H), al-‘Aqidah al-Mursyidah karangan al-Imam Fakhr
ad-Din ibn ‘Asakir (W 630 H), al ‘Aqidah ash-Shalahiyyah yang ditulis oleh
al-Imam Muhammad ibn Hibatillah al-Makki (W 599H); beliau menamakannya Hadaiq
al-Fushul wa Jawahir al Uqul, kemudian menghadiahkan karyanya ini kepada sultan
Shalahuddin al-Ayyubi (W 589 H).
E.
Pandangan
Jumhur Ulama Tentang Aqidah Asy’ariyyah; Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah
As-Subki dalam Thabaqatnya berkata:
“Ketahuilah bahwa Abu al-Hasan al-Asy’ari tidak membawa ajaran baru atau
madzhab baru, beliau hanya menegaskan kembali madzhab salaf, menghidupkan
ajaran-ajaran sahabat Rasulullah. Penisbatan nama kepadanya kerana beliau
konsisten dalam berpegang teguh ajaran salaf, hujjah (argumentasi) yang beliau
gunakan sebagai landasan kebenaran aqidahnya juga tidak keluar dari apa yang
menjadi hujjah para pendahulunya, kerananya para pengikutnya kemudian disebut
Asy’ariyyah. Abu al-Hasan al-Asy’ari bukanlah ulama yang pertama kali berbicara
tentang Ahlussunnah wal Jama’ah, ulama-ulama sebelumya juga banyak berbicara
tentang Ahlussunnah wal Jama’ah. Beliau hanya lebih memperkuat ajaran salaf itu
dengan argumen-argumen yang kuat. Bukankah penduduk kota Madinah banyak
dinisbatkan kepada Imam Malik, dan pengikutnya disebut al Maliki. Ini bukan
berarti Imam Malik membawa ajaran baru yang sama sekali tidak ada pada para
ulama sebelumnya, melainkan karena Imam Malik menjelaskan ajaran-ajaran lama
dengan penjelasan yang lebih terang, jelas dan sistematis demikian juga yang
dilakukan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari”.
Habib Abdullah ibn Alawi al-Haddad
menegaskan bahwa “kelompok yang benar adalah kelompok Asy’ariyah yang
dinisbatkan kepada Imam Asy’ari. Aqidahnya juga aqidah para sahabat dan
tabi’in, aqidah ahlul haqq dalam setiap masa dan tempat, aqidahnya juga menjadi
aqidah kaum sufi sejati. Hal ini sebagaimana diceritakan olehImam Abul Qasim
al-Qusyayri. Dan Alhamdulillah aqidahnya juga menjadi aqidah kami dan
saudara-saudara kami dari kalangan habaib yang dikenal dengan keluarga Abu
Alawi, juga aqidah para pendahulu kita.
Ibnu ‘Abidin al Hanafi mengatakan
dalam Hasyiyah Radd al Muhtar ‘ala ad-Durr al Mukhtar : “Ahlussunnah Wal
Jama’ah adalah al Asya’irah dan al Maturidiyyah”. Dalam kitab ‘Uqud al Almas al
Habib Abdullah Alaydrus al Akbar mengatakan : “Aqidahku adalah aqidah
Asy’ariyyah Hasyimiyyah Syar’iyyah sebagaimana Aqidah para ulama madzhab
syafi’i dan Kaum Ahlussunnah Shufiyyah”. Bahkan jauh sebelum mereka ini Al-Imam
al ‘Izz ibn Abd as-Salam mengemukakan bahawa aqidah al Asy’ariyyah disepakati
oleh kalangan pengikut madzhab Syafi’i, madzhab Maliki, madzhab Hanafi dan
orang-orang utama dari madzhab Hanbali (Fudlala al-Hanabilah). Apa yang
dikemukakan oleh al ‘Izz ibn Abd as-Salam ini disetujui oleh para ulama di
masanya, seperti Abu ‘Amr Ibn al Hajib (pimpinan ulama Madzhab Maliki di masanya),
Jamaluddin al Hushayri pimpinan ulama Madzhab Hanafi di masanya, juga disetujui
oleh al Imam at-Taqiyy as-Subki sebagaimana dinukil oleh putranya Tajuddin
as-Subki.
F.
Garis
Panduan Aqidah Asy’ariyyah
Secara garis besar aqidah asy’ari
yang juga merupakan aqidah ahlussunnah wal jama’ah adalah meyakini bahwa Allah
ta’ala maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya, Allah bukanlah benda yang boleh
digambarkan, dan juga bukan benda yang berbentuk dan berukuran. Allah tidak
serupa dengan sesuatupun dari makhluk-Nya (laysa kamitslihi syai’). Allah ada
dan tidak ada permulaan atau penghabisan bagi kewujudan-Nya, Allah maha kuasa
dan tidak ada yang melemahkan-Nya, serta Allah tidak diliputi arah. Allah ada
sebelum menciptakan tempat tanpa tempat, Allah wujud setelah menciptakan tempat
dan tanpa bertempat. tidak boleh ditanyakan tentangnya bila, dimana dan
bagaimana ada-Nya. Allah ada tanpa terikat oleh masa dan tempat. Maha suci
Allah dari bentuk (batasan), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar
dan anggota badan yang kecil.
Syekh Abu al-Fadl Abdus Syakur As-Senori dalam karyanya
“Al-Kawakib al-Laama’ah fi Tahqiqi al-Musamma bi Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah”
menyebutkan definisi Ahlussunnah wal jamaah sebagai kelompok atau golongan yang
senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW dan thoriqoh para sahabatnya
dalam hal akidah, amaliyah fisik (fiqh) dan akhlaq batin (tasawwuf).
Syekh Abdul Qodir Al-Jaelani
dalam kitabnya, Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haq juz I hal 80 mendefinisikan
Ahlussunnah wal jamaah sebagai berikut “Yang dimaksud dengan assunnah adalah
apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, perilaku serta
ketetapan Beliau). Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian jamaah adalah
segala sesuatu yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi SAW pada masa empat
Khulafa’ur-Rosyidin dan telah diberi hidayah Allah “.
Dalam sebuah hadits dinyatakan :
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : افترقت اليهود على إحدى وسبعين فرقة ، وتفرقت النصارى الى إثنين وسبعين فرقة ، وتفرقت أمتي على ثلاث وسبعين فرقة ، كلها في النار الاّ واحدة ، قالوا : ومن هم يا رسول الله ؟ قال : هم الذي على الذي أنا عليه وأصحابي . رواه أبو داود والترميذي وابن ماجه
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : افترقت اليهود على إحدى وسبعين فرقة ، وتفرقت النصارى الى إثنين وسبعين فرقة ، وتفرقت أمتي على ثلاث وسبعين فرقة ، كلها في النار الاّ واحدة ، قالوا : ومن هم يا رسول الله ؟ قال : هم الذي على الذي أنا عليه وأصحابي . رواه أبو داود والترميذي وابن ماجه
“Dari Abi
Hurairah r.a., Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : Umat Yahudi terpecah menjadi
71 golongan. Dan umat Nasrani terpecah menjadi 72 golongan. Dan umatku akan
terpecah menjadi 73 golongan. Semua masuk neraka kecuali satu. Berkata para
sahabat : “Siapakah mereka wahai Rasulullah?’’ Rasulullah SAW menjawab :
“Mereka adalah yang mengikuti aku dan para sahabatku.”. HR. Abu Dawud,
Turmudzi, dan Ibnu Majah.
Jadi inti paham Ahlussunnah wal
jama’ah (Aswaja) seperti tertera dalam teks hadits adalah paham keagamaan yang
sesuai dengan sunnah Nabi SAW dan petunjuk para sahabatnya. Dalam hadits lain:
عن عبد الرحمن بن عمرو السلمي أنه سمع العرباض بن سارية قال وعظنا رسول الله صلى الله عليه وسلم: فعليكم بما عرفتم من سنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين. رواه احمد
عن عبد الرحمن بن عمرو السلمي أنه سمع العرباض بن سارية قال وعظنا رسول الله صلى الله عليه وسلم: فعليكم بما عرفتم من سنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين. رواه احمد
“Dari
‘Abdurrahman bin ‘Amr as-Sulami, sesungguhnya ia mendengar al- Irbadl bin
Sariyah berkata: Rasulullah SAW menasehati kami: kalian wajib berpegang teguh
pada sunnahku dan perilaku al-khulafa’ar-Rosyidin yang mendapat petunjuk.’’
HR.Ahmad.
Ahlus
Sunnah wal Jama'ah mempunyai karakteristik dan keistimewaan, diantaranya :
1. Mereka
mempunyai sikap wasathiyah (pertengahan) di antara ifraath (melampaui batas)
dan tafriith (menyia-nyiakan); dan di antara berlebihan dan sewenang-wenang,
baik dalam masalah ‘aqidah, hukum atau akhlak. Maka mereka berada di
pertengahan antara golongan-golongan lain, sebagaimana juga ummat ini berada
dipertengahan antara agama-agama yang ada.
2. Sumber
pengambilan pedoman bagi mereka hanyalah al-Qur-an dan as-Sunnah, Mereka pun memperhatikan
keduanya dan bersikap taslim (menyerah) terhadap nash-nashnya dan memahaminya
sesuai dengan manhaj Salaf.
3. Mereka
tidak mempunyai iman yang diagungkan, yang semua perkataannya diambil dari
meninggalkan apa yang bertentangan dengan kecuali perkataan Rasulullah SAW. Dan
Ahli Sunnah itulah yang paling mengerti dengan keadaan Rasulullah SAW
perkataan dan perbuatannya. Oleh karena itu, merekalah yang paling mencintai
sunnah, yang paling peduli untuk mengikuti dan paling lolal terhadap para
pengikutnya.
4. Mereka
meninggalkan persengketaan dan pertengkaran dalam agama sekaligus menjauhi
orang-orang yang terlibat di dalamnnya, meninggalkan perdebatan dan
pertengkaran dalam permasalahan tentang halal dan haram. Mereka masuk ke dalam
dien (Islam) secara total.
5. Mereka
mengagungkan para Salafush Shalih dan berkeyakinan bahwa metode Salaf itulah
yang lebih selamat, paling dalam pengetahuannya dan sangat bijaksana.
6.
Mereka menolak ta'wil (penyelewengan suatu nash dari makna yang
sebenarnya) dan menyerahkan diri kepada syari'at, dengan mendahulukan nash yang
shahih daripada akl (logika) belaka dan menundukkan akal di bawah nash.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ahlussunnah wal jama’ah adalah
meyakini bahwa Allah ta’ala maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya, Allah
bukanlah benda yang boleh digambarkan, dan juga bukan benda yang berbentuk dan
berukuran. Allah tidak serupa dengan sesuatupun dari makhluk-Nya (laysa
kamitslihi syai’). Allah ada dan tidak ada permulaan atau penghabisan bagi
kewujudan-Nya, Allah maha kuasa dan tidak ada yang melemahkan-Nya, serta Allah
tidak diliputi arah. Allah ada sebelum menciptakan tempat tanpa tempat, Allah
wujud setelah menciptakan tempat dan tanpa bertempat. tidak boleh ditanyakan
tentangnya bila, dimana dan bagaimana ada-Nya. Allah ada tanpa terikat oleh
masa dan tempat. Maha suci Allah dari bentuk (batasan), batas akhir, sisi-sisi,
anggota badan yang besar dan anggota badan yang kecil.
Syekh
Abu al-Fadl Abdus Syakur As-Senori dalam karyanya “Al-Kawakib al-Laama’ah fi
Tahqiqi al-Musamma bi Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah” menyebutkan definisi
Ahlussunnah wal jamaah sebagai kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen
mengikuti sunnah Nabi SAW dan thoriqoh para sahabatnya dalam hal kidah.
B.
Saran
Dalam
makalah ini masih terdapat banyak kekurangan sehingga kami dari penulis
mengharapkan kritikan agar dapat membantu utuk mmenyempurnakan makalah ini.
Daftar Pustaka
Mahmud. Teologi Islam:
aliran-aliran. Perkasa: bandung. 1988
Rozak, Amir. Ilmu Kalam. Graha
Media: jakarta: 1999
Subastian, Edi. Aliran pikiran
islam. UI Press: 1987
Comments
Post a Comment