Kehendak Mutlak Tuhan & Kehendak Manusia
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Perbedaan pendapat pada manusia
adalah suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Jika manusia sejak kecilnya
memandang alam sekitarnya dengan pandangan filosofis – sementara pandangan
orang berbeda-beda, maka kelanjutan ialah bahwa gambaran dan imajinasi manusia
juga berbeda-beda. Demikian juga halnya yang terjadi dalam kenyataan kehidupan
kaum muslimin, di mana sejarah mencatat bahwa kaum muslimin sepeninggal
Rasulullah SAW. Setelah terbagi kepada beberapa aliran dalam bidang Teologi
yang semulanya hanya dilator belakangi oleh persoalan politik, seperti :
Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Masing-masing
aliran berbeda pendapat dalam mengemukakan konsep mereka dalam bidang teologi,
di samping disebabkan karena mamang munculnya perbedaan itu terkait langsung
dengan perbedaan kecenderungan, tingkat pengetahuan dan pengalaman, juga
disebabkan karena di antara dasar-dasar agama, baik yang terdapat dalam
al-Qur’an maupun hadis Nabi memberikan peluang untuk munculnya perbedaan
persepsi dalam memberikan peluang untuk munculnya perbedaan persepsi dalam
memberikan interpretasi, khususnya dalam lapangan teologi seperti masalah
sifat-sifat tuhan, perbuatan manusia dan perbuatan Tuhan, keadilan, kehendak
muthlak Tuhan, akal dan wahyu.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar
belakang di atas penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Apakah
Pengertian kekuasaan mutlak Tuhan?
2.
Bagaimanaka
Perbandingan Ilmu kalam terhadap
kekuasaan mutlak tuhan?
C. Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui:
1.
Pengertian
kekuasaan Mutlak Tuhan.
2.
Perbandingan
ilmu kalam terhadap kekuasaan mutlak Tuhan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kekuasaan
Muthlak Tuhan
Dalam menjelaskan kemuthlakan
kekuasaan dan kehendak Tuhan ini, Asy’ari menulis dalam Al-Ibanah-nya bahwa
Tuhan tidak tunduk kepada siapapun, di atas Tuhan tidak ada lagi suatu zat lain
yang dapat membuat hukum dan dapat menentukan apa ada lagi suatu zat lain yang
dapat membuat hukum dan dapat menentukan apa yang boleh dibuat dan apa yang
tidak boleh dibuat oleh Tuhan. Tuhan bersifat absolute dalam kehendak dan
kekuasaan-Nya. Sebagaimana kata al-Dawwaniy sebagaimana dikutip oleh Muhammad
Abduh, Tuhan adalah Maha Pemilik (al-Malik) yang bersifat absolute dan berbuat
apa saja yang dikehendakiNya di dalam kerajaanNya dan tidak seorangpun yang
dapat mencela perbuatanNya. Sunggupun perbuatan-perbuatan itu oleh akal manusia
dipandang bersifat tidak baik dan tidak adil. Lebih tegas ia menulis :
“Tuhan bersifat adil dalam segala perbuatanNya. Tidak
ada suatu laranganpun bagi Tuhan. Dia berbuat apa saja yang dikehendakiNya.
Seluruh makhluk milik-Nya dan perintahNya adalah di atas segala perintah. Dia
tidak bertanggungjawab tentang perbuatan-perbuatanNya kepada siapapun”.
Sejalan dengan pernyataan di atas,
al-Ghazali juga sama berpendapat bahwasanya Tuhan dapat berbuat apa saja yang
dikehendakiNya, dapat memberikan hukuman menurut kehendakNya, dapat menyiksa
orang yang berbuat baik jika itu dikehendakiNya dan dapat memberi upah kepada
orang kafir jika yang demikian dikehendakiNya.
Bagi kaum Asy’ariyah, Tuhan sama
sekali tidak terikat kepada apapun, tidak terikat kepada janji-janji, kepada
norma-norma keadilan dan sebagainya. Sementara menurut kaum Mu’tazilah,
kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak bersifat muthlak lagi. Sebab, kekuasaan Tuhan
sudah dibatasi oleh kebebasan, yang menurut Mu’tazilah, telah diberikan kepada
manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatannya. Selanjutnya kekuasaan
muthlak Tuhan itu dibatasi pula oleh keadilanNya. Tuhan tidak bisa lagi berbuat
sekehendakNya, Tuhan telah terikat kepada norma-norma keadilan yang kalau
dilanggar, membuat tuhan bersifat tidak adil. Bahkan zhalim. Sifat seperti ini
tentu saja tidak bisa diberikan kepada Tuhan. Kekuasaan dan kehendak muthlakNya
dibatasi lagi oleh kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia yang menurut kaum
Mu’tazilah memang demikian. Kekuasaan muthlak itu dibatasi pula oleh hukum alam
(nature of law : sunnatullah) yang tidak mengalami perobahan. Hal ini
didasarkan pada QS. Al-Ahzab ayat 62 : (Tidak akan engkau jumpai perubahan pada
Sunnatullah).
Adapun kaum: Muturidiyah, khususnya
kelompok Bukhara, mereka menganut pendapat bahwa Tuhan memiliki kekuasaan muthlak.
Menurut al-Bazdawiy, Tuhan memang berbuat apa saja yang dikehendakiNya dan
menentukan segala-galanya menurut kehendakNya. Tidak ada yang dapat menentang
atau memaksa Tuhan, dan tidak larangan-larangan terhadap Tuhan. Akan tetapi
walau bagaimanapun juga faham mereka tentang kekuasaan Tuhan tidaklah semuthlak
faham Asy’ari.
Adapun kaum Maturidiy kelompok
Samarkand, tidaklah sekeras kelompok Bukhara dalam mempertahankan kemuthlakan
kekuasaan Tuhan, akan tetapi tidak pula memberikan batasan sebanyak batasan
yang diberikan oleh kaum Mu’tazilah bagi kekuasaan muthlak Tuhan.
Batasan-batasan yang diberikan oleh kaum Maturidiy kelompok samarkand ini,
adalah :
1.
Kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan yang menurut
pendapat mereka ada pada manusia
2.
Keadaan Tuhan menjatuhkan hukuman bukan
sewenang-wenang, akan tetapi berdasarkan atas kemerdekaan manusia dalam
mempergunakan daya yang diciptakan Tuhan dalam dirinya untuk berbuat baik atau
berbuat jahat.
Keadaan hukuman-hukuman Tuhan,
sebagaimana kata al-Bayadhi, tidak boleh tidak mesti terjadi. tidak ada suatu
zatpun yang lebih berkuasa. Tuhan adalah diatas segala-galanya. Batasan-batasan
itu ditentukan oleh Tuhan sendiri dan dengan kemauan-Nya sendiri pula.
B. Perbandingan Ilmu Kalam Terhadap Kekuasaan Mutlak Tuhan
1) Faham
Muta’zilah
Soal keadilan mereka tinjau dari sudut pandangan manusia, bagi mereka
sebagai yang diterangkan oleh Abd al-Jabbar, keadilan erat kaitannya dengan hak
dan keadilan diartikan memberikan orang akan haknya . Kata-kata “Tuhan Adil”
mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik, bahwa ia tidak dapat
berbuat yang buruk dan bahwa ia tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya
terhadap manusia. oleh karena itu Tuhan tidak boleh bersifat Zalim dalam
memberi hukuman, tidak dapat menghukum anak orang musyrik lantaran dosa orang
tuanya dan mesti memberi upah kepada orang – orang yang patuh pada –Nya dan
memberikan hukuman kepada orang – orang yang menentang perintah-Nya.
Selanjutnya keadilan juga mengadukan arti berbuat semestinya serta seusai
dengan kepentingan manusia. Dan memberi upah atau hukuman kepada manusia
sejajar dengan corak perbuatannya. Menurut al – Nazzam an pemuka – pemuka
Mu-tazilah lainnya, tidak dapat dikatakan bahwa tuhan berdaya untuk bersifat
zalim, berdusta dan untuk tidak dapat berbuat apa yang terbaik bagi manusia.
2) Faham
Asy’ariyah
Kaum Asy’ariyah mereka menolak faham Mu’tazilah bahwa Tuhan mempunyai
tujuan dalam perbuatan – perbuatannya. Bagi mereka perbuatan-perbuatan Tuhan
tidak mempunyai tujuan perbuatan dalam arti sebab dalam mendorong Tuhan untuk
berbuat sesuatu betul mereka akui bahwa perbuatan Tuhan menimbulkan kebaikan
dan keuntungan itu tidaklah mendorong bagi Tuhan untuk berbuat. Tuhan berbuat
semata – mata karena kekuasaan dan kehendak mutlaknya bukan karena kepentingan
manusia atau tujuan lain.
Dengan demikian adanya tendensi untuk meninjau dari sudut kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan. Dengan kehendak dan pengetahuan pemilik. Dengan demikian
keadilan Tuhan mempunyai arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap
makhluknya dan berbuat sekehendak hati-Nya. Ketidak adilan, sebaliknya berarti
“Menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, yaitu berkuasa mutlak terhadap hak
milik orang”. Oleh karena itu, Tuhan dalam faham kaum Asy’ariyah dapat berbuat
apa saja yang dikehendakinya, sesungguhnya hal itu menurut pandangan manusia
adalah tidak adil. Asy’ari sendiri berpendapat bahwa Tuhan tidaklah berbuat
salah kalau memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka. Perbuatan salah dan
tidak adil adalah perbuatan yang melanggar hukum, dan karena di atas Tuhan
tidak pernah bertentangan dengan hukum.
Dengan demikian, Tuhan tidak bisa dikatakan tidak adil. Al-Ghazali juga
berpendapat demikian. Ketika adilan dapat timbul hanya jika seseorang melanggar
demikian. Ketidakadilan dapat timbul hanya jika seseorang melanggar hak orang
lain dan jika seseorang harus berbuat sesuai dengan perintah dan kemudian
melanggar perintah itu. Perbuatan yang demikian mungkin ada pada Tuhan.
Sekiranya ini dilakukan Tuhan, Tuhan tidaklah berbuat salah dan Tuhan tetap
masih bersifat adil. Upah yang di berikan Tuhan hanyalah merupakan rahmat dan
hukuman tetap merupakan keadilan Tuhan, Tuhan tetap bersifat adil.
3)
Faham Maturidiyah
Faham Maturidiyah ini ada dua golongan pertama golongan maturidiyah Bukhoro
yang kedua golongan Maturidiyah di Samarkand. Golongan maturidiyah Bukhoro
mempunyai sikap yang sama dengan kaum Asy’ariyah. Menurut Al-Badzawi tidak ada
tujuan yang mendorong Tuhan untuk menciptakan kosmos ini. Tuhan berbuat
sekehendak hatin-Nya. Dengan kata lain al-Bazdawi berpendapat bahwa alam tidak
diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia.
Bagi kaum Mu’tazilah dan kaum maturidiyah kelopak Samarkand persoalan
persoalan tersebut tidaklah timbul, karena bagi mereka perbuatan manusia
bukanlah perbuatan Tuhan tetapi adalah perbuatan manusia itu sendiri. Jadi,
manusia dihukum atas perbuatan yang dikehendakinya sendiri dan yang dilakukan
bukan dengan paksaan, akan tetapi dengan kebebasan yang diberikan Tuhan
kepadanya. Bagi kaum Maturidiyah kelompak Bukhra, karena sefaham dengan kaum
Asy’ariyah, maka persoalan itu pada dasarnya ada, akan tetapi faham masyi’ah
dan ridha membebaskan golongan bukhara dari persoalan ini.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapatlah
disimpulkan, bagi Mu’tazilah akal mampu mengetahui Tuhan, kewajiban berterima
kasih kepada Tuhan, mengetahui yang baik dan yang jahat, dan kewajiban
berterima kasih kepada Tuhan, mengetahui yang baik dan yang jahat, dan kewajiban
melaksanakan yang baik dan menjauhi yang jahat. Fungsi wahyu pada aliran ini
lebih banyak bersifat konfirmasi.
Sedangkan system teologi Asy’ariyah
derajat akal lemah sekali, daya akal hanya mampu mengetahui Tuhan, sedangkan
tiga butir lainnya dapat diketahui manusia lewat wahyu.
Adapun bagi Maturidiyah Samarkand
yang diketahui akal adalah mengetahui Tuhan, mengetahui kewajiban berterima
kasih kepada Tuhan dan mengetahui mana yang baik dan mana yang jahat. Selain
itu hanya dapat diketahui melalui petunjuk wahyu.
Maturidiyah bukhara deraja dakal dan
wahyu berimbang daya akal dapat mengetahui dua persoalan pokok yaitu,
mengetahui Tuhan dan mengetahui perbuatan yang baik dan jahat. Tetapi yang
berkaitan dengan kewajiban berterima kasih kepada Tuhan dan kewajiban
mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang jahat, keduanya ini
diketahui manusia dengan adanya wahyu.
Paham Maturidiah ada 2 golongan
v Maturidiah
Bukhoro punya sikap sama dengan asyariah bahwa Tuhan berbuat semata-mata karena
kekuasaan dan kehendak mutlaknya bukan karena kepentingan manusia atau tujuan
lain dan tidak terikat terhadap siapapun.
v Maturidiah
Syamarkand sebaliknya
DAFTAR PUSTAKA
A. Hanafiy, Pengantar Teologi Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1987.
Al-Bazdawi, Ushul al-Din, Dar al-Ihya’al-Kutub al-arabiah,
Kairo, 1963.
Harun Nasution, Muhammad Press, Bintang Jakarta, 1954.
www.google.com/kehendak-mutlak-tuhan/
Comments
Post a Comment